Hujan pagi ini membawa berkah sekaligus bencana untukku, berkah karena aku menerima tumpangan gratis dari Gina saat kami tanpa sengaja bertemu di gang depan ketika aku hujan-hujanan menunggu taksi. Lumayan hari ini uang taksi bisa aku gunakan untuk makan siang dan uang makan siang bisa aku simpan untuk biaya rumah sakit Ibu.
Sayangnya berkah tadi berubah menjadi bencana saat motor Gina tanpa sengaja menabrak mobil mewah yang berhenti mendadak di lampu merah.
"Mampus gue!" ujar Gina ketakutan.
"Ngapain elo yang mampus? Yang salah kan dia, seharusnya kita yang minta ganti rugi. Sebaiknya lo diam dan serahkan ke tangan gue. Gue pastikan supir mobil ini memberi ganti rugi kerusakan motor elo," teriakku di sela derasnya hujan deras pagi ini. Gina mengangguk dan mendorong motornya ke tepi jalan.
Aku berdiri di samping pintu pemilik mobil dan mengetuk jendela dengan gagah berani. Berurusan dengan Bang Tagor membuatku kuat dan untuk hal kecil seperti ini.
"Hei, keluarlah dan beri penjelasan kenapa Mas, Bapak, Tuan, Mbak, Ibu berhenti mendadak di lampu merah," ujarku masih dengan mimik wajah berani.
Tidak ada reaksi dari si pemilik mobil, aku mengetuk sekali lagi dan mengatakan hal yang sama.
Lagi-lagi tidak ada reaksi, emosiku semakin tersulut. Aku menggigit bibir menahan emosi agar tidak tersulut dan akhirnya melakukan hal yang nantinya akan merugikan aku.
"Nggak mau tanggung jawab?" tanyaku sedikit lebih lunak dan masih mengetuk jendela mobilnya.
"Wida, mereka nggak akan ganti rugi. Kita ini hanya rakyat lemah dan mereka nggak mungkin mau meladeni kita," teriak Gina dari tempatnya berdiri tadi.
"Oh tidak bisa, dia kok yang salah. Nggak bisa seenaknya gitu, mentang-mentang orang kaya? Nggak sopan tauk!" makiku dengan suara lumayan keras supaya si sombong itu keluar dan bertanggung jawab.
Hening.
Tidak ada reaksi dari si pemilik mobil, Gina yang mulai putus asa langsung menghampiriku dan berniat menarik tanganku agar segera meninggalkan mobil itu.
"Biarin saja, kita hampir telat ke kantor," ujarnya sambil menarik tanganku. Aku melihat jam di tangan dan waktu masih ada lima belas menit lagi. Ke kantor membutuhkan waktu lima menit dan ada sepuluh menit lagi untuk memberi pelajaran manusia sombong seperti mereka.
"Oke, tapi hati gue nggak terima diperlakukan seperti ini." Aku membuka tas ransel dan mengeluarkan sebuah gunting yang biasa aku gunakan untuk menggunting bahan kain.
"Lo mau apa?" tanya Gina semakin ketakutan.
"Stttsss, lihat pembalasan gue!" teriakku. Aku tersenyum licik dan tanpa basa basi langsung menghujamkan gunting tadi ke ban mobil itu berkali-kali.
"Ya ampun! Lo bisa masuk penjara!" teriak Gina. Aku nggak peduli, toh mereka duluan yang memaksaku bertindak anarkis. Jangan mentang-mentang orang kaya bisa seenaknya menindas makhluk lemah seperti kami.
Setelah puas aku pun menyimpan kembali gunting ke dalam tas.
"Nah, impaskan? Motor lo rusak dan mobilnya pun rusak," ujarku dengan bangga. Gina menggeleng-gelengkan kepalanya melihat keberanianku.
Anehnya si pemilik mobil masih tidak bereaksi setelah mobilnya aku rusak. Mungkinkah tabrakan tadi membuat si pemilik mobil terkena serangan jantung?
Aku mengintip melalui kaca jendela untuk memastikan si pemilik mobil masih hidup atau sudah meninggal. Aku mendekatkan wajahku ke jendela yang lumayan gelap itu dan dalam hitungan detik aku langsung melihat wajah si pemilik mobil.
"Astagfirullah, ya Allah ya Tuhanku," ucapku berkali-kali saat sadar siapa pemilik mobil yang barusan aku rusak.
"Kenapa? Kamu lihat mayat ya? Jangan-jangan tabrakan tadi membuat si pemilik mobil meninggal ya?" tanya Gina dengan suara bergetar.
"Hussssh, lebih baik kita kabur. Lo pasti nggak akan percaya siapa pemilik mobil ini," ujarku dengan gugup.
"Siapa?"
"Pak ... Pak Arya, mampus gue!" rutukku ketakutan. Gina pun mulai pucat dan tangannya bergetar.
Sial banget hidupku pagi ini, sudahlah kehujanan dan sekarang harus berurusan dengan bapak tua itu lagi, gilanya lagi barusan aku merusak mobilnya.
Saat kami hendak kabur tiba-tiba pintu mobil terbuka, aku melihat Pak Arya keluar dan menatap kami dengan mata elangnya yang menusuk dan menakutkan.
"Pa ... pagi Pak," sapaku seramah mungkin, setelah menyapanya aku langsung menunduk malu.
Siap-siap Bapak Tua ini mengomeliku seharian atau paling parah dia akan memecatku saat ini juga.
"Kamu preman?" tanya Pak Arya.
"Dulunya Pak, tapi sudah pensiun sejak kerja di perusahaan Bapak. Maaf Pak, terkadang jiwa preman saya tiba-tiba muncul saat diperlakukan tidak adil," jawabku dengan jujur.
Gina menyenggol tanganku agar aku tetap diam dan tidak menjawab pertanyaan Pak Arya.
"Oh," jawabnya singkat. Pak Arya merogoh saku bagian belakang celananya dan mengeluarkan dompet lalu mengambil beberapa lembar uang.
"Ini kerugian motor kamu, saya minta maaf dan tolong kamu antar mobil saya ke bengkel terdekat," ujarnya dengan suara lebih lembut ke Gina.
Gina mengambil uang dan kunci mobil dari tangan Pak Arya. Gina lalu meminta bantuan mobil yang lewat agar membantunya menarik mobil Pak Arya menuju bengkel yang berada tak jauh dari tempat kami tabrakan tadi.
"Saya sudah bertanggung jawab dan sekarang waktunya menyelesaikan urusan kita, kamu merusak mobil saya dan membuat saya kehujanan seperti ini. Seharusnya saya memecat atau melaporkan kamu ke pihak polisi tapi karena saya baik hati, kamu cukup mengantarkan saya ke kantor."
"Hah, pakai apa?" tanyaku.
"Motor lah, memangnya kamu punya mobil?" tanyanya dengan nada meremehkan.
"Tapi ..." aku hendak menolak tapi tangannya menarikku dengan keras menuju motor Gina.
"Tapi Pak ... aduh duh ... dengarin saya dulu pak," aku berusaha menjelaskan kalau aku bukannya nggak mau membawa dia menggunakan motor tapi masalahnya aku nggak bisa mengendarainya.
"Kamu merusak pagi saya, seharusnya pagi ini saya menyambut kedatangan Rabian tapi semuanya kacau karena ulah kamu," ocehnya tanpa memberi kesempatan untukku menjelaskan.
"Tapi Pak ..."
Bapak tua ini memaksaku duduk dan menyuruhku menghidupkan motor.
"Buruan! Kamu mau kita mati kedinginan?" tanyanya.
"Saya nggak bisa ..." aku mencoba untuk turun tapi tangannya memegang pinggangku dan entah kenapa rasanya seperti ada sengatan listrik saat tangannya itu memegangnya.
"Buruan!" perintahnya lagi dan kali ini nadanya cukup keras. Aku membuang napas dan menatapnya kesal.
"Saya nggak bisa bawa motor! PAHAM PAK!" teriakku dengan kesal. Setelah mendengar ucapanku barulah bapak yua ini melepaskan pegangannya di pinggangku.
“Oh, bilang dong dari tadi.”
Sebentar sih, setelah itu dia kembali memegang pinggangku dan mendorongku ke belakang. Aku mendengar ocehan dari mulutnya dan dia mengambil kunci motor dari tanganku.
"Kita buat perhitungan nanti," ujarnya sebelum membawaku menggunakan motor Gina.
Jelas terlihat bapak tua ini jarang membawa motor, beberapa kali kami hampir jatuh dan mau tidak mau aku terpaksa memegang pinggangnya agar posisiku aman.
Bencana pagi ini membuatku sadar kalau punggungnya ini terlihat nyaman untuk disandari. Entah setan apa yang merasukiku tiba-tiba aku menyandarkan kepalaku di punggungnya.
Ada rasa nyaman dan aman saat aku meletakkan kepalaku di punggungnya. Rasa yang selama ini jarang aku dapatkan dari pria seumuran ayahku ini.
Apakah aku merindukan ayah?
Tidak, aku tidak boleh merindukan laki-laki yang membuat ibuku sedih dan menderita.
"Kamu manusia antik, Wida. Berani sekali kamu tidur di punggung saya," ujarnya. Aku pun menjauh dan tersenyum malu.
Rasanya aku mendengar bapak tua ini memanggil namaku, ah mana mungkin dia ingat siapa namaku. Biasanya dia memanggilku Nona Kelanting atau Nona Mulut Besar atau Nona Pembuat Masalah.
"Bapak tua tau nama saya?" tanyaku tanpa sadar.
s**t! Aku keceplosan!
Motor itu berhenti tak jauh dari kantor, bapak tua memutar tubuhnya dan melihatku dengan tajam.
"Kamu panggil saya apa?" tanyanya.
"Ah nggak kok, saya panggil bapak Arya kok, mungkin pengaruh umur yang membuat bapak mendengar saya memanggil bapak tua," jawabku dan lagi-lagi aku menggali kuburan.
"Kamu berani ya?"
"Walau tua tapi bapak mempesona kok, suer deh. Saya nggak bohong. Yah, walau terkadang bapak bersikap selayaknya bapak-bapak tua yang bawel, resek, nyinyir, tapi ada kalanya bapak terlihat unyu. Apalagi kalau sekarang bapak melanjutkan perjalanan dan melupakan ucapan saya tadi. Mungkin saya akan berdoa umur bapak sepanjang tollllll," elakku sambil mencoba turun dari motor saat aku melihat wajahnya ini semakin memerah.
"Kamu mau saya pecat?" teriaknya.
"Maaf Pak, jangan pecat saya ya!" teriakku saat aku berhasil turun dan kabur meninggalkan dia yang sudah tersulut emosi dan amarah.
****