Jika Lucky dan Susan sama-sama sedang larut dalam perasaan iba mereka masing-masing, lain cerita dengan apa yang saat ini Wenda dan Matteo rasakan terhadap keraguan dia sebelumnya pada putra semata wayang mereka.
Setelah melihat ekspresi penuh cinta, penuh kasih antara Lucky dan Susan tadi membuat mereka benar-benar bisa bernafas lega sekaligus merasa terberkati.
"Papa liat itu tadi. Bagaimana ekspresi mereka!" ujar Wenda seraya menuruni anak tangga rumah itu dan kali ini mereka sudah berada di tangga terakhir. "Ketakutan Papa itu terlalu berlebihan. Mereka benar-benar saling mencintai. Mama percaya itu!" sambung Wenda dan Matteo terlihat menghela nafas panjang.
"Mama benar. Ooh sungguh Papa berharap jika kali ini Papa yang memang salah!" balas Matteo.
"Jelas ini salah Papa, kalau Mama mah dari awal Susan datang ke rumah ini, Mama yakin seratus persen jika dia gadis yang baik dan bisa diandalkan. Meskipun sebenarnya dia terlalu mini untuk Lucky kita yang segede tiang listrik itu!" ucap Wenda sambil menghela nafas.
Entah sudah berapa kali Wenda mengeluh perkara badan Susan yang seukuran mini dan sangat bertolak belakang dengan ukuran tubuh Lucky yang tinggi dan besar, tapi meski demikian, tidak ada keraguan sedikitpun di hati Wenda terhadap Putri menantunya.
Dia tetap bersyukur jika pada akhirnya Lucky, putranya benar-benar menikah.
"Udah... Yang penting mereka udah cloop. Maksud Papa, Susan bisa mengimbangi tubuh besar Lucky baik secara terlihat ataupun secara tidak terlihat. Buktinya Susan terlihat biasa-biasa saja meskipun mereka sudah melakukan malam pertama, dan itu artinya dia bisa mengimbangi tubuh besar Lucky, bukan?!" ucap Matteo lagi dan entah kenapa ada senyum yang begitu lega yang turut terbit dari wajah cantik Wenda.
"Papa benar!" balas Wenda. "Dan memang itu bagian paling pentingnya!"
"Jadi bagaimana sekarang? Apa kita perlu memberikan hadiah pernikahan untuk mereka, terutama untuk Susan!" ucap Matteo setelahnya dan Wenda langsung mengangguk.
"Ooh itu pasti dong Papa. Mama udah siapin. Mama bahkan sudah membooking satu trip perjalanan dengan paket bulan madu premium untuk mereka. Kali aja jika mereka menghabiskan lebih banyak waktu berdua dengan suasana intim dan bahagia, cucu Mama bisa segera OTW!" balas Wenda dan Matteo yang justru terkekeh.
"Mama mah kalau urusan kayak gini nomor satu gesitnya. Lagian Papa heran kenapa Mama belum buka bisnis trip bulan madu sih, biar menghasilkan gitu. Secara anak-anak teman Mama yang nikah Mama yang lebih antusias menyiapkan trip bulan madu mereka!" ucap Matteo terkekeh.
Dia lantas mendaratkan bokongnya di sofa ruang tengah rumah itu, kembali melanjutkan tayangan televisi yang sebelumnya terjeda karena mereka harus sarapan, dan Wenda mengikuti arah duduk laki-laki itu.
"Eh jangan salah ya Pa. Mama tuh menyiapkan trip bulan madu mereka itu dapat bayaran tahu...!" balas Wenda.
"Oh really?!" heran Matteo dan Wenda langsung mengangguk.
"Yes."
"Berapa...?!" tanya Matteo serius.
"Banyak!" seru Wenda lagi. "Papa pikir kenapa teman-teman Mama yang sudah menikah anaknya sering membawa kue-kue enak dalam jumlah banyak...?" tanya Wenda setelahnya dan Matteo terlihat mengerutkan alisnya pertanda bingung.
"Kenapa?" tanya Matteo. "Apa mereka membayar Mama dengan kue-kue itu?!" sambung Matteo dan Wenda langsung tertawa.
"Apaan lah Papa ini. Ya kagak lah. Itu mah Mama beli kali!" jawab Wenda dan Matteo semakin mengerutkan alisnya.
"La terus...?!" Matteo.
"Ya terus apa?" balas Wenda.
"Tadi Mama bilang kalau Mama dibayar untuk jasa mengatur trip bulan madu mereka!" sarkas Matteo mengulang kalimat yang sebelumnya Wenda katakan tapi kali ini Wenda justru terlihat menghela nafas kemudian mengalihkan pandangannya ke arah lain saat bibi Marni, salah satu asisten rumah tangga yang paling tua dan paling lama di rumah itu menghampiri mereka dengan nampan cemilan.
"Bi... Aku mau tanya dong..!" Ucapnya saat Marni berjalan semakin mendekat kemudian berjongkok untuk meletakkan nampan cemilan yang dia bawa di atas meja sofa di depan kedua majikannya.
"Tanya apa Nyonya!" balas Marni.
"Itu si Susan. Apa selama ini Bibi tahu bagaimana hubungan mereka sebelumnya? Maksud aku apa Bibi juga tahu jika Lucky dan Susan menjalin hubungan atau pacaran selama ini?!" Tanya Wenda tapi Marni justru tersenyum mendengar pertanyaan itu.
Ada sedikit keraguan di hati Marni untuk menjawab secara jujur pertanyaan itu, akan tetapi Marni juga ingat bagaimana kedua paruh baya itu mendesak putra mereka untuk segera menikah, bahkan mereka sampai mengatur beberapa kencan buta untuk putranya hanya agar putranya segera menikah.
Entah apa yang membuat Lucky menolak semua wanita-wanita cantik yang kedua orang tuanya kenalkan padanya, tapi justru meminta bantuannya untuk mencari wanita yang mau dinikahi olehnya. Namun percayalah Marni sama sekali tidak merasa berdosa apalagi bersalah karena sudah menyeret satu-satunya keponakannya untuk terlibat dengan masalah Lucky hingga Susan sampai berakhir menjadi istri Lucky. Tidak sama sekali.
Yang ada Marni justru berharap Susan bisa mendapatkan kehidupan yang layak juga pendidikan yang layak seperti yang selama ini Susan impikan.
"Aaah itu. Saya sebenarnya sudah tau dari beberapa bulan lalu, tapi saya masih belum yakin. Maksud saya, saya tidak yakin jika Den Lucky benar-benar serius dengan Susan. Pikir saya Den Lucky hanya bercanda bercanda aja ketika mengatakan jika dia punya pacar dari kampung dan parahnya lagi itu adalah Susan, keponakan saya Nyonya, tapi kemarin pagi-pagi dia justru meminta saya untuk pulang kampung lalu meminta saya untuk membantunya membujuk Susan agar mau menikah," ucap Marni sedikit berdusta. "Meski demikian saya tetap tidak percaya jika Den Lucky benar-benar serius ingin menikah dengan Susan, tapi iya saya memang sempat membicarakan perihal keinginan Lucky itu pada Susan lalu membujuk Susan agar mau menerima ajakan Lucky untuk menikah, dan syukurnya, Susan dan ayahnya setuju meski dengan beberapa syarat!" jelas Marni lagi.
"Syarat?" kutip Wenda dan Marni langsung mengangguk.
"Iya Nyonya. Susan dan ayahnya mengajukan beberapa syarat jika Den Lucky memang serius ingin menikahinya, dan sepertinya Den Lucky memang menyanggupi syarat-syarat itu?" jawab Marni.
"Syarat apa Bik?!" tanya Wenda lagi , tapi Marni hanya membalas dengan senyuman simpul.
"Tidak ada syarat yang terlalu berat atau menyusahkan Den Lucky. Hanya syarat berupa uang Pane dan uang mas kawin. Juga beberapa syarat yang sebenarnya tidak perlu kita khawatirkan karena itu hanya syarat pribadi antara mereka berdua! "Jawab Marni lagi.
"Syarat apa itu Bi... Oh ayolah jangan membuat aku penasaran?!" tuntut Wenda lagi.
"Biasalah Nyonya , mungkin Susan menuntut syarat agar Den Lucky tidak boleh melirik wanita lain, tidak boleh pulang larut malam atau apalah ya pokoknya ya seperti seperti itulah," jawab Marni lagi dan Wenda juga Matteo ikut fokus melihat wanita itu ketika berbicara. "Tahu sendiri lah, anak gadis zaman sekarang, bawaannya rada-rada takut untuk menikah Nyonya. Titik takut dikecewakan lah, takut di khianatilah, takut inilah takut itulah. Jadi ya Susan membuat syarat itu hanya untuk antisipasi saja. "Sambung Marni dan baru setelah itu Wenda dan Matteo terlihat melepas napasnya dengan perasaan lega.
"Ooooooo... "
Kedua paruh baya itu langsung beroh-ria secara kompak, sementara Marni hanya semakin tersenyum kikuk.
"Terus Lucky setuju gitu..!" balas Wenda.
"Ya setuju lah. Kalau dia nggak setuju mereka tidak akan menikah lah Nyonya!" jawab Marni lagi dan kali ini Wenda dan Matteo sama-sama mengangguk, dan setelah pertanyaan mereka mendapat jawaban pasti, Marni juga pamit untuk kembali ke dapur, karena tadi dia mengatakan ingin membuat jus untuk Lucky, agar rasa panas dan nyeri di tubuh Lucky selepas tersandung bisa sedikit mereda. Entah jus jenis apa itu.
Kembali ke kamar Lucky.
Perasaan iba mereka sama-sama tulus, meskipun Lucky menciptakan perasaan iba di hati Susan itu dengan kebohongan. Namun percayalah perasaan iba sekecil biji kacang hijau itu akan mengantar mereka pada sesuatu yang besar.
"Bagaimana Tuan. Apa masih sakit...?" tanya Susan tapi Lucky kembali mengangguk di pangkuan Susan.
"Masih Susan. Sepertinya sakitnya gak akan sembuh ini mah!" jawab Lucky dan Susan justru mendesah.
"Ooh, tapi tangan Susan capek, Tuan. Ini udah lebih dari satu jam lho Susan mijitin Tuan, masa iya masih sakit aja?!" balas Susan dengan perasaan frustasi juga lelah, dan baru setelah itu Lucky bangkit dari pangkuan Susan.
"Ya udah sini... Biar gantian aja. Biar aku yang pijitin tangan kamu. Capek kan?!" balas Lucky yang sudah bersila di atas ranjangnya, lalu memegang tangan Susan, kemudian memijatnya.
"Eeeh gak gitu maksudnya Tuan. Susan emang capek, tapi...!"
"Kamu hanya punya dua pilihan Susan, memijitku sampai rasa sakit itu hilang atau kamu yang dipijit!" potong Lucky sembari memijat kedua lengan Susan secara bergantian.
"Tapi Tuan...!"
"Gak ada tapi-tapian. Lagian kamu ini apalah. Aku itu udah berusaha memenuhi syarat yang kamu minta, lalu tidak bisa kah kamu bersikap patuh padaku...? Jangan terlalu sering membangkang apalagi mengeluh... atau aku bisa saja mengingkari janjiku dan tidak lagi peduli dengan permintaan konyol mu kemarin. Secara aku itu berhak atas kamu, karena aku sudah menikahi mu secara sah!" ucap Lucky lagi dan Susan langsung terdiam. Untuk sejenak dia menghela nafas dengan sangat dalam lalu menghembuskannya dengan sangat pelan, karena apa yang dikatakan Lucky itu memang tidak sepenuhnya salah.
Meski pernikahan mereka berdasarkan perjanjian, akan tetapi Susan memang punya kewajiban untuk patuh dan berbakti pada Lucky yang kini berstatus suaminya. Itu adalah fakta yang tidak bisa dia ubah.
"Tapi Tuan... Iiih kok Tuan nyebelin sih...!" balas Susan saat Lucky terlihat enggan untuk melepaskan tangannya dan terus saja memijat kedua tangan Susan dengan tekanan cukup kuat. "Ya sudah sini, biar Susan aja yang pijitin kepala Tuan. Susan merasa risih kalau Tuan terus mijitin tangan Susan!" sambung Susan , dan baru setelah itu Lucky melepas pegangan tangannya di tangan Susan.
Susan beringsut lebih tengah, dan Lucky mengikuti pergerakan Susan. Dia bersiap untuk kembali mendaratkan kepalanya di atas pangkuan Susan, tapi Susan justru menghentikannya.
Susan meletakkan satu bantal di samping duduknya, meminta Lucky untuk tidur di sana dan dengan sangat terpaksa Lucky menarik kepalanya untuk benar-benar jatuh di atas bantal itu dan Susan sedikit lebih leluasa memijat kepala Lucky karena kali ini Susan justru duduk dengan posisi bersila di sisi atas bantal itu dengan bersandar pada kepala ranjang.
"Nah gitu dong. Kalo kek gini kan kita sama-sama enak. Aku kan jadi nggak rugi udah keluar itu uang banyak agar bisa memperistrikan kamu, Susan!" seru Lucky dengan sangat lirih, akan tetapi cukup untuk Susan dengar dengan sangat jelas.
"Iya iya iya. Susan tidak akan menyia-nyiakan uang Tuan!" balas Susan lagi.
Tangannya terus memijit lembut rambut dan kulit kepala Lucky, berusaha membuat laki-laki itu rileks agar rasa sakit di kepalanya bisa segera reda, padahal kalimat sakit itu hanya untuk mengelabui perasaan aneh yang tiba-tiba hinggap di hati Lucky.
"Jadi bagaimana? Apa kamu tahu di mana lokasi kampus tempat kamu akan kuliah?" Tanya Lucky tiba-tiba dan terdengar helaan nafas dari bibir Susan.
"Susan belum tahu Tuan, tapi kemarin teman Susan bilang akan menunggu Susan di salah satu tempat. Katanya besok dia akan share lokasi dan kami akan ke kampus itu bersama sama!" jawab Susan, karena itu hasil chat dia sebelumnya.
"Jangan pergi sendiri. Kamu pergi sama sopir saja, bila perlu minta Bibi Marni menemanimu!"
"Eeeh gak usah Tuan. Susan bisa pergi sendiri. Teman Susan itu baik Tuan. Dia dulu teman SMA Susan, meski belum pernah satu kelas! Tapi..."
"Susan. Sudah aku bilang, kamu jangan bawel. Kalau aku sudah bilang kamu perginya sama sopir, maka kamu harus pergi sama sopir. Kamu itu baru di Jakarta, dan kamu masih belum tahu seluk beluk kota Jakarta, jadi stop mendebat ku."
"Tapi Tuan...!"
"Ooh atau jangan-jangan kamu mau diantar sama Mama atau Papa. Biar aku ngomong sama mereka."
"Eeeh tidak-tidak. Apaan lah Tuan ini. Malu kali sama Nyonya Mama."
"Makanya , kamu nurut. Kamu pergi sama sopir aja besok, dan sopir akan menunggu kamu sampai selesai. Titik nggak pakai koma!" tegas Lucky dan Susan justru terlihat menghela nafas tidak berdaya karena tidak mungkin dia akan kembali menolak apa yang baru saja dikatakan oleh Lucky. "Jadi ayo. Pijat kepalaku dengan benar. Apa kau tahu, dengan kau terus mendebat ku seperti ini sama saja kamu terus menambah rasa sakit di kepalaku!" sambung Lucky dan Susan mengangguk patuh.
Entah seberapa lama Susan memijat rambut kepala Lucky karena perlahan rasa kantuk turut menyerang syaraf motorik Susan dan tanpa sadar Susan justru tertidur dengan posisi punggung bersandar pada kepala ranjang, sementara Lucky sendiri sudah terlelap dari beberapa menit yang lalu, hingga kini keduanya sama-sama terlelap dengan posisi yang tidak bisa dibilang biasa.
Susan duduk di sisi bantal Lucky dengan posisi bersila, sementara Lucky justru beringsut menaikkan kepalanya di sebelah paha Susan dengan Lucky yang memeluk pinggang Susan.
Persis seperti cara seseorang ketika memeluk bantal yang dia tiduri dan perlahan tubuh Susan pun jatuh ke sisi ranjang, tepat di atas kepala Lucky, dan iya, sesuatu kadang bisa saja terjadi di luar kendali, terlebih lagi saat mereka sama-sama tidak sadar diri dari lelapnya.
Bibi Marni juga sudah selesai dengan jas kuning yang sebelumnya dia tawarkan pada Lucky, dan bersiap untuk membawa dua gelas besar jus itu ke kamar Lucky, saat tiba-tiba Wenda justru melihat bibi Marni menaiki anak tangga, dengan nampan yang dia pegang mantap menggunakan kedua tangannya.
"Bik... Apa itu...?!" tanya Wenda dengan pandangan yang tertuju ke arah gelas tinggi di nampan Marni.
"Anu Nyah. Ini jus pesanan Aden Lucky. Tadi katanya dia sakit pinggang habis...!"
"Mau diantar ke kamar Lucky kan!" Potong Wenda dengan sangat cepat dan Marni langsung mengangguk.
"Njih Nyah...!" jawabnya.
"Ooh sini. Biar aku saja yang bawa ke kamarnya. Sekalian ada yang ingin aku tanyakan pada Susan!" Balas Wenda yang sudah langsung mengambil alih nampan itu dari tangan bibi Marni.
"Tapi Nyah...!" Marni.
"Udah... Bibi istirahat saja. Ini mah gampang!" potong Wenda lagi, dan Wenda berbalik, menaiki anak tangga itu dengan mengabaikan ekspresi ragu Marni.
Saat Wenda sampai di anak tangga teratas rumah itu, tiba-tiba Wenda justru kepikiran sesuatu, dan iya tiba-tiba senyum misterius itu terbit begitu saja dari kedua sudut bibirnya karena........