PART-4

2302 Words
PART-4 Jangan pernah berpikir aku tidak mencintaimu. Jangan pernah berpikir untuk meninggalkanku sejauh mungkin-DEWA Vampire ? Apa yang barusan Dewa katakan? Dia vampire? Apa dia bercanda? Dia tidak hanya bisa membaca pikiranku. Bahkan dia juga bisa menghipnotisku! Apa aku harus mempercayainya? "Kau tidak keberatan aku mencium bibirmu?" Katanya lagi. Aku masih diam membisu. Aku kehabisan kata-kata. Apa yang harus kukatakan? "Ini ciuman pertamaku, hanya bibir indahmu yang boleh merasakannya. Dan bibirmu hanya untukku. Aku bisa belajar dari temen-temenku kalo kau merasa kurang puas dengan ciuman kita." Dewa menyeringai. Harus ku jawab apa? Aku masih shock. Ini terlalu cepat bukan? Bukankah aku membencinya ? Aku bisa merasakan jantungku mulai bertingkah. Melompat ke sana kemari tak karuan. Apa aku juga ingin membalas ciuman yang barusan Dewa berikan? "Baiklah. Kita lakukan lagi kalau kau mau membalas ciumanku." Kata Dewa lagi. Aku lupa dia bisa membaca pikiranku. Dewa melahap bibirku lagi, melumatnya perlahan. Menuntun tanganku agar memeluk tengkuknya. Tangannya berjalan lincah di kepalaku. Mengelus rambutku perlahan. Jari- jemarinya menari-nari di wajahku membuatku semakin geli. Aku tergoda..... Dewa menjelajahi mulutku dengan lidahnya. Aku membuka sedikit mulutku. Membiarkan lidah nakal itu berpetualang semaunya. Aku menarik bibir bawahnya dengan bibirku. Melumatnya perlahan membiarkan diriku menikmati setiap hisapan di sana. Tanganku menari-nari di lehernya. Membiarkan kuku-kukuku mencakar kulit putihnya. Aku bisa merasakan tubuhnya merinding karena ulahku. Napasku tersengal. Sudah berapa lama kami melakukannya? Aku merasakan lengan kokohnya merengkuh pinggangku. Aku memeluk punggung bidangnya. Menghirup aroma tubuhnya. Biarlah kalau akhirnya aku jatuh cinta pada orang yang salah. Nantinya, kalau akhirnya dia pergi meniggalkanku aku akan mengobati rasa sakitku dengan pergi sejauh mungkin dari dia. Aku mengurai pelukan kami saat nafasku mulai teratur. Senikmat inikah berciuman? Aku belum pernah membayangkan bagaimana rasanya. Aku memalingkah wajahku dari Dewa. Aku tahu dia menatapku intens. "Look at me, Gadis." Titah Dewa. Dewa menangkupkan kedua tangannya di wajahku. Mengelus pipiku lembut. Aku melihat senyum manis di wajah tampannya. Aku bisa merasakan betapa tulusnya dia saat mengatakan hal itu. "Jangan pernah berpikir aku akan meninggalkanmu. Jangan pernah berpikir kau akan meninggalkanku sejauh mungkin. Jangan pernah berpikir aku tidak mencintaimu. Berjanjilah kau akan selalu di sampingku." "I promise." Aku reflek mengatakan hal itu. Entah apa yang aku pikirkan. "Katakan kalau kau sudah siap. Aku akan segera menikahimu." Katanya lagi. "Aku masih ragu dengan perasaanku padamu. Mengertilah." Aku mencoba mengatakan apa yang kurasakan. "Aku tahu. Akan kutunggu sampai kau benar-benar siap. Aku tidak akan memaksamu." "Thanks, Pak Dewa." Kataku menggodanya. "Kau sengaja menggodaku, hem?" Belum sempat kujawab pertanyaannya. Dia sudah melahap bibirku lagi. "Aku bisa jangtungan kalau kau mengagetkanku terus-menerus!" Kataku kesal. "Tapi, kau suka, 'kan?" tanyanya. "Hemmm." Aku hanya berdehem, enggan menjawabnya. "Turunlah! Sudah larut, langsung tidur jangan memikirkan Tian lagi!" "Iya. Iya. Iya." Jawabku singkat. Aku lalu turun dari mobil Dewa setelah ia membukakan pintunya. Aku melangkah menuju kostku tapi Dewa menarikku dan memelukku erat. Mencium keningku dan kepalaku dengan sayang. "Dewa lepas. I'm sleepy!" Kataku kesal. "I can't sleep without you. Let's married!" pintanya. "Iya, iya, besok. Sekarang aku mau tidur dulu." Jawabku asal. "Janji?" "Janji. Pulanglah! Aku mau tidur." "Besok pagi aku jemput." "Iya." Akhirnya aku bisa merebahkan tubuhku di atas kasur. Nyaman sekali. Setelah makan enak aku bisa tidur puas sekarang. Besok aku akan bangun pagi-pagi untuk mencuci pakaian kotorku sebelum bekerja. ** Aku bangun tepat waktu. Pukul 05.00 wib seperti biasa. Kalau biasanya kuhabiskan pagiku bersama Tian mungkin mulai sekarang aku bisa menghabiskan waktuku menuju kantor bersama tukang ojek. Aku bisa memesan ojek online untuk menghemat biaya hidupku. Yah, agar aku bisa membeli motor baru. Aku bisa naik ojek sampai di depan kantor lalu sarapan di pinggiran. Kuanggap apa yang kulalui bersama Dewa hanyalah angin lewat. Aku beranjak dari kasurku lalu menuju toilet. Aku mencuci baju-baju kotorku lalu menjemurnya dibelakang kamar kostku. Ruangan khusus yang kugunakan untuk menjemur baju karena kalau kujemur di luar pasti hilang. Dulu, waktu awal-awal pindah ke sini aku sering kehilangan baju-bajuku. Selesai! Aku sudah siap dengan pakian formal. Siap menuju ke kantor. Aku keluar dari kostku. Aku bisa berjalan keluar gang sembari memesan ojol. Aku melihat mobil yang sangat familiar terparkir di depan kostku. Aku berusaha tetap tenang di hadapan lelaki yang sangat ku kenal. Dia melihatku intens. Tatapan matanya mengisyaratkan kesedihan yang mendalam. Aku harus menghindarinya atau aku akan menyesal. Aku membalikkan badanku dan baru saja akan membuka pintu. Tian memeluk tubuhku dari belakang. Aku rindu aroma tubuhnya saat dia selalu memelukku. Kebersamaanku dengannya selama empat tahun. Dan aku tidak mungkin melupakannya dalam semalam. Di satu sisi aku kecewa padanya. Di sisi lain aku merindukannya. Aku mendengar isak tangis Tian. Dia sama hancurnya denganku. Aku juga sangat merasa hancur. Kubiarkan diriku bersamanya untuk beberapa saat. Aku juga merindukanmu Tian. Dalam kehangatan pelukan pagi ini, aku melihat wajah marah Dewa. Aku reflek melepas pelukan Tian dan berbalik. "Tian, stop it!" Aku benar-benar melihat Dewa di belakang Tian. Melihat betapa marahnya dia. "Gadis, kumohon. Aku minta maaf. Aku merindukanmu." Katanya lirih. Aku baru saja akan mengatakan apa yang kurasakan bahwa aku juga merindukannya. Namun urung karena Dewa menarik tubuhku dan melahap bibirku saat itu juga. Di hadapan Tian. Aku yakin itu cukup membuat hati Tian remuk dan hancur berkeping-keping. "Emmmpphhhh!'" Aku mencoba melepaskannya. Dewa melapaskan bibirku lalu memelukku erat. Sangat erat. Aku malu. Di hadapan Tian. Dewa menuntun kepalaku agar bersandar di dada bidangnya. Aku tak punya daya menatap Tian. "Ayo, Gadis kita pergi dari sini." Kata Dewa dingin. Aku tidak mendengar apa pun keluar dari mulut Tian. Aku tidak mendengar suara kaki Tian mengejarku. Aku yakin dia kecewa padaku. Aku bingung dengan perasaanku sendiri. Aku berjalan mengikuti langkah Dewa. Dia seperti menyertku. "Masuk!" Kata Dewa setelah membuka pintu mobil untukku. Setelah duduk, aku melihat  melihat bulir-bulir bening terjun bebas dari sudut matanya. Aku melihat kepedihan di sana, di netra Tian. Tian,andai waktu itu kau tidak mengatakan hal seburuk itu padaku, mungkin hari ini aku akan memelukmu erat seperti dulu. Aku masih menyimpan rasa yang begitu besar untukmu. Mobil Dewa melaju meninggalkan kostku. Aku mengalihkan pandanganku ke jalanan beraspal. Setengah hatiku menyimpan kebencian untuk Tian setengahnya lagi mencintainya. Namun, ada sedikit ruang di hatiku untuk menyimpan dan menerima kehadiran Dewa. Menyimpan memory saat-saat berharga bersama Dewa. Menerima kalau Dewa memang sudah mengisi ruang kecil di sana. Aku merasakan Dewa menggenggam tanganku lalu mencium punggung tanganku lembut. Bibirnya berkata... "Aku minta maaf." "Hemmmb." Aku hanya berdehem. "Aku hanya tidak mau ada orang lain yang menyentuhmu. Aku benar-benar minta maaf." Katanya lagi. "Hemmb." "Kalau kau butuh pelukan, aku bisa kapan saja memelukmu. Tapi jangan ijinkan siapa pun memelukmu lagi." "Aku bukannya butuh pelukan, Dewa. Empat tahun tidak mungkin aku lupakan dalam waktu satu malam." "Aku tahu. Aku juga tahu kalau rasa bencimu untukku mulai berkurang dan malah menjadi cinta. Dan rasamu untuk Tian berubah dari kecewa menjadi benci. Mungkin aku hanya mengisi sedikit ruang dihatimu, tapi aku yakin. Kelak seluruh hatimu akan dipenuhi semua tentangku. Benarkan?" "Exactly." Jawabku singkat. "Kau ingat pertama kali kita bertemu?" "Tidak." "Payah!" "Aku ingat, kau membuang laporan keuangan yang sudah kubuat dengan susah payah lalu banting ke lantai dan kertas-kertas laporan itu berhamburan!" Kataku kesal mengingat kejadian itu. "Kau salah. Kita pernah bertemu sebelumnya." "Oh ya?" Seingatku kejadian Dewa membanting hasil kerjaku adalah pertemuan pertamaku dengan Dewa. "Ingat saat kau pergi ke sebuah talkshow untuk meminta tanda tangan penulis favoritmu lalu seorang wanita menabrakmu?" Flashback. Tiga bulan yang lalu... Hari ini cuaca terik sekali. Tapi aku masih tetap bersemangat mengunjungi salah satu mall di kotaku. Aku sendirian. Karena Rizal sudah pindah ke London untuk mengurus bisnis ayahnya. Kayla pindah ke Bali kemarin, mengurus resort yang baru ia bangun. Hanya sekitar satu bulan sih di sana. Sedangkan pacarku Bastian Ferdiansyah sedang memani ibunya membuat kue. Aku sengaja datang ke mall karena di mall ini akan datang penulis favoritku. Dia akan mengadakan jumpa pers dan bedah novel terbarunya. Beberapa fans penulis tersebut memang sengaja datang untuk meminta tanda tangan beliau. Termasuk aku. Setelah acara selesai, akhirnya giliran untuk mengantri minta tanda tangan. Aku berhasil mendapatkan tanda tangan dari penulis favoritku. Yayyyy!!!! Brukkkk!! Tiba-tiba seseorang menabrakku. Aku tersungkur ke lantai. Lututku terasa sakit meski tidak berdarah. "Kau punya mata atau tidak?!" Sentak perempuan cantik jelita yang menabrakku tadi. Aku beranjak berdiri dan mengusap lututku yang sakit. Aku melihat perempuan yang tadi menabrakku melenggang pergi tanpa rasa bersalah. Seseorang datang mengambil beberapa novelku yang terjatuh. Aku menerimanya tanpa melihat wajahnya lalu mengucapkan terima kasih. Dia menahanku dan mengajakku berkenalan. Aku terlanjur kehilangan moodku dan mengbaikannya. Aku melangkahkan kakiku lalu pulang. "Iya, aku ingat. Kenapa?" Kataku setelah aku mengingat kejadian tiga bulan lalu. "Itu pertemuan pertama kita, Sayang." Kata Dewa dengan senyum yang sengaja dibuat semanis mungkin. "Aku yang mengambil novel-novelmu yang jatuh. Dan pertemuan pertama kita itu yang membuatku langsung jatuh cinta padamu." "Aku tidak mengingatnya." kataku datar. "Dan setelah kejadian itu, aku terus memikirkanmu. Aku mengikutimu sampai ke rumah kostmu karena aku takut kehilangan jejakmu." "Hemm." Aku hanya berdehem. Satu-satunya yang bisa kulakukan saat sedang gugup. "Paginya aku kembali ke London. Mengambil barang-barangku yang di sana karena sebelumnya aku kuliah di sana. Aku memutuskan pindah lagi ke Indonesia. Padahal sebelumnya aku ingin tinggal di London selamanya. Aku terus memikirkanmu selama di London. Mendengar keputusanku balik ke Indonesia, papa memintaku untuk mengurus perusahaannya. Awalnya aku menolak mentah-mentah apa yang papa minta. Aku sengaja menemui papa di kantor dan ingin mendiskusikan hal itu sama papa. Aku kembali ke Indonesia untuk bertemu denganku. Bukan untuk perusahaan Papa. "Saat tiba di kantor Papa, aku melihatmu keluar dari kantor Papa. Aku bertanya pada salah satu karyawan Papa katanya kau baru saja interview. Dan kau diterima di perusahaan papa. Aku lalu menemui papa dan  meminta papa agar aku diijinkan memimpin perusahaan Papa dengan syarat kau yang menjadi sekertarisku. Dan papa setuju. "Kau belajar langsung dari Mamaku dan aku belajar langsung dari Papaku. Sebulan berlalu dan akhirnya aku bisa menjadi bosmu. Yang kutahu, banyak karyawan yang tertarik denganku. Dan aku juga berharap itu berlaku padamu. Aku sengaja membentakmu untuk menarik perhatianmu dan berharap kau jatuh cinta padaku. Tapi aku salah. Tidak mudah bagimu berpaling dari Tian. Setiap hari aku selalu berangkat menjemputmu lalu pulang membuntuti kau dan Tian. Aku berharap suatu hari nanti aku akan ada di posisi Tian atau lebih dari itu." Dewa mengakhiri ceritanya karena kami telah berada di basecamp kantor. Ia lalu membuka pintu mobil untukku. Aku turun dan mengikuti langkahnya. Aku masih enggan berkomentar dengan ceritanya. Aku tidak tahu ternyata dia mengenalku jauh sebelum aku mengenalnya. Aku tidak pernah menganggap dia ada. "Tidak masalah jika kau tidak pernah menganggapku. Tapi mulai sekarang aku tidak akan pernah membiarkan siapa pun menyentuhmu. Aku tidak akan pernah membiarakanmu pergi dariku walau selangkah." ujar Dewa seperti bisa membaca pikiranku. "Kau berlebihan." Kataku. "Tidak. Jangan pernah pikirkan Tian lagi. Aku tidak bisa membayangkan kalau suatu hari nanti kau benar-benar menikah dengan Tian dan saat kau melakukan kesalahan dia memakimu seperti kemarin. Aku tidak mau hal itu terjadi. Mungkin aku bukanlah laki-laki seperti yang kau inginkan. Tapi bisa kupastikan kau akan bahagia bersamaku." Dewa membuka pintu kantorku dan ikut masuk saat aku sudah di dalam. "Entahlah. Aku masih belum bisa melupakan Tian." Kataku singkat. Dewa menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Mencium pucuk kepalaku dengan lembut. Aku tidak merasa keberatan dengan apa yang dia lakukan. Kuakui pelukannya mampu membuatku tenang. Dewa menuntun tanganku untuk balas memeluknya. Aku ragu. Tapi bukan Dewa kalau dia tidak bisa membuatku memeluknya. Dia tetap menarik tanganku meski aku menolaknya. Aku pasrah dan akhirnya memeluknya dengan erat. Aku merasakan bibir sexy nya menempel di bibirku. Awalnya pelan tapi selanjutnya dia melumat bibirku kasar dan memaksaku membuka mulutku. Aku tetap diam dan tidak membalasnya. "Aku tidak akan melepaskanmu sebelum kamu membalasnya." Kata Dewa dengan nada mengancam lalu melumat lagi bibirku. Aku membalas ciuman Dewa tak kalah panas. Rasanya aku mulai ketagihan dengan sesuatu yang disebut ciuman. Aku menggigit kecil bibir bawah Dewa dan lidahku mulai merengsek masuk ke dalam mulutnya. Memainkan lidah Dewa yang semakin memanas. Aku semakin erat memeluknya. Membiarkan tubuhku hanyut dalam kenikmatan yang tak bisa kuartikan. Aku mendengar derap langkah kaki semakin mendekat. Mencoba melepaskan bibirku dari Dewa. Dewa malah menghisapnya lebih dalam. Aku benar-benar terkurung dalam pelukannya dan bibirku seperti dipenjara. Aku bisa mendengar pintu ruanganku terbuka. Aku yakin siapa pun yang melihatku dan Dewa dengan keadaan seperti ini pasti berpikir aku adalah wanita murahan. Dewa melepaskan bibirku dan menuntun kepalaku agar bersandar di dadanya dengan wajah berpaling dari pintu. Dia masih memelukku meski aku telah melepaskan tanganku dari punggungnya. Sepertinya dia tidak mengijinkanku melihat siapa yang datang. Aku merasakan tubuh Dewa terhempas dan otomatis tubuhku terhuyung ke belakang. Aku melihat Tian dengan amarah yang menggebu. Tian siap melayangkan tinjunya ke arah Dewa. Aku tidak mungkin menahan laju tinju Tian dengan tanganku karena aku tidak cukup kuat. Aku berpikir cepat sebelum Tian menghantam Dewa. Aku memeluk tubuh Tian dari belakang. Menangkap tinju Tian dan mencoba menenangkannya dengan pelukanku. Tian urung melepaskan tinjunya dan berbalik memelukku erat. "Aku merindukanmu. Jangan siksa aku seperti ini." Kata Tian. "Hemmm." Aku hanya berdehem. Aku berhasil menyelamatkan Dewa dari amukan Tian. Dewa mendorong tubuh Tian hingga membuat Tian hampir terjatuh ke lantai. Wajah Dewa terlihat sangar dan tentu saja marah. Dewa menarik kerah kemeja Tian dan memojokkannya di tembok. "Apa hakmu mencium kekasihku?" Kata Tian. "Cih!" Dewa berdecih "kekasih katamu. Kau lupa kalian sudah putus?" "Dia mencintaiku, Dewa. Lepaskan dia." Kata Tian tenang. "Kau salah. Dia mulai mencintaiku." Dewa berkata penuh percaya diri. "Dia bukan perempuan yang mudah jatuh cinta Dewa!" "Dia sudah mencintaiku." Dewa mengatakannya sembari melihat ke arahku. "Tian, pergilah." Kataku kemudian. "Apa maksudmu, Gadis ?" Tian bertanya padaku. "Pergilah. Apa yang barusan Dewa katakan memang benar. Aku terlanjur membencimu." Kataku. Dewa melepaskan cengkramannya saat mendengar apa yang kukatakan. Tian melangkahkan kaki kearahku dan membisikkan sesuatu. "Aku tidak akan pernah melepaskanmu, Sayang." Kata Tian tepat ditelingaku lalu mendaratkan bibirnya di pipiku.        
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD