"Ya Tuhan! Kenapa aku sulit melupakan insiden itu? Ishhhh ... ini semua gara-gara Bapak Tua c***l itu, apa maksudnya coba cium tanpa meminta izin? Arghhhh Arya menyebalkan!"
Ocehan demi ocehan keluar dari mulutku sejak insiden di ruang kerja Pak Arya. Aku masih sulit menerima Pak Arya lah orang pertama yang merenggut ciuman pertamaku.
Kenapa harus dia?
Kenapa laki-laki yang menciumku bukannya laki-laki seusia Pak Rabian?
Kesal!
Rasanya aku mau minta ganti rugi!
"Lupakan! Lupakan! Lupakan!" Aku memukul-mukul kedua pipiku agar insiden memalukan itu hilang dari pikirannya dan kini waktunya fokus melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda.
"Lo gila ya? Cantik-cantik kok brutal sih? Nyakitin diri sendiri?" suara Maya membuyarkan lamunanku. Aku melihatnya dengan ketus dan memilih menggoreskan ujung pensil ke atas kertas putih.
"Yeeee, ditanya malah diam. Tumben amat biang gosip diam seribu bahasa, lagi sariawan atau bibirnya habis kena cipok?"
Brengsek! Jangan-jangan Maya melihat Pak Arya menciumku?
"Jangan asal lo!" gerutuku kesal.
"Ooo habisanya lo aneh sih sejak keluar dari ruangan Pak Arya. Diam kayak sapi mau disembelih, kirain bibir lo kena sariawan atau kena cipok. Ah gue ngelantur, mana mungkin Pak Arya cipok lo," sambungnya lagi dengan mimik meragukan dan menganggap aku tidak pantas dicium Pak Arya.
"Sial lo, Pak Arya beruntung kelesss kalo cium perawan muda seperti gue. Gue sih ogah ya, ketinggian mimpi Bapak Tua itu kalo gue ngizini dia cium gue," balasku nggak mau kalah.
"Iya deh iya, yang masih perawan bangga bener neng. Oh iya, Mbak Ayunda nyuruh lo antar draft desain ke ruangan Pak Arya. Kalo Pak Arya sudah ACC baru lo antar ke bagian produksi ye." Maya menyerahkan map berisi draft desain milik Mbak Ayunda.
"Lo aja sih yang antar, gue lagi sibuk nih," tolakku sengaja.
Malas banget bertemu Pak Arya setelah insiden tadi.
"Gue banyak kerjaan, kan elo yang disuruh Mbak Ayunda."
Maya berlalu meninggalkan ruang kerjaku dan dengan terpaksa aku harus bertemu Pak Arya lagi.
"Sial banget hari ini," gumamku sambil membawa map tadi menuju ruang kerja Pak Arya.
Tok tok tok
Sudah beberapa kali aku mengetuk pintu ruang kerja Pak Arya dan sampai detik ini Pak Arya tidak menyahut.
"Yakin Pak Arya ada di ruangannya?" tanyaku kepada Lani, sekretaris Pak Aryad
"Ada kok, coba kamu ketuk sekali lagi," ujarnya.
Aku pun mengetuk sekali lagi dan tetap tidak ada jawaban. Mungkinkah Pak Arya sedang menelepon seseorang hingga tidak mendengar ketukanku. Aku mulai menempelkan telinga di daun pintu untuk mendengar suara Pak Arya.
Samar-samar aku mendengar suara Pak Arya sedang berbincang dengan seseorang. Rasa kepo dan jiwa penguping mulai muncul di diriku, aku semakin mendekatkan telingaku ke arah pintu dan aku bisa mendengar dengan jelas Pak Arya sedang membahas liburannya keluar negeri.
Saat aku sedang asyik menguping tiba-tiba pintu terbuka dan posisiku yang sedang menempel di pintu membuat kedua kaki ini tidak seimbang dan hanya menunggu waktu saja tubuh ini mendarat dengan cantik di lantai ruangan Pak Arya.
"Arghhh," aku berteriak lumayan keras.
"Kamu aneh ya, jatuh nggak tapi teriaknya seperti jatuh dari lantai 10," ujar Pak Arya. Aku baru sadar kalau ternyata Pak Arya menyambut tubuhku dan aku batal mendarat cantik di lantai.
"Yeeee, kan teriaknya reflek Pak. Kirain tadi saya mau jatuh, eh ternyata nggak," jawabku asal.
Pak Arya membantuku berdiri dan dia pun kembali masuk ke ruangannya.
"Saya selalu sial kalau berurusan dengan kamu," ocehnya lagi.
"Saya juga, seharian ini saya sial terus kalau bertemu Bapak. Nih, desain dari Mbak Ayu. Saya harap Bapak ACC dan setelah itu saya nggak mau bertemu Bapak lagi," jawabku dengan berani.
Bukannya marah mendengar jawaban kurang sopan dariku, yang ada Pak Arya malah tersenyum dan menggoreskan penanya di setiap lembar desain Mbak Ayunda.
"Kamu akan terus bertemu saya,"
"Tapi kan Bapak udah pensiun, kok masih doyan ke sini? Lebih baik Bapak menghabiskan waktu tua Bapak dengan memancing atau bercocok tanam. Bukannya mengganggu anak gadis orang dan ujung-ujungnya Bapak mencium tanpa izin anak gadis itu. Nggak baik Pak," ocehku tanpa sadar.
Pak Arya menghentikan kerjanya dan menatapku kesal.
"Kamu pikir saya mau cium kamu? Nggak ada rasa! Nggak penting juga cium wanita tanpa pengalaman seperti kamu. Jangan ge er, saya cium kamu tadi itu supaya kamu berhenti ngoceh."
"What! Wah ... wahhh ... Bapak bener-bener ya," aku membuat ancang-ancang hendak menerjangnya atau menendangnya. Lama-lama Bapak tua ini berhasil membuat emosiku naik lagi.
"Sudah ... sudah ... lagian kenapa saya mau meladeni anak kecil seperti kamu ya. Buang-buang waktu saya saja," Pak Arya mengembalikan map tadi dan membuat gerakan mengusirku dengan tangannya.
"Pak!"
"Keluar," usirnya lagi.
Emosiku kian membuncah dan tak terbendung lagi. Rasanya aku ingin membunuhnya sekarang juga.
"Bapak Tua gila!" teriakku di depan ruangannya.
****
Untungnya beberapa hari ini Pak Arya tidak menunjukkan batang hidungnya di kantor dan ketidak hadirannya di kantor cukup membuat suasana kembali seperti semula.
Riang dan penuh canda tawa, aku pun tidak berhenti mengganggu Mbak Ayunda, terutama saat aku dan teman-teman akhirnya tahu tentang hubungan masa lalu Pak Rabian dan Mbak Ayunda. Aku mengambil kesempatan untuk menggoda Mbak Ayunda yang selalu sewot setiap aku membahas Pak Rabian di depannya.
Hingga keisenganku membuat Ibunya Mbak Ayunda akhirnya tahu kalau Mbak Ayunda sempat tidur satu ruangan di hotel dengan Pak Rabian. Aku merasa sedikit tidak enak karena keisenganku Mbak Ayunda harus bersitegang dengan ibunya.
Pagi ini aku sengaja menunggu Mbak Ayunda di lobi. Cukup lama aku mondar mandir menunggu Mbak Ayunda dan setelah menunggu tiga puluh menit barulah Mbak Ayunda menunjukkan batang hidungnya.
"Mbak," teriakku dengan lantang. Mbak Ayunda yang tadinya tersenyum licik langsung mendengus kesal saat aku menghalangi langkahnya.
"Apa lagi? Nggak puas?" tanya Mbak Ayunda kesal. Aku menunduk malu dan merasa bersalah.
"Aku minta maaf ya Mbak," ujarku dengan wajah bersalah sambil memegang cake vanila kesukaan Mbak Ayunda.
Mudah-mudahan Mbak Ayunda mau memaafkan dan menerima kue ini sebagai tanda perdamaian.
"Males! Nggak mempan!" Jawabnya ketus.
"Yah, terus apa hukumannya? Jangan marah lagi ya Mbak. Aku benar-benar cuma pengen tau aja kok, nggak ada maksud sampai ibunya Mbak tau," ujarku membujuknya lagi.
"Nggak mau tau!" balas Mbak Ayunda dengan wajah marah.
"Jadi Mbak maunya apa?" tanyaku dengan mimik sedih.
"Yakin mau? tanya Mbak Ayunda.
"Yakin, apa pun hukumannya," jawabku pelan. Aku rela dihukum apa saja asal Mbak Ayunda nggak marah lagi.
Wajah marahnya berubah menjadi wajah licik seperti tadi. Mungkinkah Mbak Ayunda mengambil kesempatan ini untuk mengusiliku.
Semoga nggak! Semoga Mbak Ayunda hanya minta di traktir makan.
"Kalau begitu, laki-laki pertama yang melewati pintu itu. Harus kamu lamar dan ajak menikah, setelah itu aku akan memaafkan semua kesalahan kamu," ujarnya dengan mimik wajah serius.
"Yah Mbak, kalau suami orang gimana?" ujarku dengan pasrah.
"Laki-laki berikutnya," jawabnya lagi.
Sepertinya Mbak Ayunda sengaja melakukan ini supaya aku berhenti kepo dengan masa lalunya dengan Pak Rabian. Baiklah, mungkin dengan melakukan semua keinginannya Mbak Ayunda nggak akan marah lagi.
Toh hanya hukuman, aku juga nggak mungkin menikah dengan orang asing yang melewati pintu itu tapi semua akan berubah seandainya laki-laki itu menganggap serius lamaranku ini.
Hiksss.
Ibu, nasib anakmu kini tergantung restumu.
"Baiklah," jawabku lesu. Aku lalu bergegas menuju ke pintu masuk. Sejak melangkah tak henti-hentinya aku berdoa semoga laki-laki pertama yang masuk bukan suami orang atau laki-laki yang tidak masuk kriteriaku.
Aku mulai menutu mata dan tak berhenti melafazkan doa agar Tuhan tidak sekejam itu padaku.
"Satu ... dua ... tiga ..." hitung Mbak Ayunda saat pintu mulai terbuka.
"Kita menikah yuk!" teriakku tanpa membuka matanya. Aku mendengar Mbak Ayunda semakin tertawa, firasatku mengatakan kalau hukuman ini akan mengubah hidupku.
Perlahan-lahan aku mulai membuka mata dan jantungku tiba-tiba berhenti berdetak saat melihat siapa laki-laki yang kini berdiri di depanku dengan wajah merah menahan malu.
"Astaga!" teriakku saat melihat Pak Arya sedang berdiri di depanku.
Pak Arya!
Ya, ternyata laki-laki yang aku lamar barusan adalah Pak Arya! Bapak Tua yang merenggut ciuman pertamaku dan kini aku lamar untuk menikahiku.
Aku melihat ke arah Mbak Ayunda yang tidak berhenti tertawa sambil memegang perutnya.
Sial!
"Maaf, Pak." ujarku malu sambil menundukkan kepala. Rasanya aku nggak punya muka lagi. Pak Arya mulai mengoceh tentang sikap dan tindakanku, lidahku terasa kelu untuk menjawabnya. Aku membiarkan Pak Arya mengomeliku tanpa henti dan sesekali aku timpali dengan meminta maaf.
"Jangan sampai kejadian ini terulang lagi, paham?"
Ya, saya pagam," jawabku lemah dan tidak bertenaga.
"Apa yang kamu pahami?" tanyanya.
"Saya nggak mungkin menikah dengan Bapak, lamaran tadi hanya sebuah keisengan. Gitu kan pak?" tanyaku balik.
"Ckckckc dasar anak sekarang," dia berjalan menuju arahku dan berhenti tepat di depanku.
"Kamu itu lebih muda dari anak saya, nggak pantas gadis semuda kamu melamar laki-laki setua saya. Jadi, carilah laki-laki lain yang lebih muda dan bisa menemani kamu bertahun-tahun lamanya." Kali ini suaranya lebih lembut dalam menyampaikan setiap kata-kata tadi. Aku sampai terkesima dan kagum.
"Ya, Pak."
"Good girl," Pak Arya meletakkan tangannya di kepalaku dan mengelus pelan kepalaku dengan tangannya itu.
Jantungku tiba-tiba berhenti berdetak, napasku tercekat dan untuk pertama kalinya kekesalanku hilang.
"Pak Arya," panggilku pelan. Pak Arya memutar kembali tubuhnya dan menatapku penuh tanda tanya.
"Bapak ... nggak sakit kan? Bapak melakukan itu bukan karena sebentar lagi mau ... mau ..."
Wajah lembutnya langsung berubah kesal.
"Mau apa?" tanyanya.
"Mau ... mau ... lewat? Bukannya orangtua sikapnya berubah saat ajal mau datang?"
"Sialan kamu! Sini! Salah saya bersikap baik sama kamu!" Dia berlari mengejarku dan dengan langkah cepat aku langsung kabur sebelum Pak Arya menangkapku.
****