Bibit Cinta

1929 Words
"Oh kamu benar-benar keterlaluan ya Susan. Bisa-bisanya kamu berpikir jika aku memintamu untuk memegang anu ku!" sarkas Lucky untuk pemikiran absurd Susan. "Habisnya Tuan sih... ngomong gak jelas. Kan Susan jadi salah faham. Kirain Tuan anu... itu!" balas Susan dan diam-diam Lucky justru tersenyum dalam hati, tapi gengsi untuk dia tunjukan pada Susan. Namun perasaan indah itu tidak bertahan lama karena detik berikutnya, Susan justru mengatakan... "Habisnya Tuan itu tampangnya kek orang m***m. Jadi wajar sih Susan mikir aneh kek gitu. Ekspresi wajah Tuan tadi kek orang gimana gitu.... Kan Susan jadi takut Tuan!" sambung Susan yang mana kalimat itu sukses membuat Lucky menoleh ke arah Susan dengan ekspresi melotot. Benar-benar tidak percaya jika Susan berani mengatakan hal itu di hadapannya langsung. "What... Kau bilang jika tampangku seperti tampang orang m***m?!" Kutip Lucky tidak percaya tapi dengan santainya Susan justru mengangguk seraya memainkan kelopak matanya seolah dia merasa tidak berdosa sudah mengatakan itu pada Lucky. Lucky langsung menggigit giginya sendiri karena kesal. Sungguh tekanan darahnya rasanya akan kompak berkumpul di otaknya lalu tiba-tiba pembuluh darah Lucky akan pecah dan setelahnya pingsan atau mungkin mati hanya perkara Susan yang mengatakan dirinya memiliki tampang dan ekspresi wajah seperti orang m***m. 'Oh my God'. Seumur-umur, ini baru pertama kali Lucky dikatakan seperti itu oleh seorang wanita, dan entah kenapa kali ini Lucky justru tidak terima. "Iya Tuan..." jawab Susan santai. "Ah sayang saja tadi Susan tidak sempat mengambil HP lalu merekam ekspresi Tuan ketika meringkuk di lantai. Sepertinya kalau Susan menguploadnya di akun sosial media milik Susan, pasti bakalan fyp. Menggemaskan gitu!" sambung Susan seraya menggigit giginya sendiri juga memperagakan kesepuluh jari tangannya seolah ingin meremas sesuatu karena perasaan gemas dan lucu yang sempat di bayangkan oleh pikirannya sendiri. "What... Jadi kamu bahkan sempat berpikir untuk merekam aku dengan situasi yang tidak mendukung itu lalu menguploadnya di akun sosial media milikmu... Oh kamu benar-benar ya Susan...!" sungguh... Lucky benar-benar kehabisan kata-kata untuk memahami jalan pikiran istri mininya, tapi lihatlah Susan malah kembali nyengir seraya memamerkan barisan giginya yang rapi lalu mengangguk hingga membuat poninya ikut bergerak lentur. "Iya dong. Kan zaman sekarang apa-apa harus diabadikan, kemudian di posting agar bisa menghasilkan. Kali aja setelahnya Susan bisa dapat duit lebih. Kan lumayan untuk nambah biaya kuliah Susan?!" jawab Susan lagi dan seketika Lucky terdiam saat wanita mini itu mengatakan tentang perkuliahan. "Kuliah...?" kutip Lucky dan Susan langsung mengangguk dengan sangat cepat. "Iya." Susan. "Apa aku tidak salah dengar! Kamu kuliah, Susan?" kutip Lucky. Namun Susan langsung menggeleng, tapi juga menangguk secara bersamaan dengan sangat cepat. "Enggak Tuan. Saat ini Susan gak kuliah, tapi mungkin sebentar lagi Susan akan kuliah di universitas Garuda Muda. Susan sudah daftar secara online dari satu Minggu yang lalu, tapi belum ada info di terima atau tidaknya, dan kemarin teman Susan yang juga kuliah di sana bilang biaya masuk jalur prestasi hanya sekitar sepuluh jutaan saja, dan Susan sudah siap sekarang untuk biasanya!" jelas Susan tapi kening Lucky semakin terlihat berkerut menandakan rasa heran, apakah yang dikatakan Susan itu benar atau hanya bualan semata. Susan mengatakan sudah mendaftar di salah satu universitas di kota ini lewat jalur prestasi? Emang prestasi apa yang membuat Susan nekat meninggalkan kampungnya , dan jauh dari ayahnya hanya untuk berkuliah. Lalu apa tadi... Susan sudah siap dengan dananya?! Bukankah kemarin bibi Marni mengatakan jika Susan tidak melanjutkan kuliah karena keterbatasan ekonomi, lalu kenapa sekarang Susan tiba-tiba mengatakan sudah mendaftar di salah satu universitas dan dananya sudah siap... Sungguh otak Lucky terasa ngelag sekarang. "Serius kamu mendaftar lewat jalur prestasi?!" kutip Lucky seolah tidak percaya, dan kembali Susan mengangguk. "Iya Tuan. Tuan doin aja supaya Susan bisa lolos, diterima di universitas itu!" ucap Susan lagi dan Lucky hanya terlihat mengangguk-angguk rendah. "Tuan tenang saja. Susan nggak akan minta uang kok dari Tuan. Susan sudah punya uangnya. Nanti Susan juga akan bekerja paruh waktu untuk memenuhi kebutuhan Susan yang lainnya. Teman Susan kemarin juga menawarkan Susan untuk bekerja di cafe miliknya. Lumayan lah gajinya. Cukup buat memenuhi kebutuhan seperti membeli beberapa buku atau jajanan lah. Intinya Susan tidak akan menyusahkan Tuan dalam urusan kuliah Susan nanti, jadi tolong Tuan jangan mencegah keinginan Susan ini. Maka setelah itu Susan juga akan bersikap baik dan menjadi istri yang penurut sama Tuan!" sambung Susan dan Lucky kembali mengangguk. "Kemarin, kata Bi Marni, kamu tidak lanjut kuliah karena tidak punya uang. Kok sekarang tiba-tiba kamu bisa punya uang sebanyak itu?" tanya Lucky, seraya menarik kedua tangannya ke belakang punggung lalu bertumpu pada ranjang itu dan kini posisi tubuh Lucky sedikit miring ke belakang dan mendongak ke arah Susan yang masih berdiri seperti lampu pajangan di sisi ranjang sebelah Lucky. "Punya dong Tuan. Kan kemarin Tuan ngasih mas kawin Susan dua belas juta, dan kemarin juga ditambahin Ayah Susan lima juta untuk cadangan, takut jika dua belas juta itu tidak cukup untuk masuk dan menyiapkan keperluan Susan nanti," jawab Susan yang kini berjalan lebih dekat ke arah Lucky duduk lalu ikut duduk di sisi ranjang itu dengan jarak dia dan Lucky yang hanya enam puluh centimeter. Susan memperhatikan ekspresi wajah bingung Lucky kemudian menarik nafas dalam diam lalu menghembuskannya dengan sangat pelan karena sebenarnya dia tahu apa yang saat ini dipikirkan oleh laki-laki itu, Lucky. "Kenapa Tuan? Apa Tuan tidak percaya jika Susan punya uang? Apa Tuan berpikir jika Susan akan meminta uang untuk biaya kuliah Susan pada Tuan?" ujar Susan, tapi Lucky masih terpaku dengan tatapan yang tertuju ke arah bibir mungil Susan. Oooh... Sungguh, Lucky benar-benar masih belum bisa mencerna dengan baik apa yang baru saja Susan jelaskan panjang lebar. Lucky juga berusaha memahami jalan pikiran Susan. Tentang niat dan keinginan wanita mini itu untuk kuliah, dan entah kenapa ada perasaan iba yang tiba-tiba muncul di hati Lucky terhadap wanita yang kini duduk di sebelahnya. Apa sesulit itu bagi Susan mendapatkan uang dua belas juta untuk melanjutkan kuliahnya sampai dia rela dan bersedia menikah dengannya hanya agar bisa mendapatkan uang itu, dan entah kenapa Lucky kali ini justru merasa berdosa karena memanfaatkan ketidakberdayaan Susan terkait ekonomi wanita itu. Hanya demi bisa melanjutkan pendidikannya ke jenjang perkuliahan, Susan bersedia menikah dengan mahar yang menurut Lucky sendiri sangat sedikit. Dua belas juta, karena nominal itu bisa Lucky dapatkan hanya dalam beberapa menit saja, akan tetapi Susan justru mempertaruhkan seluruh hidupnya pada yang namanya pernikahan, meskipun laki-laki yang akan menikahinya itu adalah laki-laki asing yang sebelumnya tidak pernah dia kenal baik buruknya. Entah kenapa Lucky justru membayangkan sesuatu yang tidak baik saat ini. Seandainya kemarin dia tidak datang dan menawarkan pernikahan pada Susan, lalu hari itu seorang laki-laki asing tiba-tiba menawarkan dia pernikahan...! Apa mungkin Susan juga akan langsung menerimanya dengan meminta mahar yang sama pada laki-laki itu?! Oh shittt... membayangkan itu saja rasanya kepala Lucky langsung terasa mumet. "Aduh... Kepalaku...!" seru Lucky tiba-tiba. Dia langsung meremas kepalanya dengan sebelah tangan seolah rasa sakit itu begitu kentara menyerang kepalanya dan Susan langsung terfokus ke arah Lucky. "Tuan kenapa...?!" tanya Susan dengan ekspresi bingung hingga garis di keningnya pun ikut terlihat. "Kepalaku pusing Susan. Oh ini benar-benar terasa sangat berat!" jawab Lucky setelahnya, dan dia langsung menarik kepalanya untuk jatuh ke samping, tepat di atas pangkuan Susan dan seketika Susan langsung mengangkat kedua tangannya dengan ekspresi membeku. Syok melihat kepala Lucky yang kini ada di atas kedua pahanya. "Tuan...!" Susan. "Kepalaku benar-benar sangat pusing Susan. Rasanya seperti ditindih truk kontainer. Nyaris terasa pecah!" ucap Lucky lagi, dan perlahan tangan Susan turun sedikit demi sedikit hingga menyentuh ke rambut dan kepala Lucky. "Kok sakitnya tiba-tiba sih Tuan. Perasaan tadi Tuan baik-baik saja?!" ucap Susan lagi, tapi Lucky hanya terdengar menghela nafas dalam diam kemudian menghembuskannya dengan sangat pelan nyaris tidak terdeteksi. "Aku tidak tahu Susan. Tiba-tiba aja rasanya sakit sekali... Aduh... Sepertinya geger otak aku kambuh karena jatuh tadi," ucap Lucky berdusta. "Tuan punya penyakit geger otak...?" syok Susan. Matanya pun ikut melotot saat mendapati fakta itu dan setelahnya Lucky justru mengangguk di pangkuan Susan sambil menahan tawa. "Iya Susan. Jadi please pijat punya ku... Eeeh maksud aku, pijat kepalaku!" ujar Lucky dan baru setelah itu tangan Susan perlahan memijat ringan rambut dan kulit kepala Lucky, sementara Lucky... Lucky terlihat memejamkan matanya seolah menikmati sentuhan tangan mungil Susan, dan perlahan kelopak matanya mengintip sedikit ke arah pintu kamarnya di mana di sana Lucky melihat ibu dan ayahnya sedang berdiri mengintip apa yang sedang dia dan Susan lakukan, dan iya, itulah alasan kenapa tadi Lucky tiba-tiba menjatuhkan kepalanya di atas pangkuan Susan dan mengatakan jika dirinya punya penyakit geger otak dan sekarang penyakitnya mungkin sedang kambuh hingga rasa sakit di kepalanya begitu terasa mendominasi lalu meminta Susan untuk memijatnya hanya untuk meyakinkan kedua orang tuanya bahwasanya dia dan Susan memang pasangan suami istri yang sesungguhnya. Pasangan suami istri yang manis, harmonis, saling menyayangi dan penuh cinta. Dia tidak akan membiarkan kedua orang tuanya berpikir bahwasanya Lucky menjalani pernikahan pura-pura, karena sebenarnya itu memang tidak pernah terjadi. Dia menikahi Susan secara sah, meski tanpa perasaan cinta. Bukan pernikahan yang terjadi atas kesepakatan atau perjanjian hitam di atas putih seperti pernikahan kontrak atau sejenisnya, meskipun sebelum Susan benar-benar setuju untuk menikah, Lucky memang menyetujui tiga syarat yang diajukan Susan, dan salah satunya , Susan meminta syarat agar dirinya diizinkan untuk melanjutkan pendidikan atau kuliahnya. Namun itu tadi, Lucky benar-benar tidak pernah menyangka jika uang mas kawin itu yang akan Susan gunakan untuk masuk di salah satu universitas. Lucky memang menyetujui jika Susan ingin melanjutkan kuliahnya , tapi tentu saja Lucky menyetujuinya beserta menyanggupi seluruh biaya kuliah wanita itu, tapi sepertinya Susan mengira jika Lucky akan lepas tangan dengan semua itu. Perlahan pintu kamar itu kembali ditutup, dan itu artinya Lucky sukses meyakinkan kedua orang tuanya, bahwasanya dia dan Susan memang suami istri yang sesungguhnya. Namun bukannya buru-buru bangkit dari pangkuan Susan , Lucky justru seolah menikmati pijatan lembut dan rasa nyaman tangan mungil Susan, bahkan kali ini Lucky seolah mencuri kesempatan dalam kesempatan dengan bersikap manja kemudian memeluk selingkar pinggang dan perut Susan seolah ada rasa sakit yang tidak bisa dia tahan sampai harus membutuhkan bantuan wanita itu untuk menenangkannya, dan sepertinya Susan percaya begitu saja dengan apa yang tadi Lucky katakan perkara geger otak. Buktinya Susan justru sedikit bergeser seolah ingin memberikan tempat untuk Lucky agar lebih nyaman. Ah... benar-benar situasi yang sangat riskan, tapi sungguh Susan sama sekali tidak berpikir sesuatu yang negatif terhadap Lucky saat ini , karena Lucky juga benar-benar bisa memainkan sandiwaranya seolah dia memang benar-benar sedang sakit. "Yang ini juga sakit Susan!" ujar Lucky sambil memegang pundaknya dan Susan beralih memijat pundak itu. "Tuan lebih baik tidur dengan benar deh. Biar Susan lebih leluasa memijat Tuan!" ucap Susan berusaha mengangkat tubuh Lucky untuk bangkit dari atas pangkuannya tapi Lucky justru langsung menggeleng dengan sangat cepat. "Gak mau. Ini beneran sakit Susan. Rasanya seperti aku akan mati!" balasnya dan tentu saja Susan langsung merasa ketakutan yang begitu nyata. "Ih... Nggak boleh ngomong gitu Tuan. Pamali!" tolak Susan tapi Lucky justru terasa semakin mempererat pelukannya di pinggang Susan dan Susan justru merasa semakin kasihan pada Lucky. 'Udah ganteng, kaya raya, tapi sayang tidak laku... eeh sekarang malah ditambah dia punya penyakit geger otak. Malang nian nasib Lucky!' batin Susan yang kini justru menaruh perasaan iba pada laki-laki itu dan dalam diam Susan justru berjanji untuk selalu membantu Lucky. Jika sebelumnya Lucky merasa iba hanya karena Susan yang kesulitan perkara ekonomi, kali ini Susan justru merasakan perasaan iba itu juga saat mengetahui Lucky memiliki penyakit serius. Perasaan iba mereka sama-sama tulus, meskipun Lucky menciptakan perasaan iba di hati Susan itu dengan kebohongan. Namun percayalah... perasaan iba sekecil biji kacang hijau itu akan mengantar mereka pada sesuatu yang besar... May be yes... May be no...!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD