Kesempatan Dalam Kesempitan

1904 Words
Lucky dan Susan benar-benar terlelap dengan begitu pulas hingga keduanya sama-sama tidak sadar bagaimana kondisi dan posisi mereka saat ini. Lucky masih memeluk pinggang Susan menggunakan sebelah tangannya, dengan kepala yang sudah terpisah dari bantalnya. Sementara Susan...! Susan tidur miring dengan sebelah kaki yang justru berada di punggung Lucky. Kepalanya menjuntai di bibir ranjang, sementara kaki satunya entah terselip di mana. Mereka benar-benar terlihat seperti dua orang yang sedang bergelut, berantakan, nyaris seperti kapal pecah. Wenda terlihat menghela nafas dalam diam kemudian melepasnya dengan sangat pelan seraya menarik kedua sudut bibirnya untuk membentuk sebuah senyuman saat sebelah tangannya menahan nampan berisi jus kuning yang bibi Marni sebut jamu, entah jamu apa, sementara tangan satunya lagi menekan gagang pintu kemudian mendorong pintu itu untuk membukanya agar dia bisa lebih leluasa masuk dengan nampan tersebut. Senyum Wenda masih menghiasi wajah tuanya yang belum terlihat mengeriput, akan tetapi detik berikutnya mata Wenda langsung terlihat membulat sempurna saat melihat pemandangan abstrak di atas tempat tidur putranya. Pemandangan yang jauh dari apa yang sebelumnya dia pikirkan. Jika sebelumnya Wenda berpikir bahwa Lucky dan Susan mungkin saja masih terlelap dari tidurnya dengan posisi saling berpelukan, penuh peluh setelah melewati sesi bercinta layaknya pasangan suami istri baru, karena sebelumnya Wenda jelas melihat bagaimana interaksi manis keduanya ketika Susan menyisir lembut rambut kepala Lucky saat Lucky merebahkan kepalanya di atas pangkuan Susan , dan tentu saja pikiran Wenda langsung menjurus kesana, ke adegan intim pastinya. Namun apa.., semua ekspektasi ekspektasi Wanda justru berakhir jauh dari apa yang dia harapkan. Bagaimana tidak, posisi Lucky dan Susan tentu saja tidak bisa dikatakan posisi intim apalagi romantis, mereka justru terlihat seperti mereka yang habis saling sikut dan saling jambak. Lihat saja, rambut Lucky sangat berantakan, kemudian kaki Susan berada di punggung Lucky. Winda memutari ranjang besar itu dan melihat kepala Susan di sisi lain dari ranjang itu. Dia buru-buru meletakkan nampan yang dia bawa di meja sofa kamar itu, kemudian kembali bergegas ke arah di mana kepala Susan menjuntai. Winda menopangnya menggunakan bantal kemudian perlahan menariknya naik ke sisi ranjang, lalu menurunkan pula sebelah kaki Susan dari punggung Lucky, tapi detik berikutnya Lucky justru beringsut menarik pinggang Susan untuk semakin dia peluk dan setelahnya Lucky justru merancau dari tidurnya. "Diamlah Susan. Apa kamu mau geger otakku tidak sembuh-sembuh!" rancau nya, dan Wenda bisa mendengar itu dengan sangat jelas. Susan hanya beringsut sesaat, menarik bantal yang Wenda gunakan untuk menopang kepalanya tadi , lalu memeluknya dengan posisi miring, dan kini wajah Lucky justru berada di depan perut Susan. "Nah... Kalo kayak gini kan enak di lihatnya!" seru Wenda seraya menepuk kedua tangannya seolah-olah dia baru saja melakukan sesuatu yang hebat karena telah membuat pasangan suami istri baru itu tidur dengan posisi intim dan menggemaskan. Dia memperhatikan wajah teduh Susan dengan mulut yang sedikit terbuka dari jarak yang cukup dekat, dan mendadak Wenda justru kepo untuk memeriksa bagian leher Susan, berharap dia akan menemukan jejak ciuman yang ditinggalkan oleh putranya di sana. Dia lantas menyingkap sedikit rambut lurus Susan, akan tetapi Wenda belum sepenuhnya berhasil melihat bagian bahu ataupun leher Susan saat tiba-tiba Susan justru beringsut lalu terjaga. Susan mengucek matanya seraya menggeliatkan tubuhnya, dan dia baru menyadari jika Lucky masih memeluk pinggangnya. Dia berusaha untuk melepaskan sebelah tangan Lucky yang masih memeluknya, akan tetapi suara seseorang justru mengagetkan Susan yang belum sepenuhnya mendapatkan kesadarannya setelah terlelap. "Sudah, kamu istirahat saja kalo masih terasa lelah Susan!" Suara itu seketika membuat mata Susan terbuka lebar dan detik berikutnya Susan justru menjerit histeris karena terkejut, dan tanpa sadar kakinya justru menendang pinggang Lucky karena sebelah kakinya masih ditindih oleh leher Lucky. "Aaah Mama...!" teriak Susan. Lucky yang merasa serangan di pinggangnya pun langsung terjaga. Dia lantas mengucek matanya untuk segera mendapatkan kesadarannya. "Eeeh kamu tenang dulu Susan...!" ujar Wenda , tapi Susan yang merasa kikuk justru tidak tahu bagaimana harus menyikapi keberadaan Wenda saat ini. "Ah itu... Tadi Susan itu... Itu Susan habis...!" "Iya gak apa-apa. Mama ngerti kok. Lagian Mama nggak bermaksud untuk mengganggu tidur kalian, Mama hanya membantu Bi Marni untuk membawakan jus pada kalian. Eh ternyata kalian malah masih tidur!" ucap Wenda lagi tapi Susan semakin salah tingkah. Dia lantas menggaruk kepalanya yang tidak gatal sama sekali, menggaruk pelipis lalu menggaruk dagunya. Benar-benar bingung harus menyikapi bagaimana dengan keberadaan ibu mertuanya, tapi bersamaan dengan itu Lucky juga mendapatkan kesadarannya. "Mama... Apa yang Mama lakukan di kamar Lucky?!" Lucky bertanya dengan nada sedikit kesal ke arah ibunya, tapi Wenda langsung menggeleng. "Mama nggak lakuin apa-apa kok. Mama tadi cuman bantuin Bibi bawain jus ini untuk kalian. Jus kunyit kek nya!" Wenda menjawab dengan kalimat yang sama untuk pertanyaan Susan dan Lucky. "Minuman kunyit...?!" seru Lucky dengan dahi berkerut dan Wenda langsung mengangguk. "Iya. Itu...!" Wenda menunjuk ke arah meja sofa dan Susan juga Lucky melihat dua gelas tinggi minuman berwarna kuning. "Serius Nyonya Mama, tadi kami itu nggak habis ngapa-ngapain. Susan tadi hanya...!" "Eeeh gak apa-apa. Lagian kalian itu suami istri. Mau ngapa-ngapain juga bebas kali!" potong Wenda, tapi Susan merasa perlu meluruskan pikiran Wenda untuk tidak berpikir yang iya-iya. "Eeeh gak kayak gitu Nyonya Mama. Susan beneran nggak ngapa-ngapain. Tadi Susan hanya bantuin mijit kepala Lucky, karena katanya geger otaknya kumat...!" jawab Susan lagi, akan tetapi kali ini Wenda justru terlihat mengerutkan keningnya saat Susan mengatakan geger otak Lucky kumat. "What... Siapa yang geger otak?!" seru Wenda, dengan pandangan serius ke arah Susan dan Susan langsung melihat ke arah Lucky , sementara Lucky justru terlihat pelanga-plongok, sibuk mencari alasan yang tepat untuk kebohongan dia yang sebelumnya perkara geger otak. "Aduuuuhhh... Kepala Lucky kembali sakit Mama!" Lucky justru berakting meremas kepalanya seolah ada rasa sakit yang memang begitu nyata dia rasakan dan tentu saja ada kekhawatiran berlebih yang terlihat dari ekspresi wajah Wenda. Melihat Lucky yang kembali merasakan rasa sakit itu, Susan kembali mengambil tempat duduk di tempat dia sebelumnya dan bersiap untuk memijat kembali kepala Lucky, sementara Wenda juga ikut duduk di bibir ranjang seraya menggenggam sebelah tangan putranya yang terlihat begitu lemah. "Ooh apa yang terjadi dengan kamu Lucky. Geger otak... Geger otak macam mana ini!" Wenda bingung sendiri, tapi Lucky justru terlihat memejamkan mata. "Susan... Tolong ambilkan aku obat di laci meja kerjaku. Lalu berikan aku segelas air putih!" ucap Lucky , dan Susan langsung mengangguk. Susan lekas mengangkat kepala Lucky di atas pangkuannya kemudian memindahkannya ke atas bantal, sementara Lucky masih terlihat memejamkan mata, akan tetapi dia justru mengintip di sela-sela kelopak matanya ketika Susan sedikit menjauh dari arah ranjang. "Lucky. Katakan sama Mama. Sejak kapan kamu mengalami geger otak?!" ucap Wenda dengan nada suara yang dia buat selirih mungkin , karena saat ini Lucky justru menggenggam tangannya sangat erat sambil memberi isyarat dengan menggigit giginya sendiri lalu memainkan kelopak matanya dengan gaya genit ke arah Wenda. "Diamlah Mama. Nanti Lucky jelaskan. Lebih baik sekarang Mama keluar dulu, dan jangan banyak tanya!" ucap Lucky menekan kalimatnya bahkan dia berkata tanpa menggerakkan bibirnya. "Iya tapi kenapa?" balas Wenda masih saja bertanya meskipun tadi Lucky memintanya untuk diam, dan detik berikutnya Susan kembali dari arah meja kerja Lucky. "Apa obat yang ini Tuan...?!" Susan menunjukkan dua lembar obat dalam bentuk tablet yang dia temukan di dalam laci meja kerja Lucky dan Lucky hanya asal mengangguk seraya menerima kedua lembar obat itu dari Susan. "Ini minumnya. Jadi ayo... Tuan... Eeeh maksud Susan, Lucky sayang. Ayo minum obatnya, biar sakit kepala atau geger otaknya reda!" ujar Susan, dan Wenda memperhatikan dua lembar obat yang baru saja Susan bawa dan serahkan pada Lucky. Vitamin B dan Efisol C, atau obat radang tenggorokan ringan. "Ooh apa-apaan. Kenapa Susan bilang kalau itu adalah obat untuk meredakan geger otak, padahal itu jelas vitamin dan obat radang tenggorokan ringan!" batin Wenda, akan tetapi melihat ekspresi lemah putranya Wenda justru semakin merasa aneh. "Mama mending keluar dulu dah. Nanti kalau sakit kepala Lucky udah sedikit reda, Lucky bakalan keluar kok!" ucap Lucky kembali mengedipkan sebelah matanya ke arah Wenda dan Wenda yang masih belum sepenuhnya paham hanya bisa mengangguk dengan perasaan konyol , lalu bangkit dari duduknya dan benar-benar meninggalkan kamar itu meskipun sebenarnya dia masih ingin menuntut penjelasan tentang apa yang terjadi pada putranya. Dengan perasaan dongkol dan tidak menentu, Wenda menuruni anak tangga rumah itu satu persatu seraya terus berpikir apa yang terjadi dengan putranya, bahkan dia mengabaikan panggilan Matteo yang baru keluar dari pintu kamar mereka. "Mah...!" sapa Matteo tapi Wenda tidak menoleh. "Ma... Mau ikut gak?!" Sapanya lagi, dan kali ini Matteo menyapa sambil menepuk punggung wanita yang sudah melahirkan satu orang putra untuknya itu. "Apaan sih Pah..." kaget Wenda. "Mama jalan sambil ngelamun... ampe nggak denger sapaan Papa?!" ujar Matteo heran. "Ngelamunin apa Mama. Kan Lucky udah nikah, apalagi yang membuat hati Mama dilema!" sambung Matteo. "Ih Papa ini apa-apaan dah. Mama gak lagi ngelamun!" tolak Wenda seraya menghela nafas kemudian menghembuskannya kasar. "End then...?!" Matteo. "Lucky Papa. Ini tentang Lucky, putra kita!" ucap Wenda yang justru terdengar ambigu di telinga Matteo. "Kenapa lagi dengan Lucky? Apa dia benar-benar menggempur istrinya tanpa henti...? Oh benar-benar serakah anak itu?!" ujar Matteo , tapi Wenda langsung mengeleng. "Bukan Papa. Bukan masalah itu!" tolak Wenda. "Lalu apa dong?!" seru Matteo lagi. "Lucky geger otak Papa!" ~~ Wenda. "What...?!" ~~~ Matteo. "Iya Papa. Susan bilang kalo Lucky geger otak!" jawab Wenda apa adanya, tapi bukannya kaget, Matteo justru tertawa. "Hahaha... Aneh Mama mah. Mana mungkin Lucky geger otak. Kalo dia sakit, masa iya kita nggak tahu...! Terus, masa iya Susan yang lebih dulu tahu?! Ooh Mama ini benar-benar ya. Ngomong udah kek orang linglung. Kekhawatiran Mama terlalu berlebihan. Udah... lebih baik sekarang Mama ikut Papa aja. Dari pada di rumah , dan Mama terus merecoki Lucky dan Susan. Bisa gagal otw cucu Mama nanti!" ucap Matteo sambil terkekeh tapi Wenda justru terlihat menggaruk kepalanya menggunakan jari telunjuknya karena sebenarnya dia pun masih kesulitan untuk mencerna apa yang sebenarnya terjadi dengan putranya. "Tapi Papa...!" ~~~ Wenda. "Lucky baik-baik saja. Percaya sama Papa." ~~~ Matteo. "Tapi Papa...!" ~~~ Wenda. "Dia sehat. Mama cuma kebanyakan mikir. Udah... Mama tenang lah!" Potong Matteo seraya merangkul punggung rendah istrinya lalu menyeretnya untuk mengikuti langkahnya sampai mereka keluar di pintu utama rumah itu lalu mendorongnya untuk segera masuk ke dalam mobil yang sudah terparkir di depan teras utama rumah mereka. Matteo mengemudikan mobilnya sendiri, akan tetapi meski demikian Wenda masih saja berpikir tentang Lucky dan geger otaknya itu. Kembali ke Lucky dan Susan. Setelah Wenda keluar dari kamar mereka, Lucky kembali berulah. Meminta di temani ke kamar mandi, dan sepertinya Susan benar-benar terjebak di situasi tidak menguntungkan itu. Lucky terlihat menguasainya, dan Susan tidak punya cara untuk menolak atau mendebatnya, karena Lucky menekannya dengan kalimat juga fakta jika mereka sudah menikah, bahkan Lucky sampai mengancam akan menarik kembali uang yang sebelumnya dia berikan pada Susan, dan ayahnya jika Susan tidak bisa di ajak bekerja sama, atau tidak patuh padanya, dan Susan yang sudah terlanjur menaruh harapan untuk melanjutkan pendidikannya tentu saja tidak mau hal itu terjadi. "Gimana Tuan. Apa Tuan belum selesai?" teriak Susan dari balik pintu kamar mandi, karena tadi Susan memapah Lucky ke kamar mandi, dan kini laki-laki itu sudah lebih dari lima belas menit di dalam sana. Namun tidak ada tanda-tanda jika Lucky sudah selesai dengan kegiatannya di sana. "Ini kenapa lama sekali sih...!" batin Susan. "Ooh atau jangan-jangan sakit kepalanya kambuh lalu dia pingsan...?!" ucapnya lagi, dan Susan buru-buru menekan gagang pintu kamar mandi itu untuk membukanya berharap apa yang dia pikirkan itu tidak benar-benar terjadi. Namun naas... Saat pintu itu terbuka, Susan justru......
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD