Titit Lucky

2318 Words
Susan lantas menarik tangan Lucky untuk bangkit dari tidurnya, tapi tentu saja tubuh itu bahkan tidak bergerak, tapi malah Susan yang kembali jatuh di atas tubuh Lucky, dan kembali menimpa bagian pinggang Lucky hingga Lucky kembali menjerit menahan rasa sakit, dan bersamaan dengan itu, pintu kamar Lucky justru di ketuk dari arah luar, dan Susan buru-buru bangkit dari tersungkurnya lagi. "Maaf Tuan... Maaf. Susan gak bermaksud untuk...!" "Susan... Lucky... Apa kalian masih belum selesai. Ayo sarapannya sudah siap?" suara Wenda dari arah luar pintu di ikuti ketukan pintu beberapa kali. "Lucky... ayo ajak Susan keluar. Dia pasti lapar sekarang?!" sambung Wenda lagi, dan baru setelah itu Susan menyaut. "Iya Nyonya!" jawab Susan, tapi tentu saja suaranya tidak bisa terdengar oleh Wenda karena tadi Lucky sudah mengaktifkan mode peredam suara di kamarnya. "Lucky... Ayo dong Sayang. Ajak Susan turun!" Kembali Wenda berteriak sambil mengetuk pintu itu akan tetapi Wenda sama sekali tidak mendengar jawaban apapun dari kedua orang penghuni kamar itu. Namun langkah Susan juga buru-buru ke arah pintu. Menekan anak kunci lalu membukanya. "Iya Nyonya!" ujar Susan dengan wajah kikuk, dan Wenda justru mengintip ke arah kamar itu untuk melihat keberadaan putranya. "Apa kamu belum siap? Tadi Mama meminta Lucky untuk menjemputmu dan memintamu turun untuk sarapan, tapi dia justru ikut diam di kamar!" ucap Wenda lagi. "Ah... itu. Anu Nyonya... Eh Mama... Suami Susan anu... itu. Suami Susan lagi..." Susan mendadak gugup, juga mendadak kesulitan untuk menelan salivanya sendiri. "Aaah iya iya iya. Mama ngerti kok," ucap Wenda setelahnya. "Oke oke. Kalo gitu , kalian gak usah turun lah. Nanti Mama minta bibi Marni untuk bawa sarapan untuk kalian. Biar kalian bisa sarapan di kamar saja. Sudah. Kamu balik saja ke dalam. Mama akan turun. Minta bibi menyiapkan sarapan kalian!" sambung Wenda dan Susan hanya terlihat semakin kikuk. Susan terus saja meremas tangannya sendiri sambil meremas ujung baju yang dia gunakan akan tetapi Wenda justru melihat dan mengartikan bahwasanya Susan sedang menahan rasa nyeri di pangkal pahanya dan dia semakin mengangguk-ngangguk paham . Sementara Susan sendiri terus berusaha menelan nafasnya untuk menghindari rasa gugup yang terlalu mendominasi pikirannya juga akal sehatnya. "Ayo. Kamu masuk saja. Biar Mama yang tutup pintunya. Urus dulu keinginan suami kamu!" ucap Wenda , benar-benar terpikir jika Lucky justru meminta tambahan ronde di pagi hari karena hal itu bisa saja terjadi mengingat mereka baru menikah kemarin dan sedang berada di fase menggebu-gebu untuk urusan yang satu ini. Wenda tentu saja menyetujuinya, menyetujui jika putra dan putri menantunya tidak keluar dari kamar lalu mereka akan disibukkan untuk turun naik mengantar makanan untuk kedua pasangan pengantin baru itu, karena mungkin saja dengan cara itu cucu yang dia dambakan akan segera hadir. Oh membayangkan itu saja senyum Wenda langsung terpancar laksana bulan purnama. Perasaan di hatinya tiba-tiba terasa berbunga-bunga. Wenda cekikikan sendiri hanya karena membayangkan kegiatan manis yang mungkin saja sedang putranya lakukan, karena hal itu akhirnya mematahkan gosip yang selama ini beredar tentang Lucky yang seorang gay. "Mana mereka?" tanya Matteo saat Wenda sampai di anak tangga terakhir rumah besar itu, dan Wenda justru menarik lengan Matteo kemudian mengajaknya berjalan sedikit jauh ke arah meja makan kemudian berbisik. "Mereka lagi indehoy. Mungkin lanjut ronde yang kesekian. Mama nggak bisa ganggu, atau cucu kita malah pending jadinya!" ucap Wenda dengan nada penuh harapan. "Serius...!" seru Matteo dan Wenda langsung mengangguk. "Serius Papa. Udah kita jangan ganggu mereka. Mama mau nyuruh Bibi menyiapkan sarapan mereka untuk diantar ke kamar mereka saja. Karena sepertinya Susan malu untuk keluar dari kamar," ucap Wenda lagi dan Matteo justru terlihat mengerutkan alisnya sambil melirik sang istri. "Malu? Malu kenapa?" tanya Matteo lagi, tapi Wenda justru meletakkan ujung jari telunjuknya di depan bibir sembari memberi isyarat agar Matteo mengecilkan intonasi suaranya. "Hussst. Papa kalau ngomong bisa pelanan dikit gak. Ntar kalau mereka dengar, mereka tambah malu!" ucap Wenda berbisik dengan menekan suaranya selirih mungkin, dan Matteo langsung mengangguk. "Iya... Tapi malu kenapa Mama?!" Matteo mengulang pertanyaannya karena dia memang belum mengerti kemana arah pembicaraan Wenda, akan tetapi Wenda justru terlihat menghela nafas dalam diam kemudian menghembuskannya dengan sangat kasar seraya menepuk lengan atas Matteo. Kesal. "Iya malu lah. Mama yakin Susan pasti tidak bisa berjalan dengan baik sekarang. Secara mereka kan...!" Wenda menjeda kalimatnya kemudian membuat tanda kutip di kedua sisi telinganya sambil memainkan kelopak matanya ke arah Matteo dan begitu saja Matteo langsung mengerti. "Oooh iya iya. Papa ngerti!" balas Matteo , dan kali ini laki-laki berbadan tinggi besar dengan rambut setengah memutih itu pun ikut meletakkan jari telunjuknya di depan bibir seolah ingin mengunci suara mereka agar tidak ada yang mendengarnya bahkan mereka tidak ingin dinding-dinding rumah itu mendengar percakapan mereka, dan setelahnya mereka benar-benar menuju meja makan. Duduk di kursi mereka masing-masing lalu mulai menikmati sarapan mereka dengan damai. "Tuan Lucky dan istrinya gak ikut sarapan kah, Nyonya?!" tanya seorang asisten rumah tangga yang biasa menata meja makan, tapi bukan Marni. "Aaah itu. Lucky katanya mau sarapan di kamar. Tolong siapkan sarapan mereka lalu minta Bi Marni untuk mengantar sarapan itu ke kamar Lucky!" ucap Wenda, dan wanita paruh baya itu langsung mengangguk mengerti. Iya, semalam dari obrolan mereka, obrolan antara Susan , Wenda, Lucky dan Matteo. Wenda dan Matteo mengetahui bahwasanya Susan itu adalah keponakan Marni dari kampung. Meskipun Wenda sempat syok, akan tetapi perasaan sok itu tidak bertahan lama karena sebenarnya putranya menikah pun itu sudah menjadi sesuatu yang wow untuk mereka. Sungguh Wenda dan Matteo tidak peduli dari garis keturunan mana putri menantunya dilahirkan, selama wanita itu bersedia menjadi istri dan meneruskan garis keturunan keluarganya, maka dia akan menerimanya dengan tangan terbuka, dan apa yang sebelumnya Matteo ucapkan akan tetap Matteo lakukan. Menyerahkan lima puluh persen saham perusahaannya pada wanita yang bersedia menikah dan melahirkan anak dari putra satu-satunya yang dia miliki, hanya saja hal itu baru akan Matteo lakukan ketika Susan sudah benar-benar memberinya seorang cucu. Kembali ke kamar Lucky. Setelah Wenda pergi dan menutup pintu kamar itu, Susan kembali menghampiri arah di mana Lucky meringkuk sambil menahan perut bagian bawahnya. Susan benar-benar bingung, tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Dia belum pernah dekat dengan laki-laki manapun, sekalinya dekat langsung diajak nikah. Parahnya lagi dia tidak tahu bagaimana cara untuk menjadi istri yang baik. Meskipun sebelumnya ada perjanjian pribadi antara mereka, Lucky dan Susan, nyatanya Susan tetap merasa harus patuh dan taat pada Lucky mengingat Susan sudah menerima uang mas kawin dari Lucky, dan rasanya akan sangat tidak tahu diri jika Susan justru mengabaikan statusnya yang sebagai seorang istri. Susan sendiri ,tidak tahu apa maksud Lucky tidak membuat perjanjian hitam di atas putih atas pernikahan mereka, akan tetapi Susan tidak terlalu memikirkan itu lagi sejak sambutan hangat dari kedua orang tua Lucky. "Jadi sekarang Susan harus bagaimana Tuan. Susan... Eeehm Susan...!" Susan menggigit kuku tangannya untuk meredam kepanikan yang terus menghimpit otak dan pikirannya, sementara Lucky masih terlihat menggigit giginya sendiri seolah menahan rasa sakit yang begitu mendominasi tubuh bagian bawahnya. "Tolong pegang aku. Tolong pegang punyaku!" ucap Lucky dengan suara terbata-bata. Namun Susan tidak mengerti. "Apa...!" bingung Susan. "Tolong pegang aku. Ini sakit Susan!" ucap Lucky setelahnya, saat Susan berjongkok di depannya, bersiap untuk membantu Lucky bangkit dari meringkuknya, dengan Lucky yang menggenggam sebelah lengan Susan. "What...!" Syok Susan saat bisa mendengar ucapan Lucky secara jelas. "Apa Tuan sudah gila, meminta Susan untuk memegang punya Tuan?!" Susan menghentak tangan Lucky yang menggenggam lengannya karena dia benar-benar tidak bisa melakukan apa yang baru saja Lucky minta padanya. Memegang milik laki-laki itu. "Tolong bantu aku Susan. Pegang aku. Ini benar-benar sangat sakit!" rintih Lucky, tapi tentu saja Susan langsung menggeleng tidak setuju. "Enggak. Susan gak mau Tuan. Susan gak mau pegang punya Tuan. Susan takut!" tolak Susan dengan sangat cepat, tegas meski dengan intonasi suara yang dia tahan dan tetap terdengar lirih. "Oooh... Keterlaluan kamu, Susan! Kamu yang menyebabkan aku seperti ini, tapi sekarang kamu bahkan menolak untuk membantuku!" ucap Lucky dengan susah payah tapi Susan tetap saja menggeleng. "Pokoknya Susan nggak mau Tuan. Gak mau...!" ucapnya yang kini sudah kembali bangkit dan sedikit menjauh dari jangkauan Lucky karena semakin ke sini Susan justru semakin merasa takut terhadap laki-laki ini. "Oh Susan...!" Lucky masih merintih, tapi Susan tetap menggeleng. "Susan gak mau Tuan. Soalnya Susan belum pernah melakukan itu. Susan takut... Susan takut jika nanti Susan justru melukai atau menyakiti anu Tuan?!" Ucap Susan seraya menyembunyikan kedua tangannya di belakang pinggangnya tapi lagi-lagi Lucky justru semakin menggigit giginya sendiri. Kali ini tidak hanya karena sakit, akan tetapi dia juga merasa kesal terhadap wanita berbadan mini ini. Ooh, bagaimana dia harus menjelaskan apa yang dia rasakan saat ini jika Susan belum apa-apa sudah merasa ketakutan yang begitu besar. Parno. "Susan... Siapa yang..." Tok.. tok.. tok... Suara ketukan pintu menghentikan kalimat-kalimat dari bibir Lucky dan Susan bergegas dengan langkah cepat membuka pintu itu berharap Wenda, ibu mertuanya kembali, karena itu artinya dia bisa meminta bantuan pada wanita itu untuk masalah Lucky saat ini. Namun saat Susan membuka pintu itu, justru bibi Marni yang berdiri dengan satu nampan persegi panjang di tangannya, dan di atas nampan itu ada beberapa piring dengan penutup kaca juga jus warna merah. "Oh bibi. Tolong. Tolong Susan!" ucap Susan dengan nafas tergesa-gesa seolah kata-kata itu tidak bisa dia tahan untuk tidak segera lepas dari bibirnya. "Kamu kenapa Nak?" balas Marni, saat Susan membuka lebar pintu kamar itu untuk mempersilahkan wanita paruh baya dengan nampannya itu masuk. "Bukan Susan Bik... tapi Tuan Lucky!" ucapnya lagi. "Tuan Lucky?!" kutip Marni tidak mengerti dan Susan langsung mengangguk. "Iya. Itu Tuan Lucky. Anu.. itu Tuan Lucky!" ucap Susan semakin gagap dan saat Marni semakin masuk ke dalam kamar itu, dia juga langsung melihat anak majikannya yang sedang meringkuk di sisi meja ruang kerjanya. "Ooh Den Lucky. Apa yang terjadi sama kamu?!" panik Marni. Dia lantas meletakkan nampan yang dia bawa di meja sofa yang ada di ruangan itu kemudian tergopoh-gopoh untuk menghampiri Lucky yang masih meringkuk sambil menekan perut, juga titit-nya sendiri. "Tolong... Tolong Lucky Bik... tolong!" ujar Lucky setelahnya. "Tolong pegang Lucky. Pegang tangan dan pinggang Lucky!" ucapnya dengan susah payah dan Marni langsung mengangguk, memberikan genggaman tangannya seraya mendorong pinggangnya menggunakan lututnya dengan posisi Marni yang menarik tangan Lucky dengan posisi menyilang, dan Lucky semakin kuat menggigit belah bibirnya sendiri untuk meredam rasa sakit yang memang begitu kentara dirasa bagian sensitif nya. Bagian titit-nya. "Ooh apa yang terjadi dengan Aden? Apa kalian habis bertengkar. Kenapa kalian justru...?!" "Dia mendorong Lucky, Bik!" jawab Lucky dengan sangat cepat. "Susan mendorong Aden?!" kutip Marni dan Lucky langsung mengangguk, tapi Susan juga langsung menggeleng. "Enggak. Susan gak mendorong dia Bik. Serius...!" tolak Susan, dan perlahan rasa nyeri itu sedikit mereda. Bibi Marni membantu Lucky untuk bangkit dari rasa sakitnya kemudian memberikan air mineral untuk Lucky menenangkan perasaannya sendiri dan ya Lucky menerimanya lalu meneguknya sampai habis dan baru setelah itu Lucky benar-benar bisa bernafas meski rasa sakit itu masih belum lekang begitu saja dari tubuhnya. Lucky menarik nafas sebanyak yang bisa ditampung oleh rongga dadanya, kemudian menghembuskannya dengan sangat pelan. Kembali melakukan hal yang sama berharap rasa sakit itu bisa lepas lewat hembusan nafasnya. "Susan mendorong Lucky sampai Lucky terjatuh, bahkan dia menindih tubuh Lucky hingga rasanya pinggang dan titit Lucky akan patah!" ucap Lucky setelahnya, tapi Lagi Dan Lagi susah menggeleng, menolak apa yang baru saja Lucky tuduhkan padanya. "Itu tidak benar." Susan. "Tidak benar bagaimana. Kau pendorong ku dan aku terjatuh lalu kau juga ikut menindih ku karena kau juga ikut terjatuh. Bahkan kamu menolak saat aku meminta bantuan untuk memegang..." "Dia meminta Susan untuk memegang anu-nya Bibi. Tentu saja Susan tidak mau... Ih jijik!" potong Susan yang pikirannya sudah ke sana kemari, tapi lagi-lagi Lucky hanya terlihat menggigit giginya dengan perasaan kesal pada wanita mini yang kemarin dia nikahi itu. "Siapa yang memintamu memegang anu-ku, Susan... istriku yang berbadan mini? Kapan aku memintamu memegang anu-ku?!" tolak Lucky dengan sangat cepat. "Tadi. Tadi Tuan terus meminta agar Susan memegang anu Tuan... tapi...!" "No. Aku tidak memintamu untuk memegang anu-ku, tapi aku memintamu untuk memegang tanganku agar aku bisa menyesuaikan posisi untuk mendapatkan titik kenyamananku untuk meredam rasa sakit di pangkal paha dan pinggangku!" tegas Lucky lagi. "Tapi tadi Tuan jelas bill...!" "Sudah-sudah. Kalian ini apa-apaan dah. Masa masih pagi udah ribut!" ujar bibi Marni, menenangkan Susan agar tidak kembali mendebat atau menyela ucapan Lucky. "Aku tidak pernah memintamu untuk memegang milikku, Susan. Tapi aku memintamu untuk memegang tanganku!" Kembali Lucky mempertegas ucapannya tadi pada Susan dan setelahnya Susan langsung terdiam seraya memainkan kuku-kuku tangannya untuk melawan rasa kikuk yang tiba-tiba mendera dirinya. "Susan. Keponakan bibi yang manisnya kayak permen yupi. Kalian itu udah nikah, jadi tolong jaga sikap kamu, Nak. Ingat... Aden Lucky itu suami kamu, dan apapun masalah Aden Lucky, lain kali kamu harus bisa membantunya. APAPUN!" kutip Marni dengan menekan kata apapun pada penggalan kalimatnya, dan Susan hanya bisa menunduk dalam diam, sementara Lucky hanya terlihat melipat kedua lengannya di depan d**a. "Tapi Bik...!" "Nggak ada tapi-tapian. Itu adalah resiko yang harus kamu terima ketika kamu memutuskan mau menikah dengan Aden Lucky! Bukankah kemarin kamu sendiri yang menentukan mahar dan uang pane-nya, lalu sekarang apa masalahnya?!" Sarkas bibi Marni lagi, dan Susan semakin tertunduk dalam diam. Iya. Marni tidak tau perjanjian apa yang sudah Susan dan Lucky buat, karena mereka memang membicarakan itu secara pribadi dan hanya empat mata. Karena Susan tidak lagi mendebat, dan Lucky terlihat sudah lebih tenang, Marni akhirnya meninggal kamar itu, membiarkan Susan dan Lucky menikmati sarapan mereka berdua, sekaligus untuk sama-sama mendekatkan diri satu sama lain. Lucky duduk di ujung ranjang, sementara Susan justru berdiri gelisah di sisi lain ranjang itu. "Oh kamu benar-benar keterlaluan ya Susan. Bisa-bisanya kamu berpikir jika aku memintamu untuk memegang anu ku!" sarkas Lucky untuk pemikiran absurd Susan. "Habisnya Tuan sih... ngomong gak jelas. Kan Susan jadi salah faham. Kirain Tuan anu... Itu!" balas Susan dan diam-diam Lucky justru tersenyum dalam hati, tapi gengsi untuk dia tunjukan pada Susan. Namun perasaan indah itu tidak bertahan lama karena detik berikutnya, Susan justru mengatakan... "Habisnya Tuan itu......."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD