Mulai Berulah

1914 Words
Sungguh, Susan merasa di bodohi. Bisa-bisanya dia percaya begitu saja sama laki-laki yang baru dia kenal, hanya karena bibinya mengatakan jika laki-laki itu baik. Namun lihatlah, dia bahkan sudah langsung menunjukkan sisi mesumnya , bahkan sebelum genap dua puluh empat jam mereka saling kenal. "Iya. Aku memang mengatakan untuk tidak akan melakukan itu sama kamu, Susan, tapi kan aku tidak mengatakan jika kita akan tidur di kamar atau ranjang terpisah!" balas Lucky dengan sangat jelas dan lugas, dan Susan langsung beranjak lebih dekat ke arah Lucky. "Tapi Tuan...." Belum selesai kalimat yang ingin Susan katakan untuk menyanggahi semua argumen Lucky, saat tiba-tiba Lucky justru menarik tangan Susan hingga Susan jatuh ke atas tubuhnya, dan detik berikutnya, Lucky justru menggulingkan tubuh kecil Susan hingga kini posisinya Lucky seolah sedang menaungi tubuh kecil dan mungil Susan. "Kenapa? Apa kau justru berubah pikiran dan ingin mencobanya...?!" ucap Lucky dan Susan langsung mengeleng dengan sangat cepat. Rasa gugup bercampur takut benar-benar masih kentara dia rasakan. Susan bahkan tidak berani membayangkan bagaimana bentuk tubuh bagian bawah Lucky. Tubuh Lucky sangat tinggi dan liat, dan pastinya Susan langsung membayangkan punya Lucky pasti segede terong panjang warna hijau di taman belakang rumahnya, lalu detik berikutnya Susan justru membayangkan jika Lucky akan memasukkan miliknya ke dalam tubuhnya yang mungil ini. 'Oh my God... Susan benar-benar bergidik ngeri hanya karena membayangkan itu saja. Dia belum apa-apa tapi sudah takut duluan'. "Tidak... Tuan itu apa apaan dah. Mana mungkin Susan berubah pikiran. Dih enggak ya Tuan!" "Terus kamu kenapa harus takut untuk tidur denganku. Kan aku gak akan ngapa-ngapain, kamu." "Iya kali aja Tuan nanti khilaf, atau salah ngira Susan itu guling. Kan Tuan itu laki-laki." "Khilaf. Oh ayolah Susan. Itu tidak mungkin," tolak Lucky lagi. "Ooh atau jangan-jangan kamu yang ingin berbuat curang...?!" kutip Lucky lagi, tapi lagi-lagi Susan langsung menggeleng dengan sangat cepat. Sangat cepat. "Enggak. Dih enggak ya Tuan. Apa Tuan pikir , Tuan itu keren sampai Susan yang akan berbuat curang. Gini-gini Susan tu punya harga diri ya Tuan. Dih enggak banget dah pikiran Tuan itu!" tolak Susan, tapi Lucky justru terlihat memutar bola matanya asal. "Emang aku tu keren Susan. Kamu aja yang belum menyadari!" balas Lucky. Mata Lucky masih menatap tajam mata Susan, dan saat ini Lucky juga masih setengah menaungi tubuh kecil Susan. Perlahan Lucky membuka satu persatu kancing kemejanya dan Susan benar-benar menahan nafasnya karena takut juga gugup. "Oh apa yang akan Tuan lakukan? Jangan macam-macam Tuan? Atau aku akan berteriak!" ucap Susan dengan suara terbata-bata. "Kenapa. Bukankah tadi kamu mengatakan jika aku tidak keren? Aku akan membuktikan jika aku jauh lebih keren dari apa yang kamu bayangkan!" balas Lucky dan Susan semakin kesulitan menelan salivanya sendiri. "Tuan... Aku mohon jangan lakukan itu, atau aku benar-benar akan berteriak!" ucap Susan lagi , tapi Lucky benar-benar tidak begitu mengindahkan nya. Dia tetap membuka seluruh kancing kemejanya kemudian perlahan menanggalkan kemeja itu dari tubuhnya tanpa membuat naungan tubuh besarnya melepaskan kungkungannya di tubuh kecil dan mungil itu dan bersamaan dengan itu tubuh Susan justru terasa bergetar karena takut. Takut membayangkan apa yang sekiranya laki-laki tua di atasnya ini ingin lakukan. Lucky melempar asal kemeja itu di sisi ranjang, kemudian dengan sebelah tangannya dia justru menyentuh kulit leher hingga dadanya sendiri dengan gaya seorang penggoda , dan percayalah Susan langsung kesulitan menelan saliva nya sendiri , bahkan rasanya mendadak oksigen di sekitarnya habis terkuras entah kemana dan kini gemuruh di dadanya justru terasa sesak. "Tuan... Aku mohon jangan...!" ucapnya dengan sangat pelan nyaris terdengar seperti igauan, tapi lagi-lagi Lucky sengaja menuliskan telinganya untuk mendengar desis ketakutan dari wanita mungil di bawahnya. Lucky justru sengaja menurunkan sedikit wajahnya, membuat jarak wajah dia dan Susan semakin dekat dan Susan benar-benar semakin tidak bisa bernafas meskipun ada aroma mint dari parfum di tubuh Lucky yang ikut menyeruak masuk di indera penciumannya. "Buka matamu Susan, lalu lihatlah, betapa kerennya aku!" bisik Lucky tapi Susan justru semakin menutup rapat kelopak matanya seraya menahan kancing bajunya agar Lucky tidak bisa melakukan apa-apa pada dirinya dan detik berikutnya Susan benar-benar berteriak. "Tollll...." Namun belum sempat teriakan itu lepas dari bibir Susan, Lucky justru langsung membekap mulut Susan dengan telapak tangan besarnya dan detik yang sama pula pintu kamar itu dibuka dari arah luar. Lucky refleks mengangkat selimut di sisi ranjang untuk menutup tubuh mereka berdua, dengan tangan yang masih membekap mulut Susan agar tidak berteriak. "Susan..." sapa Wenda. Dia lantas menutup matanya saat melihat selimut di atas ranjang itu sedikit menggunung dan tentu saja pikiran Wenda saat ini kedua pasangan pengantin baru itu sedang merajut kasih..."Ooh maaf. Maaf. Mama pikir kalian belum mulai!" ucapnya tidak kalah sengklengnya dengan sang suami, Matteo. "Diam... Diamlah...! Jangan berani ngomong yang macam-macam kamu! Jangan berteriak, atau aku benar-benar akan melakukannya!" ancam Lucky dan Susan tentu saja hanya mengangguk pasrah dengan ketakutan yang begitu mendominasi. Lucky akhirnya menurunkan selimut itu dan hanya mengeluarkan kepala dan separuh dadanya, seolah ingin memperlihatkan jika saat ini dia memang sedang melakukan aktivitas malam pertama seperti pada umumnya , mengingat sebelumnya jelas jika kedua orang tuanya mengira jika Lucky itu adalah laki-laki gay, penyuka lawan jenis, dan Lucky memang sudah memprediksikan jika ibunya pasti akan datang dan menyelidiki kegiatan malam mereka, sementara di balik selimut Lucky masih menyembunyikan Susan yang masih menggunakan pakaian lengkap. "Aah Mama. Apa yang Mama lakukan di kamar Lucky?" tanya Lucky dengan ekspresi marah, tapi Wenda yang saat ini terlihat menutup matanya menggunakan sebelah tangannya, tapi jari jemarinya justru dia buat sedikit merenggang , seolah dia juga tidak ingin melewatkan kesempatan untuk benar-benar bisa melihat kenyataan bahwasanya putranya memang laki-laki normal, tidak seperti yang diberitakan di luar sana. "Aah itu... ini... apa namanya. Anu... Mama... itu... Mama mau ngasih ini sama Susan, kali aja dia membutuhkan nya!" ucap Wenda sambil menunjuk dua peper bag di tangan satunya lagi. "Mama...!" Lucky masih ingin protes. "Sungguh Mama tidak tahu jika kalian akan memulainya dalam waktu cepat. Ini masih jam delapan, Mama pikir kalian masih ingin bercengkrama!" ucap Wenda lagi, dan Lucky terlihat menghela nafas, dan Susan perlahan mengeluarkan kepalanya saja dari balik selimut. "Mama... Tolll!" Susan ingin meminta bantuan, tapi Lucky kembali membekap mulutnya agar tidak bersuara. "Aaah iya iya. Mama tau kalian lagi tanggung kan. Iya... Mama keluar sekarang. Mama keluar.... Mama letakkan ini di sini saja, dan ini untuk kamu ya Susan!" ucap Wenda yang perlahan menunduk untuk meletakkan dua paper bag itu di lantai, kemudian perlahan mundur untuk segera keluar dari arah pintu itu, menekan gagang pintu kemudian menariknya dan benar saja Wenda benar-benar keluar dari kamar itu lalu menutup rapat pintu itu. Diam-diam Wenda terlihat menghela nafas kemudian menghembuskannya dengan sangat lega. Ada senyum yang begitu manis turut terbit dari bingkai wajah tuanya yang masih cukup cantik. Senyum penuh kelegaan juga penuh berkah karena pada akhirnya dia bisa melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwasanya putranya adalah laki-laki normal. "Kenapa Mama senyum-senyum sendiri?!" sapa Matteo saat melihat ekspresi wajah senang istrinya. Wenda tidak menjawab, tapi dia justru menarik tubuh Matteo untuk menjauh dari arah kamar Lucky. "Ayo pergi. Mereka sudah mulai. Jadi jangan mengganggunya , biar cucu Mama segera otw!" ucap Wenda semangat dan Matteo justru terlihat menutup mulutnya, seolah ingin menjaga nada suara yang bisa saja ikut di dengar oleh kedua pasangan pengantin baru itu. "Jadi mereka sudah mulai?!" kutip Matteo dan Wenda langsung mengangguk. "Iya. Makanya kita kudu menjauh!" jawab Wenda dan Matteo langsung mengangguk setuju. Lucky masih membekap mulut Susan, memastikan jika ibunya benar-benar sudah keluar dan tidak lagi kepo, dan karena merasa kehabisan nafas, Susan justru menggigit tangan Lucky agar melepaskan bengkapannya. "Aaah apa yang kau lakukan, Susan!" Keget Lucky yang langsung mengibas tangannya kemudian melihat jejak gigi wanita itu di telapak tangannya. "Tuan yang apa-apaan. Susan nyaris kehabisan nafas!" balas Susan. Meringis. Lucky tidak menjawab keluhan Susan, tapi dia justru bangkit dari atas ranjang kemudian berjalan dengan langkah mengendap-endap ke arah pintu kamarnya lalu membuka pintu itu dan sedikit mengeluarkan kepalanya untuk memastikan jika tidak ada ibu atau ayahnya atau orang lain yang sedang menguping di depan pintu kamarnya, dan setelah Lucky yakin aman, dia lantas kembali menutup pintu kamarnya lalu menguncinya dari arah dalam seraya menekan tombol peredam suara di kamar itu. Lucky kembali ke arah ranjang dan melihat Susan yang semakin memeluk ujung selimutnya, menyembunyikan tubuhnya seolah Lucky akan melakukan hal yang sama lagi kepada wanita itu. Lucky mengangkat dua paper bag yang sebelumnya diletakkan oleh Wenda, kemudian memindahkannya ke arah meja sofa di sisi lain ranjang itu. Sementara Susan masih menatap was-was ke arah laki-laki yang menurutnya tua itu, takut jika Lucky benar-benar akan kembali menyerangnya seperti tadi. "Oooh shitt... Kenapa dia kepo sekali sih?!" kesal Lucky sambil meninju telapak tangannya sendiri dengan tangan satunya lagi, kemudian meremas rambutnya seolah ada rasa penat dan pusing yang begitu mendominasi otak dan kepalanya. "Susan, dengarkan aku. Bukankah sebelumnya aku sudah mengatakan jika kamu harus bisa bersandiwara menjadi istri yang baik seolah kita memang saling mencintai di hadapan Mama dan Papaku. Kita harus benar-benar bersikap jika kita bahagia dengan pernikahan kita, dan kamu memang harus siap jika sedang berada di posisi seperti tadi!" tegas Lucky. Entah sudah berapa kali Lucky mengatakan hal yang sama pada Susan , sejak mereka masih berada di rumah ayahnya Susan, bahkan di perjalanan pulang tadi pun Lucky kembali menegaskan hal yang sama, tapi Susan sepertinya terlalu polos untuk sedikit diajak bersandiwara. "Tapi tadi Tuan nggak bilang apa-apa dan langsung menyerang Susan seperti tadi. Kan susah jadi takut!" jawab Susan karena memang begitulah yang dia rasakan, ketakutan yang begitu mendominasi. "Oh my God Susan...!" Lucky menggigit giginya sendiri karena merasa gemas dengan sikap Susan yang menurutnya terlalu naif atau justru terlalu polos. "Satu lagi, Susan. Berhenti memanggilku Tuan. Ingat... Aku ini adalah suamimu sekarang. Jadi untuk menghindari kecurigaan Mama dan Papaku, kamu harus mulai membiasakan diri kamu untuk memanggilku dengan panggilan yang lebih manis?!" ucap Lucky setelahnya, tapi Susan lagi-lagi terlihat mengerutkan alisnya pertanda ada rasa bingung yang mendera pikirannya. "Panggilan yang lebih manis?" kutip Susan dan Lucky kembali menatap tajam ke arah Susan. "Emang panggilan yang lebih manis itu seperti apa Tuan?!" sambung Susan lagi dan lagi kepala Lucky di buat pusing. "Susan...!" "Serius Tuan. Susan gak tau!" ucapnya lagi , tapi sambil nyengir. "Dengarkan aku. Berhenti memanggilku, TUAN!" Lucky menekan kalimat tuan dari penggalan kata-katanya. "Kamu bisa memanggilku dengan nama saja, atau justru untuk memperkuat akting kamu, kamu bisa memanggilku dengan panggilan sayang atau sweety atau apapun itu asal jangan memanggilku TUAN. Aku seperti merasa sedang menghadapi asisten rumah tangga ku, tau!" sambung Lucky dan Susan terlihat mengangguk. Mulai sedikit paham. "Oke oke. Susan akan memanggil Tuan suamiku saja. Malu kalo harus panggil sayang, atau sweety. Hihi!" Susan nyengir, dengan nada terkekeh dan Lucky lagi-lagi hanya bisa menarik nafas frustasi. Pikirnya dia akan mudah mengatur Susan, tapi sikap polos Susan benar-benar membuat Lucky gemas. Saking gemasnya, Lucky sampai ingin memasukkan Susan dalam ember lalu dia sembunyikan di loteng. Malam itu mereka berdua benar-benar tidur di ranjang yang sama, dengan guling sebagai pembatasnya. Rasa lelah setelah perjalanan jauh di tambah rasa stresss dengan sikap mereka masing-masing, keduanya, Lucky dan Susan begitu cepat mendapatkan tidur mereka , dan saat mereka kembali terjaga, ternyata hari sudah pagi. Susan lantas turun dari atas ranjang, memakai sendal dan berjalan ke arah kamar mandi, karena kebiasaan paginya, Susan akan buang air. Dengan langkah setengah sadar , dan mata yang masih belum sepenuhnya terbuka, juga pandangan yang masih buram, Susan menekan gagang pintu kamar mandi dan melangkah masuk begitu saja, dan bersamaan dengan itu suara jeritan kencang terdengar menggema dari kamar kecil itu , karena Lucky sedang.......
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD