Chapter 3

1209 Words
Zoya memeriksa penampilannya sekali lagi pada cermin dikamar mungilnya. Rambut disisir dan di kuncir rapi, kemeja warna pastel yang sudah diberi pewangi dan disetrika dengan rapi. Tidak ketinggalan celana bahan. Kemudian Zoya memberikan sentuhan terakhir lip tint dibibirnya. Melihat jam tangan yang melingkar dilengannya, buru-buru Zoya mengambil ransel yang berada di atas ranjang tenpat tidur. Kemudian keluar dari rumah sederhananya dengan langkah yang sedikit tergesa-gesa setelah pamit pada kedua orangtuanya. Tepat setelah dia sampai di halte bus, bus yang biasa dia gunakan berhenti. Tanpa membuang-buang waktu, Zoya segera naik dan mencari tempat duduk. Zoya berusaha menormalkan debaran jantung dan deru nafasnya, setelah sampai di depan gedung 2 lantai didepannya saat ini. Apapun yang terjadi hari ini, mari lewati dengan tulus dan ikhlas. Setelah 3 hari yang lalu Echan Haikal akhirnya mengirimkan juga sisa naskahmya. Dan mulai hari ini kerjaanku akan sangat banyak. Selain mengedit naskah Echan, aku juga harus membantu persiapan perilisan novelnya yang tersisa kurang dari satu bulan lagi. Dan jangan lupakan beberapa naskah yang harus aku seleksi. Seketika kepalaku terserang migrain. Syukurnya disini, rekan kerja saling membantu. Jadi yeah, bisa dikatakan sedikit meringankan beban kerjaanku. Dan paling penting, aku tidak akan kena omel Pak Jeffrey lagi, wkwkw. "Jadi gimana, sudah dapat tempat buat confres pelirisan novel Echan?. Novel dia lagi di tunggu-tunggu versi cetaknya. Ternyata si buluq itu banyak juga ya penggemarnya" Ini Samuel kasih pertanyaan tapi terselip ejekan kayanya deh. "Ternyata susah juga ya cari tempat di kota kecil kaya gini" Aku pusing dan frustasi karna beberapa reverensi tempat sangat sulit di booking. Dengan tenggat waktu yang minim, apa-apa harus dikerjakan dengan cepat. Walaupun bukan pertama kali dihadapkan dengan situasi seperti ini, tapi tetap saja rasanya frustasi. "Apa kita minta bantuan Pak Jeffrey aja, dia pasti punya koneksi yang bertebaran di kota ini" Ini Sena kasih ide yang bener dikit lah, bukannya dibantu yang ada malah makin kena bimbingan konseling akunya. Lagian gak yakin Pak Jeffrey punya banyak koneksi. "Modelan kaya gitu yakin punya koneksi?" Nah, ini aku setuju dengan Vena. Akhirnya ada juga yang mengutarakan isi hatiku tanpa aku berbicara sendiri. "Lu kaga tau, si Jeffrey itu keponakan wali kota ini. Emak bapaknya orang kaya, dia aja pernah tinggal di USA. Biasanya orang kaya pasti banyaklah punya koneksi" Emang si Samuel ini lambe turah banget. Gosip sekecil apapun, pasti dia tau. "Kalo gitu kamu aja yang minta bantuan sama Pak Jeffrey. Aku cari aman saja deh, gak mau lagi kena siraman rohani" Tunjukku pada Samuel biang gosip kantor ini. "Gue mah mau-mau aja, yang penting selesai acara dapat bonus nih" Setan emang, niat kasih bantuan tapi harus dikasih imbalan. Definisi rekan sebenarnya. "Habis pelirisan kedai ramen pertigaan, aku yang bayar" Ga papa deh sekali-kali mengeluarkan uang untuk rekan kerjaku yang sudah banyak membantu selama ini. "Ok, otewe minta bantuan Pak Jeffrey" Samuel bangkit dengan semangat membara dari kursinya dan berjalan menuju ruangan Pak Jeffrey. "Bang Sam kalau masalah traktiran number one barisan garda paling depan ya" Vena mencibir kelakuan Samuel. Ya emang semua orang juga bakalan semangat sih kalau di kasih traktiran, bukan hanya Samue aja. Ternyata benar ya rasa kepercayaan diri itu cuma berlaku diawal saja. Setelah menjalani dan melewati prosesnya yang didapat kan rasa penyesalan, marah, kecewa, dan frustasi. Rasa ingin menyerah dan berhenti di tengah jalan saja. Dalam kurun waktu kurang dari satu bulan, banyak banget yang harus diurus. Proses editing, percetakan, para pers, tamu undangan dan sewa gedung tempat acara. Alhasil harus stok obat tambah darah dan suplemen ini. Alhamdulillah, rekan kerja pada kasih bantuan dan dukungan. Maklum, anak bontot jadi banyak yang sayang. Pokoknya setelah semua urusan ini aku mau minta libur buat tidur seharian penuh. Lihatlah penampakan ku sekarang, bahkan bukan orang lain saja yang prihatin. Aku juga prihatin dan miris setiap kali bercermin. Wajah pucat, kantung mata yang yang menghitam dan nata sayu. "Buset itu kantung mata sudah bisa nampung 1liter air mata kali" Rena tertawa sambil menangkup kedua pipiku dan memperhatikan kantung mata sialan ini. "Zoya kerja balapan sama waktu ya" Juno datang menghampiriku dan menepuk-nepuk pelan puncak kepalaku. "Gak lagi-lagi deh aku berurusan sama penulis bernama Echan Haikal" Semoga kedepannya aku lebih selektif lagi dalam memilih penulis yang akan bekerja sama denganku. Jangan sampai apes dan asal meng-iyakan saja. Dan lihtlah hasilnya sekarang. Track record selama aku berkarir sebagai editor. "Sabar ya, dek. Setelah ini bisa istirahat ko. Kasihan gue liatnya, itu muka kamu kaya cewek depresi ditinggal nikah" Samuel meletakkan sebotol minuman bersoda diatas mejaku. "Bang Sam, kaga usah memberi semangat berkedok curhat masalah pribadi ya" Balas Vena menimpali obrolan kami. "Gak asyik lu, Ven" Samuel memang rada sensi kalau ada yang menyenggol masalah dia yang ditinggal nikah tunangannya dia. Ya, siapa cowok didunia ini yang gak depresi setelah persiapan nikah sudah 70%, tapi gak ada angin gak ada hujan si cewek malah tebar undangan duluan. Tapi bukan nama "Samuel" yang tercetak melainkan nama cowok lain. Seganteng dan semapan Samuel saja masih ditinggal nikah apalagi modelan macam aku ini. "Sekarang semua sudah beres, Zo? " Kalau sebelumnya aku sensi banget tiap ada yang tanya progresku, sekarang aku dengan semangat 45 akan menjawab pertanyaan itu. "Semua sudah siap, tinggal tunggu hari pelirisin saja sih" "Jadi beneran gedungnya dicarikan sama Pak Jeffrey? " Juno kelihatan kepo banget ternyata. "Iya dong, kemarin gue bilang sama Pak Jeffrey dan dia setuju bantuin Zoya" Samuel dengan bangga mmengatakan dia berhasil membujuk Pak Jeffrey. Padahal ya, tanpa bantuan dia juga sebenarnya Pak Jeffrey pasti ikut gerak. Karna ini bisa dibilang proyek pertama yang dia awasi di kantor. Jadi dia ingin sesuatunya berjalan dengan mulus, semulus pantat bayi. "Dengan mudahnya Pak Jeffrey booking tempat padahal tenggak waktunya mepet ya" "Dibilang Pak Jeffrey koneksinya kencang" Kali ini setuju sama Sena. Kemarin agak skeptis bisa booking tempat secepat ini tanpa orang dalam. "Yang penting kerjaan aku semuanya sudah beres" Ucapku ingin segera mengakhiri obrolan ini. Aku ingin tidur 10 menit saja. Ini mata dari tadi sudah sepet dan lelah. Segera aku tengkulupkan kepalaku diatas meja untuk menuju alam mimpi. Seriusan ngantuk banget, beberapa hari begadang terus. Wah segar dan sejuk. Sudah lama rasanya gak main hujan-hujanan. Padahal perasaan tadi cuacanya cerah tapi sekarang hujan lebat. Aku mmenampung air hujan yang turun dengan kedua telapak tangan mungilku. Dan mendongakan wajah menatap langit. Kemudian jingkrak-jingkrak macam bocah 5 tahun. "Zoyaaaaaaa" Bisikan seseorang mau gak mau bikin kedua mataku pelan-pelan terbuka. Masih agak berat sih rasanya. "Sudah sore, jam pulang" Hal pertama yang aku lihat adalah muka Rena yang tengah tersenyum manis. Aku mengerjapkan mata berkali-kali. "Buruan bangun, gue antar pulang. Kasihan gue lihat keadaan lu sekarang" "Perasaan tadi aku main hujan-hujanan deh. Kok sekarang malah ada di kantor sih" Tanyaku kesal dan mengusap wajah dengan tangan. Dan aku baru sadar wajahku emang basah. Terus aku balik menatap Rena yang masih tersenyum manis dengan segelas aqua ditangannya. "Kamu nyiram aku? ". Tanyaku dengan histeris. "Cuma nyiprat doang, berlebihan banget responnya " "Kan bisa bangunin aku dengan suara" "Suara ya, bisa abis suara gue hanya karna bangunin kebo macem lu" "Rena! Ih gemes banget aku sampai pingin cubit ginjalmu" "Buruan bangun, habis itu pulang. Lu harus istirahat biar besok muka lu kaga kaya orang hangover. Siapa tau dari sekian banyak tamu undangan, lu dapat jodohkan" Aku segera bangkit dan menghampiri Rena. Benar aku perlu istirahat buat hari esok.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD