PART-3

2851 Words
PART-3 Aku terbuai. Apakah sebuah pelukan mampu membuatku jatuh cinta ? Tidak! Tunggu! Jadi apa artinya ketenangan dalam jiwaku saat tubuh itu memelukku erat? Aku melepaskan pelukannya. Sepertinya aku terbawa suasana. Karena aku ketakutan saat Tian hampir menciumku. Jadi apa yang kurasakan saat Dewa bersamaku hanyalah perasaan sesaat. "Aku tidak pernah main-main dengan ucapanku, Gadis. Sampai kapan pun aku akan selalu menginginkanmu." Dewa menatapku tajam. Tatapan yang mematikan tapi hanya sesaat, kemudian berubah menjadi sangat lembut . "Maaf, saya juga tidak bisa membohongi perasaan saya." balasku. "Perasaanmu terhadapku?" "Ya." "Katakan, Gadis." "Saya masih membenci Bapak." "Kelak kau akan mencintaiku." "Entahlah. Tidak untuk sekarang." Dewa masih berdiri dihadapanku. Wajahnya semakin mendekat. Sekarang aku takut. "Aku akan mengantarmu pulang." Akhirnya dia melepaskanku. Aku menatap punggung Dewa keluar dari ruang kerjaku. Tidak bisa kupungkiri Dewa memang selalu baik padaku. Namun, hatiku terlanjur membencinya. Sangat membencinya. Entahlah. Hari-hari kelam bersama Dewa memang hanya berlangsung beberapa hari. Hatiku tetap menolak menganggap dia baik. Dan tentang keinginannya untuk menikahiku itu karena dia hanya merasa bersalah padaku. Tidak lebih. Jadi aku tidak pernah menganggapnya lebih. Aku melanjutkan pekerjaaku setelah makan siang. Akhirnya aku makan sendiri di ruang kerjaku. Dewa membawa satu kotak makanan ke ruangannya. Mencoba melupakan apa yang baru saja terjadi. Banyak sekali yang harus ku kerjakan. Apa aku memang harus pulang dengan Dewa? Jika aku menolaknya aku harus berhadapan dengan Tian. Dan itu hanya akan membuatku sakit hati. Aku tidak begitu akrab dengan karyawan di sini. Selain karena ruanganku yang tersembunyi dari yang lain, aku merasa memang banyak yang tidak suka denganku. Mereka melihatku dan Dewa seperti sepasang kekasih. Bukan seperti bos dengan bawahannya. Banyak yang tidak suka denganku karena iri. Tidak bisa kupungkiri pesona Dewa mampu membuat banyak wanita klepek-klepek. Selain tampangnya yang memang seperti titisan Dewa sesuai namanya. Isi dompetnya pasti juga selalu penuh. Dewa pewaris tunggal perusahaan ini. Perusahaan besar yang memiliki banyak cabang dengan sedikit sekali kemungkinan bangkrut. Selain bijak mengambil keputusan dia juga sangat ramah. Maka dari itu banyak sekali yang menyukainya. Apalagi karyawan perempuan. Andai aku punya beberapa teman perempuan,aku pasti bisa pulang dengan salah satu diantara mereka. Dan tidak harus terpaksa pulang bersama Dewa. Apa yang barusan kukatakan? Pulang dengan Dewa? Kalau aku pulang sendiri pasti Tian akan mengejarku lagi seperti sebelumnya. Pukuk 16.00 wib. Dewa masuk ke ruanganku tanpa mengetuk pintu. Aku masih berkutat dengan layar laptop didepanku. Satu jam lagi waktunya pulang dan pekerjaanku masih sangat banyak. Efek aku ketiduran tadi pagi. "Gadis, ayo kita pulang." katanya. "Bukannya masih jam empat ya, Pak? "Iya." "Lalu, kenapa Bapak mengajak saya pulang sekarang? Pekerjaan saya masih banyak, Pak." "Kalau kita pulang jam lima, Bastian pasti akan menunggumu di bawah. Kalau kita pulang lebih cepat dari biasanya, dia tidak akan tahu kalau kita sudah pulang." "Saya mau beres-beres dulu, Pak. Kalo sudah selesai, nanti saya ke ruangan Bapak." "Oke. Aku tunggu, Gadis." Katanya sambil keluar dari ruanganku. Aku mengelap wajahku dengan tissue karena memang sedikit berminyak. Memasukkan ponsel dan beberapa peralatan yang memang harus kubawa pulang. Memulas bibirku dengan lipstik tipis, mengingat bibirku sudah berwarna merah jambu. Merapikan rambutku yang sedikit berantakan. Apa yang barusan Dewa katakan memang benar. Tian pasti akan menungguku di lobi bawah saat waktunya pulang nanti. Aku melihat sekali lagi wajahku di cermin bedakku. Perfect. Selain tubuhku memang begitu indah tampangku juga sangat menarik. Daguku runcing, hidungku sangat mancung untuk ukuran orang Indonesia. Mataku bulat dan berwarna biru langit. Aku tidak menggunakan lensa sama sekali. Banyak yang bilang aku bukan keturunan Indo asli. Bisa jadi blasteran. Tapi aku juga tidak tahu siapa orang tuaku. Aku keluar dari ruanganku bertepatan dengan keluarnya Dewa dari ruangannya. Dewa terlihat lebih segar dengan balutan jas mahal. Aku yakin di balik balutan jas mahal itu pasti tersembunyi tubuh indah dan proporsional. Sepertinya dia sudah mandi. Aroma parfum maskulin menyeruak memenuhi indra penciumanku. Rambutnya disisir rapi. Tubuh tinggi dan tegap membuatnya lebih terlihat sexy. "Berhenti mengagumiku, Nona cantik." Katanya menggodaku. Apa? Apa benar dia bisa membaca pikiranku ? Dia bahkan tahu aku sedang mengaguminya. Dia tahu apa yang sedang aku pikirian. Oh tidak! Lagipula, untuk apa mengagumi pria sepertinya? "Hembb," Aku berdehem. "Mau kupeluk?" tanyanya "Jangan macam-macam, Pak!" "Aku sudah mandi, Gadis. Tidak bau keringat sepertimu." "Kalo saya bau, kenapa Bapak mau meluk saya?" "Apa pun keadaanmu, aku suka." "Mau pulang sekarang atau menunggu Tian?" "Ya sudah, ayo!" Kami melangkah meninggalkan kantor menuju lift khusus petinggi kantor. Sesampainya di basement, Dewa langsung menuju mobilnya. Aku pernah melihat mobil Dewa di majalah otomotif. Kalau tidak salah namanya Maybach Axelero. Jajaran mobil termahal saat ini. Ia memutari setengah mobilnya dan membukakan pintu untukku. Aku masuk ke mobil mewah itu. Inilah pertama kali aku menaiki mobil semahal ini. Dasar kampungan! "Gadis, kau masih menyukai sama Tian?" "Tidak. Kenapa Bapak bertanya seperti itu?" "Panggil aku Dewa. Kita sudah tidak di kantor." "Tidak bisa. Bapak atasan saya." "Kalau tidak mau, aku akan memecatmu." "Pecat saja, Pak." tantangku. "Ayolah, Gadis. Just call me Dewa. Please..." "Hmbbbb. Iya, Dewa." "Terima kasih." Mobil mewah yang kutumpangi melaju membelah jalanan ibukota yang ramai. Dengan kecepatan konstan, kami melewati gedung-gedung tinggi yang sangat megah. Beberapa gedung di ibukota ini milik perusahaan Dewa. Aku masih memikirkan bagaimana cara mengganti uang Rizal dan Kayla. Aku tidak mungkin merepotkan mereka terus. Selama ini mereka selalu membantuku saat aku dalam kesulitan. Saat aku tidak mampu membayar uang kuliah, membayar rumah kontrakan, bahkan saat aku putus dengan Tian pun aku masih merepotkan mereka. Satu-satunya harta yang kumiliki saat ini adalah motor. Motor yang kubeli secara kredit tapi sudah aku lunasi. Apa sebaiknya kujual saja motorku? "Apa yang kau pikirkan, Gadis ?" Aku berdeham. "Tidak ada, Pak." "Pak lagi." "Jadi?" tanyaku bingung. "Dewa, Gadis." sahut Dewa kesal. "Ohh, iya lupa." "Jadi apa yang kau pikirkan?" "Bapak bisa bantu saya lagi?" kali ini aku berharap dia mau membantuku. "Apa? Katakan." "Saya ingin menjual motor saya. Apa Bapak tertarik membelinya?" "Boleh. Berapa?" "Lima belas juta, Pak." "Jangan panggil, Bapak." "Kau mau 'kan, Dewa?" Kuberikan senyum terbaikku agar dia luluh. "Kau tidak perlu senyum semanis itu, aku akan tetap membeli motormu." Dewa terbahak. Sial! Kenapa dia selalu bisa membaca pikiranku? "Jadi, kau mau membelinya apa tidak?" "Nomor rekeningmu." Dewa menyodorkan ponselnya padaku. Aku memberikan nomer rekeningku padanya. Berharap dia segera mengirim sejumlah uang ke rekeningku. Beberapa saat kemudian aku merasakan ponselku bergetar. Dan benar saja, Dewa telah mengirim uang dua puluh juta ke rekeningku. Apa? Dua puluh juta? "Banyak sekali jumlahnya?" "Kenapa? Kurang?" "Aku tambah lagi kalau kau mau." "Itu kelebihan. Kau bahkan belum melihat kondisi motorku." "Tidak masalah. Aku tidak mau melihatmu kelaparan." "Itu lebih dari cukup, Pak Dewa." "Jangan panggil aku Bapak." "Lebih dari cukup, Dewa." ucapku tulus dan berhasil menerbitkan senyum di wajahnya. "It's okay. Kelak kau akan menjadi istriku. Aku akan memberimu segalanya. Uang yang kau terima sekarang belum apa-apa." "Bapak jangan bicara yang tidak-tidak. Saya bisa muak lama-lama." "Dewa!" Aku melihat kilatan merah di matanya. Ternyata dia terlihat mengerikan saat marah. "Maaf." Kataku singkat. "We will maeried soon, My girl." Harus kujawab apa? Aku bingung. Menikah butuh cinta yang luar biasa besar bukan? Jangankan cinta. Atau sekedar suka. Aku malah membencinya. "Kau tidak perlu risau. Cepat atau lambat kau pasti akan mencintaiku. Dewa berkata dengan kepercayaan diri yang tinggi. "Turunlah!" titahnya. Mobil Dewa berhenti di depan kost. Dia juga tahu di mana aku tinggal ternyata. "I know all about you, darling." Katanya. "Wait... how...?" "Sudahlah, jangan dipikirkan. Mandilah begitu kau sampai di rumah. Setelah ini, aku akan datang untuk mengambil motormu." Dewa turun dari mobilnya untuk membukakan pintu untukku. "Thanks, Dewa." Kataku lalu melangkah menuju rumah kostku. Dewa masih berdiri bersandar di mobilnya. Memasukkan kedua tanngannya kedalam saku celana mahalnya dan tak lupa tersenyum saat aku menoleh ke arahnya. Aku memutar kunci dan membukanya dengan cepat. Kurebahkan tubuhku di atas kasur yang empuk. Setelah itu, aku menyiapkan surat-surat penting motorku. Menatanya dan melihat ke arah motorku. Aku membelinya dengan keringatku sendiri. Dan sekarang aku harus merelakannya. Aku mengembuskan napas kesal. Hari ini aku harus berpisah dengan motor yang setiap harinya menemani perjalananku. Mulai sekarang aku harus terbiasa menggunakan transportasi umum atau transportasi online. Aku menanggalkan seluruh pakaianku. Tidak ada sehelai benang pun menempel di sana. Aku melihat kearah bibir merahku. Tanpa lipstik pun memang sudah merah dan tentu saja sexy. Jelas Tian begitu bernafsu untuk melahapnya. Usai mandi aku berganti pakaian dengan dress selutut. Dress yang pernah Rizal belikan padaku saat dia berada di Singapura. Dia membelikan dress yang sama persis dengan milik Kayla. Aku membuka pintu kamar lalu mengeluarkan motorku dan memarkirkannya di depan pintu. Beres. Tinggal menunggu orang suruhan Dewa mengambil motor ini. Karena tidak rasanya jika Dewa sendiri yang mengambil motor ini. Aku baru saja akan masuk lagi tapi urung kulakukan karena mendengar suara klakson yang jelas tertuju untukku. Aku melihat dua mobil berhenti di depan kost. Mobil yang satu pick up dan yang satunya lagi mobil Dewa. "Gadis, aku akan mengambil motorku sekarang." Kata Dewa saat keluar dari mobilnya. "Iya, ambil saja, Dewa." Kataku ramah. Apa mungkin rasa benciku mulai berkurang? "Sekarang, ganti bajumu. Kita akan makan malam setelah ini." "Hah? Makan malam?" "Iya, dinner, Sayang." Katanya menggodaku. Aku melihat supir dan dua orang mengambil motorku lalu menaikkan ke mobil pick up yang ku yakin milik Dewa juga. Hatiku perih sekali rasanya. Mengingat banyak hal yang pernah kulalui bersama motorku. "Ayo, Gadis. Jangan melamun. Atau kau mau menunggu Tian di sini? Aku yakin Tian pasti akan datang kemari jika tidak menemukanmu di kantor. Tian terlihat seperti psikopat sekarang." "Ehhh. Maksudnya?" "Tian tidak rela kau memutuskan hubungan kalian. Sekarang dia terlihat seperti terobsesi padamu. Segera ganti bajumu, kita akan pergi sekarang. Aku yakin Tian akan segera sampai." Aku masuk ke kamar lagi lalu mengunci kamarku. Apa yang barusan dikatakan Dewa benar lagi. Dia seperti bisa membaca suasana. Kulepas dress santaiku dan menggantinya dengan yang lebih formal. Ku biarkan rambutku tergerai indah dan kupoles sedikit make up di wajahku. Sedikit tapi cukup membuatku lebih menarik. Apalagi dengan dress yang kupakai begitu terlihat pas ditubuh indahku. Kupakai hells yang tingginya hanya tiga senti. Tinggi badanku juga lumayan. Jadi aku juga tidak perlu memakai heels yang terlalu tinggi. Aku melihat Dewa duduk di atas kap mobilnya. Dia memang sangat tampan. Mobil yang tadi membawa motorku kini telah menghilang entah kemana. "Kau mau makan apa, Gadis?" Tanyanya saat aku mendekat ke arah Dewa. "Terserah kau saja." Jawabku singkat. "You're so beautifull, Darling." Aku sudah sering mendengar kata-kata itu keluar dari mulutnya. Jadi bagiku itu adalah hal sangat biasa. "Thanks." Kataku. "Kita jalan-jalan dulu, setelah itu baru makan, ya?" Aku hanya mengangguk. Akhirnya kami berkeliling ibu kota untuk menikmati kemacetan di sore hari. Mobil Dewa berhenti di sebuah restoran yang cukup besar dan terkenal. Aku tahu Dewa pasti akan mengajakku ke tempat-tempat bagus seperti ini. Jadi aku sengaja memakai pakaian yang formal. Dewa turun dari mobilnya dan membukakan pintu untukku. Aku melepaskan seatbelt dan menerima uluran tangannya. Kami sudah seperti pasangan kekasih saja. Mungkin Dewa lah yang berpikir seperti itu. "Ayo, Princess kita masuk." Katanya sambil tersenyum ke arahku. "Dewa..." Haruskah kutakan tentang kegugupanku? "Ada apa, Sayang?" "Aku gugup." Kenapa aku malah mengatakannya? Sial! "Aku harus bagaiamana ?" Tanyanya membuatku bingung. "Maksudnya?" Kami masih berdiri di dekat mobil Dewa. "Apa perlu kugendong agar kau tidak gugup lagi?" Katanya mengedipkan matanya berkali-kali-membuatku ingin tertawa. "Tidak, Dewa. Aku belum pernah masuk ke tempat seperti ini." Aku masih ragu. Jujur saja, ini kali pertama aku akan masuk ke restoran sebesar ini. "I just wanna give the best for you, Darling." Kata Dewa sembari meraih tanganku. Aku merasakan Dewa menggenggam tanganku erat. Sangat erat. Seakan dialah yang berhak atas diriku saat ini. Kami mulai berjalan menuju lobi restoran. Aku melihat ke segala penjuru restoran saat kami mulai masuk ke dalam restoran tersebut. Wow! Aku terkagum-kagum melihat betapa bagusnya restoran ini. Apa aku sedang bermimpi? Aku baru saja akan mendeskripsikan tentang reatoran ini pada kalian. Namun, urung karena Dewa menarik tanganku. Terpaksa aku mengikutinya. Aku tidak mau tinggal di tengah-tengah orang yang tak kukenal. Kami lalu berjalan menuju lift. Setelah menekan tombol entah menuju lantai berapa karena aku tidak memperhatikannya. "Kita mau kemana?" "Tempat special untukmu." "Embb. Lain kali kita makan di pinggiran saja, ya?" "Iya, Sayang. Kuharap kau tidak keberatan aku mengajakmu kemari." "Don' call me sayang or darling, Dewa." "Kenapa?" Tanyanya bingung. "I'm not your girlfriend!" Kataku ketus. "Bagaimana kalau mulai sekarang kita pacaran?" Tanyanya. "Pacaran? Aku bahkan tidak menyukaimu." kataku lagi. "Ya sudah. Aku tidak akan memaksamu. Aku akan selalu melindungimu sampai kau siap untuk menjadi istriku." "Jangan berlebihan, Dewa." "Aku mencintaimu." Dewa memajukan wajahnya hingga tepat di hadapanku. Aku bisa melihat bibirnya yang sexy itu tersenyum melihat ekspresiku. Apa yang akan dia lakukan? "I just wanna kiss you." Aku menutup mataku rapat-rapat. Aku takut kalau dia mencium bibirku. Tubuhku seakan membeku tak mampu bergerak sama sekali. Biasanya kalau Tian yang melakukannya aku reflek berlari atau mencari alasan lain. Tapi ini Dewa! Ya Tuhan? Apa aku mulai Gila? Aku merasakan bibir indah itu mendarat di keningku. Aku juga merasakan lengan kokoh Dewa merengkuh pinggangku. Aku menikmati detik-detik saat dia membawaku ke alam bawah sadar. Hingga akhirnya pintu lift terbuka. Aku menahan tawa melihat ekspresi kesal Dewa. Dewa melepas bibirnya dari keningku. Lalu melangkah keluar lift sembari memegang tanganku. Aku berjalan mengikutinya. Akhirnya kami sampai di sebuah ruangan yang cukup besar dan nyaman. Aku bisa melihat ke luar menikmati lautan lampu di sana. Dewa sudah memesan beberapa makanan dan tersaji di atas meja makan. Banyak sekali. Aku yakin rasanya nikmat dan aku bisa menghabiskannya. Kami duduk berhadapan dan masih diam. Aku enggan memulai percakapan karena masih syok dengan ciuman Dewa. Entahlah apa yang sedang Dewa pikirkan. "Kau mau makan sendiri atau..." "Aku bisa makan sendiri." sahutku cepat. "Baiklah. Kau bisa makan sepuasnya. Kalau kurang, kita pesan lagi." "Kau tidak makan?" Tanyaku. "Aku ingin memakan bibirmu." "Aku bisa mati kalau kau memakan bibirku." "Makanlah, kasihan perutmu kelaparan." Aku mulai melahap makanan di atas meja. Rasanya nikmat sekali. Inikah syurga dunia? Ya Tuhan.. andai setiap  hari aku bia makan seperti ini, pasti aku bisa tumbuh lebih tinggi dan cantik. Aku mulai menghayal yang tidak-tidak. Aku benar-benar suka dengan makanan di sini. Mungkin lain kali kalau uangku sudah banyak,  aku bisa ke sini sendiri. Aku melihat Dewa hanya tersenyum melihat tingkahku. Aku tak tahu dia makan atau tidak. Aku mendominasi acara makan malam ini. Aku tidak bisa mengontrol diriku untuk berhenti makan. Akhirnya aku berhenti karena perutku sudah penuh. Aku kekenyangan. Tiba-tiba aku merindukan kasurku. Aku ngantuk. "Dewa, kau yakin tidak mau makan?" Tanyaku. "Kemarin kau makan sangat banyak. Hari ini kau juga makan dengan porsi tidak sedikit. Apa kau selalu makan sebanyak ini setiap hari? Tapi, kenapa tubuhmu masih ramping? Tidak membengkak sama sekali meskipun nafsu makanmu luar biasa..." "Kemarin?" tanyaku heran. "Kemarin aku yang membayar tagihan makan malammu." Katanya lagi. "Kau...?" Aku masih tidak nyangka. "Aku sengaja mengikutimu dan Tian, menguping pembicaraan kalian, dan sekarang aku senang melihat kalian tidak lagi bersama." "Dasar kurang kerjaan!" "Mulai sekarang kemana pun kau pergi, aku akan selalu mengantarmu. Aku tidak akan membiarkan Tian mendekatimu lahi.. I just want you for my own." Katanya. "Kau berlebihan, Dewa. Apa yang kau lihat dari wanita miskin sepertiku?" "Aku tidak butuh uang untuk mencintaimu. Aku juga punya uang. Ini semua salahmu." "Hah? Aku? Apa salahku?" tanyaku heran. "Karena kau   telah membuatku jatuh cinta." "Salahkan dirimu!" Kataku kesal. "Mau pulang sekarang apa nanti?" "Sekarang saja. Aku sudah mengantuk." "Okay. Yuk!" katanya sambil berdiri. Sekarang kami berada di dalam mobil Dewa. Jalanan sudah sedikit sepi karena memang sudah larut malam. Kalau perkiraanku tepat, pukul 21.00 kami pasti sudah sampai di kostku. Aku merasa ada yang aneh dengan diriku sendiri. Tidak biasanya aku menerima Dewa seperti ini. Sekarang, setiap saat dia memenuhi pikiranku karena aku terlalu sering bersamanya. Aku mungkin masih menyimpan rasa untuk Tian. Tapi aku tidak mungkin bersamanya lagi. Haruskah kubuka hatiku untuk Dewa? Selama ini dia memang baik. Bahkan perhatiannya melebihi perhatian Tian terhadapku. Aku takut jatuh cinta pada orang yang salah. Dewa menghentikan laju mobilnya tepat di depan kostku. Aku tidak menyadari ternyata kami sudah sampai. Aku terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri. Dewa menatapku lembut. Menggenggam tanganku erat seakan aku miliknya. Memajukan wajahnya hingga tepat diwajahku. Aku bisa melihat betapa tampannya dia. Aku hanya mengaguminya saja. Sekarang dia memojokkanku. Aku duduk tepat di depan wajah tampannya. Aku terhipnotis dengan ketampanan yang dia miliki. Dia membelai lembut pipiku. Aku merasakan napasnya di wajahku. Dewa menuntun tanganku. Meletakkannya tepat di dadanya. Aku bisa merasakan detak jantungnya. Senyumku timbul karena jantungnya berpacu dengan cepat. Apa dia sedang jatuh cinta? Aku menahan tawa melihat wajahnya memerah. Harusnya aku yang blusing. Sekarang wajahnya seperti kepiting rebus. Dewa menarik wajahku hingga jarak di antara kami hanya beberapa centi saja. Aku masih terpaku. Tubuhku tidak bereaksi apa-apa saat kedua tangannya menjalar di tengkukku. Aku menutup mataku. Dewa melahap bibirku. Mencecap sebentar lalu melepaskanya. Aku bisa merasakan bibir sexy itu mendarat di bibirku. Jantungku berdetak lebih cepat. Ya Tuhan! Apa aku sedang  bermimpi! "Tentu saja kau sedang tidak bermimpi, Sayang." Kata Dewa. Apa dia juga bisa membaca pikiranku? "Tentu saja aku bisa membaca pikiranmu." Katanya lagi. Apa dia vampire ? "Yes. I'm a VAMPIRE, Darling." Ya Tuhan?!  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD