Bab 3

1206 Words
Acara ramah tamah dan basi basi untuk menyambut kedatangan Pak Rabian sebagai pengganti Pak Arya akhirnya selesai juga meski diawali insiden basah kuyub antara aku dan dia pagi tadi. Untungnya, Pak Arya tidak membahas sikap dan tingkah lancangku di depan karyawan lain. Bisa-bisa Mbak Ayunda menggunakan insiden tadi untuk membalasku. "Kamu ... Widanara Putri Kelanting. Tolong ke ruangan saya setengah jam lagi," panggilnya saat aku hendak kembali melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda. Lagi-lagi aku beruntung, Pak Arya memanggil namaku setelah Pak Rabian, Mbak Ayunda dan karyawan lainnya sudah kembali ke meja kerja masing-masing. "Hah, kenapa saya dipanggil ke ruangan Bapak? Kan Bapak sudah pensiun?" tanyaku lancang. Wajah Pak Arya langsung berubah setelah mendengar jawaban lancangku. Seharusnya aku lebih bisa menahan lidah ini dan tidak mencari gara-gara sampai Pak Arya benar-benar menghilang dari perusahaan ini dan posisiku benar-benar aman. Sayangnya, lidahku ini tercipta sejak lahir untuk tidak bermulut manis dan menjadi seorang penjilat. "Saya itu atasan kamu sampai sore ini, jadi saya masih berhak memanggil kamu bahkan saya boleh kok mecat kamu kalau saya mau. Tapi berhubung saya baik dan bukan tipe atasan berhati sempit, saya memutuskan untuk tidak memecat kamu. Jadi sebelum saya berubah pikiran ..." Pak Arya selalu memakai jabatannya untuk mengancamku. Beuh, mungkin usia tua lah yang  membuatnya bersikap arogan seperti ini. Kasihan yang nanti menjadi istrinya, pasti wanita itu akan selalu makan hati menghadapi sikapnya itu. "Tunggu apalagi!" teriakannya membuatku reflek meninggalkan dia dan langsung menuju ruang kerjanya. Entah apa lagi usahanya membalasku tapi aku yakin kali ini aku tidak akan bisa lepas dari jeratan jarinya. Meski aku sudah cukup lama menjadi asisten Mbak Ayunda tapi baru kali ini aku masuk ke ruangan Pak Arya. Ruangan ini cukup nyaman dan rapi, buku-buku tersusun rapi di lemari pajangan. Beberapa foto Pak Arya terpajang di dinding, bahkan ada foto Pak Arya saat masih seusia Pak Rabian. Ada juga foto Pak Arya dan remaja tampan yang aku yakini itu adalah Pak Rabian. Meski menyebalkan, Pak Arya punya nilai tambah di mataku. Mengadopsi anak bukan perkara mudah ditambah Pak Arya belum pernah menikah tapi dia berhasil mendidik Pak Rabian hingga menjadi sukses seperti sekarang. "Cukup tampan juga Bapak Tua ini saat masih muda. Senyumnya manis juga kayak gulali. Sayang, ketampanannya langsung hilang saat mulutnya itu ngocehhhhhin aku mulu. Mungkinkah Bapak Tua ini mengalami sindrom kurang kelon? Ya ampun! Apa yang kau pikirkan Wida!" aku memukul kepalaku beberapa kali dan kembali melihat isi ruangannya. Sepuluh menit. Dua puluh menit. Ya ampun, ke mana dia? Sudah dua puluh menit aku menunggu dan sampai detik ini hidung mancungnya itu tak juga muncul dari balik pintu itu. Rasa kantuk yang mulai menyerang membuatku memutuskan untuk duduk di sofa. Berdiri dua puluh menit membuat kakiku rasanya mau copot. Aku memukul-mukul betis yang terasa kaku lalu memijatnya. "Dasar Bapak Tua! Jangan-jangan ini balasannya? Kekanakan banget!" gerutuku tajam. Aku menyandarkan punggung di sofa dan mencoba memejamkan mata yang mulai terasa berat.  Beberapa kali aku mencoba menahan kuap dan bertahan untuk tidak tidur tapi semakin aku mencoba rasa kantuk itu semakin menyerang. Perlahan-lahan mataku mulai terpejam dan rasanya ini tidur terenak sepanjang hidupku. Mimpi buruk yang selama ini menjadi teman tidurku kali ini seperti hilang dibawa angin. Cukup lama aku menikmati ketenangan dan kenyamanan ini. Hingga sebuah suara sedikit mengganggu tidurku. "Hey," panggilnya. Aku tidak peduli dan masih bergelut dengan rasa nyaman. "Hey, kamu pikir ini hotel hah!" suara itu kembali mencoba membangunkanku. Tapi, aku masih enggan untuk bangun dan semakin sulit membuka mata. Tiba-tiba suara itu menghilang dan suasana kembali hening. Aku semakin tenggelam dalam tidur nyenyakku. Byurrrr Sayangnya, kenyamanan itu hanya mimpi di siang bolong. Aku terbangun saat merasakan guyuran air membasahi semua bajuku. Ini guyuran kedua setelah tadi pagi aku hujan-hujanan bersama Pak Arya. Geraman langsunh keluar dari mulutku saat melihat Pak Arya sedang berdiri sambil memegang sebuah ember yang biasa dipakai para OB untuk mengepel lantai. Aku mencium aroma busuk dari sisa air yang masih menempel di bajuku. "Ya ampun, Bapak tega sekali menyiram saya dengan air bekas kain pel. Baukkkkkk bangetttt!" gerutuku kesal. "Untung bukan air cabe yang saya siramkan ke kamu. Kamu ini benar-benar karyawan banyak tingkah ya. Tadi pagi kamu berhasil membuat saya kehujanan, memanggil saya Bapak Tua, bersandar di punggung saya dan sekarang kamu berani tidur di sofa dengan posisi baju setengah terbuka, kalau karyawan lain lihat mereka akan berpikir saya melecehkan kamu," ocehnya panjang lebar. Aku langsung reflek melihat ke arah bawah dan melihat kancing kemejaku sedikit terbuka hingga menunjukkan bagian intim tubuhku. Aku langsung berbalik arah dan mulai mengancinginya. "Arghhhh! Pasti Bapak yang buka ya!" tuduhku sambil berusaha mengancingi satu persatu kemeja tadi. "Kamu nuduh saya yang buka? Sampai kiamat pun saya tidak tertarik dengan gadis ingusan seperti kamu. Tuduhan tadi sudah saya antisipasi dan ini bukti kalau kamu sendiri yang membukanya!" Pak Arya mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan video saat aku tidur. Ya ampun! Kenapa tidurku seperti itu? Mimpi apa aku sampai-sampai di dalam tidur pun aku bertindak c***l? Di dalam video itu aku membuka kemeja tanpa sadar, aku menunduk malu dan merasa tidak enak menuduh Pak Arya. "Maafin saya ya, Pak." "Seharusnya saya memecat kamu tapi seperti saya bilang tadi kalau saya itu bukan tipe atasan berhati sempit. Jadi, saya hanya akan memotong gaji kamu sebagai hukuman," ucapan Pak Arya barusan hampir membuatku pingsan. Gajiku dipotong? Itu sama saja membunuhku pelan-pelan. Bagaimana dengan pengobatan Ibu? Cicilan rentenir? Sewa kos? Ya Tuhan! Tega sekali Bapak Tua ini! "Lebih baik Bapak bunuh saya!" teriakku lantang dengan mimik wajah sedih dan mataku mulai panas. Pak Arya cukup kaget melihat reaksiku, "Bapak boleh melakukan apa saja untuk menghukum saya tapi jangan pernah memotong gaji saya! Bapak mau bunuh saya pelan-pelan? Bapak mau bunuh Ibu saya?" teriakku dengan suara keras dan bergetar. Entahlah, selama ini aku menutupi rapat-rapat masalah Ibu dan kesulitanku tapi kali ini aku membukanya dan anehnya kenapa di depan Pak Arya? Aku menangis tersedu-sedu dengan hati teriris. Pertahananku untuk tetap menjadi perempuan humoris langsung buyar. "Lah kamu kok nangis? Hushhh! Jangan nangis!" "Bapak jahat hiksss," tangisanku semakin keras dan masa bodo orang lain dengar. Hatiku benar-benar hancur karena ulahnya. "Et dah," Pak Arya langsung mendekatiku dan meletakkan tangannya di mulutku. Aku mencoba berontak tapi tenaga Pak Arya lebih kuat dari tenagaku meski usianya sudah tua. "Hpftttt le ... pazzzz." "Diam dulu!" "Ngggakkk," Tok tok tok tok "Siapa?" tanyanya. "Rabian, Yah." "Ayah sibuk, nanti saja kita bicaranya," jawab Pak Arya. Aku mengambil kesempatan dengan menggigit tangan Pak Arya, Pak Arya langsung melepaskan tangannya dan mengeram kesal. Aku kembali melanjutkan tangisanku. "Ayah baik-baik saja? Pintunya kenapa terkunci?" tanya Pak Rabian lagi. "Ayah baik-baik saja," jawabnya lagi. "Hiksssss," "Kok ada suara tangisan?" tanya Pak Rabian lagi." Pak Arya melihatku dan wajahnya bertambah kesal. Bukannya berhenti, aku semakin menangis dan tidak peduli dengan amarah Pak Arya. "Itu ... Ayah lagi nonton drama India. Kamu jangan kuatir," jawabnya asal dan aku mendengar langkah Pak Rabian menjauh dari pintu. "Diam ... kamu mau orang-orang bergosip tentang kita?" tanyanya dengan suara tertahan. "Masa bodo! Bapak jahattttttttt .... hpftttt," mataku langsung membesar saat merasakan benda asing di bibirku. Mataku berkedip beberapa kali untuk memastikan ini bukan mimpi. Pak Arya menciumku! Pak Arya menciumku! Pak Arya menciumku! Pak Arya menciumku! Pak Arya merenggut ciuman pertamaku! Pak Arya c***l! Reflek aku mendorongnya hingga terjatuh di lantai. Aku memegang bibirku dan menatapnya kesal, aku tidak peduli dia mengeluh kesakitan sambil memegang pinggangnya. "Bapak ... merenggut ciuman pertama saya, saya nggak rela! Ganti rugi! Pokoknya saya nggak mau tahu, Bapak harus ganti rugi! Hiksss ciumanan pertamaku diambil Bapak Tua!" ocehku kesal sambil menghapus bekas ciumannya. "Lebay!" *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD