Part 4
Namanya juga batu, ya keras. Tapi sekerasnya batu akan hancur dengan tetes air embun. Masa? Iya.
-Marcello yang bimbang-
****
Seperti yang sudah terencana sebelumnya, jika hari ini seorang Marcello Ar-Rasyid meminta izin untuk libur bekerja sampai waktu yang tidak bisa dia tentukan. Ya, jelas saja tidak bisa dia tentukan. Marcello kini berkumpul di Markas kebesaran AOI sebelum pada akhirnya terbang menuju lokasi yang jadi target pekerjaan mereka.
Marcello akan memberitahukan sedikit mengenai AOI. AOI kepanjangan dari Association of Intelligence. Sebuah agensi tentara bayaran yang dibangun oleh orang tua Kakeknya. Alasan tentara bayaran ini dibentuk awalnya, karena dia mau mencari tahu keberadaan anaknya yang menghilang, namun siapa sangka jika semua perkara itulah awal mula dari permasalahan yang terjadi 20 tahun lalu.
Sebuah permasalahan di mana, saudara Daddynya--Rafael, menculik sang ibu yang tengah mengandung kedua adiknya. Kala itu, usia Marcello memang sangat muda--lima tahun--tapi kecerdasan yang dia miliki membuat Marcello tidak terlihat seperti anak seusianya. Bahkan dengan kecerdasannya Marcello bersama sang Kakak bekerja sama untuk menemukan Mommy mereka-Raisa.
Jika Marcello tengok kejadian kala itu, rasanya dia sakit hati. Apalagi melihat ibunya terbaring lemah dengan perut yang begitu besar. Yang mana perut itu mengeluarkan dua manusia yang kini menatapnya mengejek. Lihat saja kebahagiaan di wajah adik bungsunya, membuat kepala Marcello pening seketika. Jika Bella tidak ikut misi kali ini, pasti Marcello, Marcelle bahkan Reno tidak akan mungkin berada di sini dengan beberapa pasukan yang sudah siap dengan tugas serta tanggung jawab mereka.
"Semua sudah siap," kata Justina yang baru saja selesai mengecek para anggota yang akan berangkat pada hari ini, termasuk anggota keluarga dari bosnya--Marcello.
"Thank you, Justina. Kamu boleh kembali ke tempat kamu." Marcello menatap semua orang yang ada dihadapannya. Mulai dari tentara, IT,
bahkan bagian kesehatan yang di mata Marcello sudah siap tempur. Kenapa Marcello membawa tim IT karena tim tersebut adalah tanggung jawab Alden dan kedua adik lelakinya, supaya mereka bisa membuka jalan mereka melalui sabotase teknologi jika memang diharuskan nanti. Lagi pula, Marcello tidak mau ambil resiko adiknya terluka ketika tugas kali ini.
"Saya tidak banyak bicara, Kakak saya pasti lebih tahu masalah rencana dan lain-lainnya. Saya cuma minta kepada tim kesehatan untuk tanggap, karena tujuab kita adalah menyelamatkan nyawa-nyawa mereka. Jadi, saya mau semua berjalan sesuai yang kita rencanakan. Terutama anda, Bella. Saya mau anda tidak berbuat hal yang memancing mereka, mengerti?" perkataan Marcello bisa saja menjadi angin lalu bagi adiknya. Pernah Marcello dan adiknya ikut situasi yang sama, bedanya mereka menangkap mafia-mafia yang membelot dengan perjanjian pada mereka. Alhasil, adiknya yang imut ini tidak sengaja terpancing emosi dan jadilah adu tembakkan kala itu.
Marcello akui dulu emosi adiknya sangat labil, apalagi sebelum kejadian kecelakaannya. Bukan kecelakaan sebenarnya, melainkan memang adiknya sengaja diculik oleh lelaki yang mereka tunggu kedatangannya.
Gionino. Bukanlah nama asing lagi ketika nama tersebut adalah dalang dari penyekapan ibunya 20 tahun lalu, adik bungsunya--Bella terlahir dengan rapuh, ia harus berada dalam sebuah mesin dengan ibunya yang koma entah dalam sampai kapan membuka matanya.
Ingat sekali betapa kecilnya Bella dulu, terdiam dalam balutan infusan, yang membuat hati siapa saja yang melihatnya akan menangis. Bahkan saudara kembarnya Marcello yang hatinya sekeras batu saja menangis.
Jika Marcello beritahu, dulu kembarannnya--Marcelle--gila-gilaan untuk berlatih bela diri bahkan bagaimana cara melumpuhkan lawan dengan cepat, dia terus berlatih sampai kabar adiknya mulai pulih, Marcelle mengurangi latihannya. Mereka semua berada di sisi Bella kala itu, ketika bayi mungil itu berhasil bertahan di dalam kotak yang menemaninya hampir satu tahun. Ibu mereka apakah sudah siuman? Tentu saja belum.
Bahkan sampai usia adiknya menginjak dua tahun, ibunya juga belum sadarkan diri, semua orang mulai pesimis kala itu, termasuk sang ayah. Sampai ketika ibunya kritis, ketika mereka semua anggap sosok Raisa akan pergi meninggalkan mereka, ternyata Raisa--ibu Marcello kembali. Kembali dengan sadar setelah sekian lamanya. Tangis haru kala itu menjadi pembuka bagi Marcello kalau dia tidak hanya menjaga ibunya suatu saat nanti, melainkan juga menjaga adiknya. Marcello yakin ada suatu hal yang disembunyikan Ibu mereka, cuma mereka tidak mau bertanya lebih, karena mereka sendirilah nanti yang akan menemukannya.
"Tenang, Kak. Aku bisa jaga diri aku." Marcello merangkul adiknya yang memang pada saat ini berjalan di sampingnya.
"Harus itu!"
Ini lah awal perjalanan mereka memasuki lembah perang yang penuh dengan derai luka dan darah.
****
Alexa terdiam kaku ketika sebuah pesan masuk ke dalam ponselnya. Bukan dari seorang peneror, ini lebih dari sekedar orang jahil seperti itu. Karena pesan ini masuk dari kekasihnya, yang berkata jika dia akan berada ditempat yang tengah berperang untuk sebulan lamanya.
Bayangkan sebulan? Bagaimana bisa Alexa tenang begitu saja?! Bisa saja bukan selama sebulan Marcello terluka atau bahkan--tidak! Alexa harus berpikir positif dan percaya kalau Marcello serta saudara-saudaranya akan kembali dengan selamat. Alexa akan menemui Jesika lepas mereka pulang nanti! Kenapa si keluarga Ar-Rasyid selalu saja seperti ini! Alexa kan khawatir.
Alexa memang tahu mengenai agensi besar AOI, cuma Alexa tidak tahu seperti apa permainan mereka, apa mereka menerima kasus-kasus kotor seperti membunuh orang lain atau lebih kotor dari itu, Alexa sendiri tidak tahu perihal itu. Bahkan kedua orang tuanya saja tutup mulut mengenai AOI. Alexa tahu ini adalah rahasia besar tapi wajar bukan jika Alexa bertanya karena khawatir?
"Tidak perlu mengkhawatirkan mereka, kamu percayakan Marcello itu seperti apa? Dia tidak akan membiarkan siapa pun melukai dia dan anak buahnya. Lagian juga AOI itu tidak seburuk yang kamu bayangkan. Percaya deh." Justin mencoba menghibur kekasih dari sahabatnya, Justin tahu pasti Alexa sangat khawatir apalagi lokasi yang Marcello datangi bukan perang biasa. Jika, Justin telaah, ini adalah perebutan kekuasaan. Yang mana artinya berdamai secara kekeluargaan saja sangat mustahil jika tidak tahu cara mengambil celah antara keduanya.
"Benar si, tapi kenapa harus ke negara itu?" Alexa bertanya dengan lesu. Kantin rumah sakit masih terlihat senggang sampai mereka berdua belum melaksanakan tugas sebagai seorang dokter.
"Hahaha.. Itu karena ulah Marcello hapus nama Bella sebagai tim yang akan ke sana. Kamu tahu gak, Xa? Sebenarnya waktu itu tim kesehatan saja yang ditunjuk ke sana. Tapi, karena Bella ikut, Si kembar sama Alden gak mau ambil resiko, alhasil mereka bertiga membuat rencana di luar sepengetahuan Bella. Yang mana rencananya bukan hanya timnm kesehatan terbang ke sana, melainkan semua tim yang ada. So, kamu sudah tenang sekarang dengan penjelasan aku?" tanya Justin.
"Syukurlah kalau ada tim lain, aku pikir Marcello hanya pergi bersama keluarganya." sebuah kelegaan mulai muncul di wajah Alexa ketika mendengar penjelasan dari Justin. Memang Marcello dan saudaranya itu sangat ajaib, mereka selalu bisa membuat orang serangan jantung. Untuk saja Alexa memiliki stok jantung yang kuat, kalau tidak? Hancur sudah pertahanannya.
Alexa tidak mungkin menjadi sosok lemah, di saat dia tahu bagaimana keluarga kekasihnya. Dia juga harus bisa sekuat mereka dalam menghadapi apa pun, dan Alexa janji. Dia akan berada di sisi Marcello sampai maut memisahkan mereka.
"Tidak mungkin, mereka pasti akan bawa timnya masing-masing. Lag---"
"Dokter tolong!!! Tuan Rio Stevano jatuh pingsan di depan rumah sakit."
"Apa?!!" Alexa bangkit dari tempatnya bersama Justin yang ikut berlari di sampingnya.
'Ada apa dengan Kakek kekasihnya? Apa dia tidak sedang baik-baik saja?'
"Denyut jantungnya menghilang!" itu adalah suara Justin yang baru saja memeriksa kondisi Rio di depan Alexa. Ya mereka ada di ruang ICU ketika suster membawa mereka dari kantin ke tempat ini..
"Tidak mungkin! ambilkan defribilator!"
Justin menatap kekasih sahabatnya, bahkan ketika Justin ingin menghubungi keluarga Marcello Alexa menahannya.
"Jangan beritahu siapa-siapa. Termasuk kalian semua yang ada di sini. Aku bersumpah akan menyelamatkannya!"
"Dok, detak jantung masih sama tidak ada perubahan."
"Sial! Tidak ada cara lain. Siapkan ruang operasi."
"Astaga, Alexa kamu gila?!" Justin tahu kearah mana maksud dan tujuan Alexa, dia pasti mau membedah d**a tubuh lelaki tua yang sangat pucat ini. Lalu mencoba membantunya berdetak dengan bantuan tangannya yang akan masuk ke sana. Atau dengan alat yang memang tersedia untuk situasi seperti ini.
"Anggap saja begitu."
"Astaga, Alexa!"
***