Chapter 2

1442 Words
Setelah insiden penolakan lamaran Akbar, tidak ada yang berubah secara signifikan. Hanya saja gosip memang cepat sekali menyebar. Secepat hembusan angin. Sudah dapat di tebak bagaimana efek dari menolak lamaran Akbar. Aku jadi trending topik berminggu-minggu. Memang tidak ada kerjaan lain apa mereka selain mengurusi hidup orang? Ok, mari kita lupakan masalah lamaran Akbar. Ayo, kita fokus bekerja saja. "Kamu tau hari ini kita kedatangan direktur baru? ". Baru saja mendaratkan bokong dikursi empuk ku. Rena sudah memberi pertanyaan berkedok sebuah informasi. "Secepat itu dapat direktur baru?" Heran saja, pasalnya ini belum genap seminggu pasca direktur lama resign. Lagi pula, ini bukan kantor penerbit besar jadi agak heran saja secepat itu mendapatkan direktur baru. "Ya bagus dung kita dapat direktur baru dengan cepat. Biar makin semangat kerja aku" Rena tertawa geli setelah mengatakan hal tersebut. "Emang cowok direktur baru kita?" "Dari gosip yang aku dengar dari Sely tadi pagi, dia cowok. Ganteng, masih muda dan mapan" Aku hanya menatap jengah Rena yang menopang dagu sembari tersenyum tidak jelas. Kayanya sih otaknya lagi aktif menghayal sesuatu seperti di drama. Perduli bangetlah mau dia cowok apa cewek. Toh, ga ada hubungannya denganku. "Zo, disuruh keruangan Pa Jeffrey" "Pa Jeffrey siapa? " Aku menatap heran Samuel yang baru saja memberi tahu kan hal tadi. "Pak Jeffrey direktur baru kita, oneng" "Oh, direktur baru. Bilang dung dari tadi" Ucapku cengengesan yang dibalas dengan tatapan jengah Samuel. "Makanya di grup tuh jangan keseringan siders. Ketinggalan info kan jadinya" Cibir Rena diseberang mejaku. Sepertinya pikiran dia sudah kembali ke dunia nyata. Aku hanya tertawa menaggapi sindiran mereka. Tanpa membuang waktu, segera melangkah menuju ruangan Pak Jeffrey si direktur baru kita. "Selamat siang, pak" Sapaku dengan ceria dan super lemah lembut. Dan wow, lihatlah bentukan Pak Jeffrey seperti deskripsi Rena tadi. Kulitnya juga putih pucat, postur tinggi dan tegap. Pantas Rena tergila-gila. Siapa yang bisa melewatkan cowok ganteng seperti Pak Jeffrey. Sayangnya Pak Jeffrey hanya melihatku sekilas tanpa menjawab sapaanku. Teelihat angkuh, padahal ini pertama kalinya kita bertatap muka. "Zoya Ibrahim, kamu editor yang menangani penulis Echan Haikal? " To the point sekali boss kita satu ini. "Benar, pak" Balasku dengan lantang. "Echan Haikal sudah tanda tangan kontrak dengan penerbit ini. Tapi kenapa lewat tanggal perjanjian naskahnya belum selesai juga?. Padahal tanggal terbit sudah dekat" "Maaf, pak itu... " "6 bulan tapi naskahnya belum selesai juga. Kita dikejar deadline, Zoya. Masih banyak penulis yang menunggu novelnya rilis" Mampus, kena semprot atasan baru dihari pertama dia kerja. Memang sialan banget itu penulis baru. Gue tandai mukanya nanti.. "Saya beri waktu kamu 2 bulan lagi untuk menyelesaikan novel Echan Haikal" "Baik, pak. Saya akan segera menyelesaikannya dan tetap merilis di waktu seperti yang tertera di kontrak" Setelah itu aku pamit keluar ruangan Pak Jeffrey. Dengan langkah lesu kembali ke kursi kesayangan ku. "Kenapa? Masalah naskah novel Echan Haikal? " Aku menoleh pada Rena yang tengah menunggu jawabanku setelah melihat aku murung. "Iya siapa lagi coba yang bikin editor kena omel kalo bukan penulis itu" Aku menjawab pertanyaan Rena diiringi dengan pukulan keras pada meja. "Haduh, ga direktur baru ataj direktur lama tetap kena omel ya" Rena terkikik menertawakan nasib ku sebagai editor Echan Haikal. Sebenarnya bukan salahku naskahnya belum selesai. Tapi, karna Echan sendiri bersikeras untuk terus-menerus merombak naskahnya. Beberapa kali aku juga pernah mendesaknya untuk segera menyelesaikan naskahnya, tapi selalu saja dia berkelah dengan berbagai alasan yang membuatku ingin mengunyah kepalanya. Aku juga ingin menyelesaikan tugas ini, tapi Echan itu justru selalu menghambat kerjaanki. Dampaknya sekarang aku kena omelan Pak Jeffrey. Argh, kenapa dihari pertama dia menjabat sebagai direktur baru disini, aku justru sudah meninggalkan kesan buruk seperti pekerja yang tidak disiplin. Mama mau nangis ajalah!!!! Istirahat yang seharusnya aku gunakan dengan menikmati seporsi soto ayam di kedai samping kantor, terpaksa harus aku lewatkan. Demi menyelesaikan pekerjaan ini. So, disinilah aku berakhir untuk makan siang sekalian bertemu penulis Echan. Disebuah caffe modern yang lumayan jauh dari kantor. Sialan memang itu Si Echan. "Jadi, Pak Echan... " "Jangan panggil Pak dong, saya masih muda. Ga cocok dipanggil bapak" Memang minta di damprat ini orang. Sabar Zoya ini demi pekerjaan kamu biar cepat selesai. Tarik nafas, buang nafas. "Whatever, sir. Saya sekarang mau membahas masalah naskah yang akan diterbitkan bulan depan sesuai isi kontrak. Tapi kenapa sampai sekarang anda belum juga mengirim sisa naskahnya? " Sejujurnya tadi aku ingin marah-marah, tapi sekarang aku mencoba seramah dan sepelan mungkin menanyakan pada si Echan ini. Alih-alih segera menjelaskan akan keterlambatan naskahnya, dia dengan santai menikmati secangkir Espresso dengan gerak-gerik alay. Ya Allah kuatkanlah Hamba-Mu ini menghadapi manusia bentukan Echan Haikal. "Sayakan sudah bilang, kalau saya kesulitan menentukan ending yang bagus. Makanya sisa naskahnya belum saya kirim. Inikan buku kedua saya yang akan di terbitkan, jadi saya mau sesuatu yang berbeda dari sebelumnya". "Tapi ini sudah hampir tanggal lirisnya, ini akan menyulitkan pihak saya selaku editor anda? ". Masih berusaha sabar dan kalem. Jangan keluarkan jiwa bar-bar ku disini. Bukan tidak boleh, tapi belum saatnya. "Menurut anda kebanyakan pembaca suka sad ending atau happy ending?" "Ya mana saya tau, kan anda penulisnya" Jawabku sudah mulai hilang kesabaran. "Intinya saya belum yakin dengan ending novel saya" "Saya ga mau tau, 2 hari lagi, silakan kirim sisa naskah anda ke saya. Jangan menghambat pekerjaan saya kalau anda tidak yakin dengan novelnya, segera batalkan kontrak kita" Nah, kan tanduk iblisku keluar. Salah siapa bertele-tele. Tidak tau apa aku kesulitan karna ulahnya. Next time, ogah deh harus jadi editor dia lagi. Dia kira gampang buat sampai di titik ini. Ini kerjaan impianku, dan aku enjoy sama job ini. Karna memang sesuka itu aku dibidang ini dari dulu. Terdengar klise, jadi sini biarkan aku memberitahu kenapa aku bisa berakhir bergelut dengan kertas-kertas. Dulu menjelang lulus kuliah, panggilan hidupkh adalah bekerja mencari gaji besar, hidup mapan, membahagiankan kedua orang tua dan pokoknya segala yang baik. Tapi seiring berjalannya waktu, lambat laun aku mulai sadar dengan apa yang menjadi panggilan hidupku sebenarnya. Singkat cerita, perjalanan hidupku berlabuh didepan sebuah laptop. Aktivitas yang dulu aku lakukan semasa kuliah. Tapi, kali ini berbeda. Jika dulu berkutat dengan laptop untuk menyusun untaian kata-kata di paper atau skripsi, sekarang tugas ku adalah memoles tulisan-tulisan yang dikirimkan oleh penulis. And now, I love my job. Orang bilang punya bos ganteng itu bikin semangat kerja, hitung-hitung cuci mata. Tapi realitanya ga seenak yang dibilang orang. Pak Jeffrey memang memiliki kepribadian yang santai sebenarnya, tapi sewaktu-waktu bisa bertransformasi jadi harimau ketika ada pekerjaan yang tidaj beres. Ternyata emang ganteng saja tidak menjamin kenyamanan, kawan. Boro-boro semangat kerja, yang ada stress kalau sudah dalam mode senggol bacok. Contoh korbannya, aku. "Zo, tadi kenapa habis dipanggil Pak Jeffrey langsung cabut dari kantor?" Rena tanpa izin langsung mencomot keripik singkong yang ada diatas mejaku. "Ngurus noh penulis Echan. Naskahnya kaga kelar-kelas" "Terus gimana hasilnya? Sudah dia kasih sisa naskahnya? " "Ya belumlah, kalau sudah ga mungkin aku uring-uringan dan menghindar dari Pak Jeffrey" Sedikit nyolot menjawab pertanyaannya Rena. "Dan kamu Sam, harusnya kan kamu yang jadi editor Echan" "Sorry, Zo. Gue malas berurusan sama penulis baru" Refleks ku lempar beberapa keripik singkong kearah Samuel. Jari-jari Zoya sibuk beradu dengan berlembar-lembar HVS dimejanya. Pekerjaan hari ini jadi lebih banyak menguras tenaga dan pikiran. "Zoya Ibrahim... " Baru saja Zoya berniat merebahkan kepalanya dan tidur sebentar. Karena mata ini sudah kelewat sepet, minta buat di tidurkan. Tapi sayang sekali, mata ini harus tetap terbuka lebar. Pak Jeffrey sudah berdiri menjulang didepan meja sedang menatap datar. Haduh, omelan part 2 inimah kayanya. "Iya, pak. Ada yang bisa saya bantu? " Aku segera berdiri dari kursi kesayangan. Tidak sopan kita duduk sedangkan yang jadi lawan bicara tengah berdiri. Apalagi modelan atasan seperti Pak Jeffrey. "Keruangan saya kita bahas soal naskah Echan Haikal! " Apa yang mau dibahas coba?. Sisa naskahnya aja belum dikirim. Tapi aku hanya bisa menggerutu dalam hati. Dan tetap mengikuti langkah Pak Jeffrey ke ruangannya. Setelah mempersilakan aku duduk, Pak Jeffrey tanpa basa-basi langsung membahas soal naskah Echan. "Ini sudah mepet tanggal liris, dan sisa naskahnya belum dikirim apalagi diedit. Apa kamu ga mikir dampaknya atas keterlambatan ini? " Saya juga maunya lancar jaya tanpa hambatan sampai tanggal liris. Masalahnya sampai sekarang belum ada sinyal-sinyal naskahnya dikirim sama si buluq Echan. Suara hatiku menjerit ingin disampaikan ke Pak Jeffrey. "Kemarin saya sudah menemui Echan Haikal, mungkin 2 hari lagi sisa naskahnya akan dikirim ke saya?" Sebenarnya sedikit skeptis dlaam waktu 2 hari akan dikirimkan Echan. "Kamu yakin jika sudah dikirim tidak akan terlambat lirisnya? " "Saya yakin novel ini akan liris seperti rencana awal. Saya akan berusaha menyelesaikan proses editing tanpa cacat sedikitpun". Yakin ga yakin katakan saja yakin. Sebenarnya kalimat ini bukan hanya menyakinkan Pak Jeffrey tapi juga untuk meyakinkan diri sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD