"K-kamu mau apa???" tanya Megan , yang kelihatan paniknya dengan bola mata yang nampak memperhatikan kaus di tubuh Maxime terlepas, hingga Maxime melemparkannya ke samping dan maju, untuk mencumbu wanita yang sedang ranum-ranumnya itu.
"Lepas! Kamu gila!? Kita di sofa!! Di ruang terbuka!!" seru Megan.
Maxime tidak mendengarkan ocehan Megan dan terus menerus mengecupi leher Megan, sembari perlahan-lahan menurunkan pakaian, yang melekat di tubuh Megan itu.
"Lepas, bagaimana kalau ada yang melihat kita di sini!!?" seru Megan sebelum semakin jauh dan ia harus menanggung malu juga, karena tubuhnya akan terekspos di ruangan terbuka dan sambil melakukan hal yang tidak-tidak.
"Jadi, kamu ingin melakukannya di dalam kamar saja?? Baiklah. Ayo!" Maxime turun dari sofa dan segera membopong tubuh Megan serta membawanya ke lantai atas dengan melewati anak tangga satu persatu. Sementara Megan tidak berkutik sudah, saat tubuhnya malah dibawa-bawa begini.
Pintu bercat cokelat ini pun dibuka dan ditutup kembali dengan dorongan kaki Maxime. Setelah itu, ia merebahkan tubuh Megan dan Megan cepat-cepat bangun, lalu berlari ke arah pintu. Namun, tangannya baru saja menyentuh gagang pintu, disaat itu juga, Maxime berhasil menangkap Megan dan merengkuh tubuh Megan, lalu mengangkatnya kembali dan meletakkannya di atas tempat tidur lagi.
Megan hendak pergi melalui bagian samping lagi. Akan tetapi, tangan Maxime sudah lebih dulu mendarat di atas ranjang dan memblokir jalan Megan, hingga ia terhimpit dan tidak bisa pergi kemanapun itu. "Mau lari kemana huh?? Ayo, layani aku dulu!" cetus Maxime yang nampaknya telah mencapai batas hasratnya yang tinggi, di pagi hari begini. Biarpun semalam sudah. Tetapi pagi ini pastinya beda lagi.
Megan tetap tidak mau tinggal diam , biarpun disentuh oleh pria yang statusnya sah sebagai suami ini. Ia coba melayangkan telapak tangannya ke arah pipi Maxime, tapi pria itupun malah tersenyum saja.
"Apa kamu suka yang agak kasar??" tanya Maxime yang membuat Megan diam mematung. Tapi kesempatan tidaklah pernah Maxime lewatkan. Ia sesegera mungkin melucuti pakaian yang Megan kenakan dan selanjutnya yang terjadi, lidahnya mulai menyapu pipi, hingga leher dan terus turun ke bawah serta berhenti di kedua puncak pegunungan milik Megan, lalu mulai mengulumnya secara bergantian, hingga wanita itu belingsatan.
Megan meringis. Ia merinding dengan kelopak mata yang terpejam dengan erat. Kedua tangannya itu pun mencengkram rambut Maxime dengan erat. Gila. Pria ini benar-benar sudah gila rupanya. Kenapa juga, pagi-pagi begini sudah meminta jatah! Semalam kan sudah!
"Akh, Kamu benar-benar nikmat," racau Maxime dengan mata yang sayu, saat penyatuan tubuh mereka itu sedang berlangsung. "Bodohnya Freddy, karena sudah melewatkan momen seperti ini. Benar kan sayang? Huh?" imbuhnya lagi dan membuat Megan melipat bibirnya sendiri, saat Maxime menyebut-nyebut nama mantan tunangannya itu.
Setelah pagi yang penuh dengan peluh. Maxime nampak tertidur dengan pulas secara menelungkup di atas ranjang dan dengan selimut berwarna abu-abu, yang menutupi sebagian tubuhnya dan mencapai pinggangnya saja.
Lelahnya setelah bekerja dari malam hingga pagi seperti tadi dan kini, tinggal ia istirahatkan tubuhnya ini dulu. Sebelum menjalankan tugas yang berikutnya.
Sementara itu, wanita yang telah kembali mandi untuk kali kedua di pagi ini, terlihat menghela napas sembari keluar dari dalam kamar mandi. Baru selesai mandi dan sudah dikerjai. Menyebalkan sekali, pria yang kini malah tertidur pulas, setelah mengerjainya tadi.
Megan, berjalan ke dekat tempat tidur dan mengambil pakaian miliknya, lalu melepaskan handuk dan menggunakan pakaiannya kembali.
Kini, ia pun kembali lagi ke lantai bawah dan meneruskan niatan yang sebelumnya, untuk mengisi perutnya yang keroncongan ini.
Megan memasak makanan untuk dirinya sendiri. Karena tidak kuat berlama-lama di dapur dan juga karena, pria itu yang baru saja tidur, setelah kembali dari pekerjaannya, yang entah itu apa.
Semangkuk sup ayam ia letakkan di atas meja. Kemudian, tubuhnya pun menyusul duduk di sofa, ia seruput dengan perlahan, kuah sup yang masih sangat panas ini. Tetapi rasanya sangat nikmat. Ia coba memakan isiannya juga, yang sudah lengkap dengan sayur mayur nya juga. Lumayan menyehatkan dan yang terasa enak di badan. Apa lagi, ia tambahkan juga satu ruas jahe ke dalam mangkuknya.
Seruputan yang entah keberapa kalinya Megan lakukan. Hingga sendoknya ia simpan mendadak di dalam mangkuk, saat ia mendengar suara, yang berasa dari jaket kulit yang ada di atas sofa juga.
Megan menatap ke arah jaket kulit itu dan kemudian mulai mencari sumber suara tadi. Ia ambil ponsel dari saku dalam jaket dan melihat juga, sebuah kontak dengan nama 'Kakak Kedua' di sana. Khawatir ada yang penting, apa lagi, yang sedang menelepon ini adalah kakaknya, Megan bukan ingin lancang dan hanya ingin sedikit membantu, dengan menjawab telepon itu saja.
"Ya halo??" suara yang Megan keluarkan dan membuat Gerald mengernyit keheranan.
"Halo??" ucap Megan lagi, saat ia tidak mendengar suara apapun dari ponsel yang sudah terhubung dengan si pemanggil ini.
"Dimana Maxime??" tanya suara nan berat ini, yang masih Megan kira, adalah kakak kandung dari Maxime.
"Oh, dia sedang tidur di lantai atas. Mau dipanggilkan sekarang??" tanya Megan.
"Tidak. Tidak usah. Biarkan saja. Oh iya, kamu ini siapa??"
"Eum... Aku Megan."
"Megan? Kamu kekasihnya??" tanya Gerald dengan mencecar.
"B-bukan. Saya bukan kekasihnya," jawab Megan dengan terbata.
"Bukan?? Lantas, siapa kamu??" tanya Gerald dengan menggebu-gebu, kepada wanita yang entah siapa itu, yang ia pikir, akan menjadi pengganggu pekerjaan yang Maxime tekuni saat ini.
"Bukan. Em, bukan kekasih. Tapi itu... Em, sebenarnya kami sudah menikah. Aku... Aku istrinya," jawab Megan dengan sangat pelan di akhir kalimat yang ia ucapkan tadi. Baru kali ini mengakui diri sebagai istri. Tapi daripada nanti jadi bahan omongan. Tinggal serumah tanpa adanya ikatan apa-apa. Jadi katakan saja yang sebenar-benarnya.
"Oh begitu. Ya sudah kalau begitu. Saya akan menelepon lagi nanti."
Megan menatap layar ponselnya, yang sudah tidak lagi terhubung dengan panggilan tadi.
Aneh. Harusnya sebagai kakak, ada rasa penasaran, apa lagi saat mendengar adiknya telah memiliki istri. Tapi kenapa buru-buru sekali mengakhiri panggilan teleponnya tadi.
Ah sudahlah. Biarkan saja. Ia lapar. Ia butuh banyak asupan makanan, setelah lelah bekerja sebagai seorang 'istri' tadi.
Setelah memakan habis makanan yang ia buat sendiri tadi. Kini Megan mulai merapikan seisi rumah. Tidak betah melihat debu yang bersarang, biar cuma sedikit saja. Ia rapikan semuanya sampai ke celah terkecil sekalipun dan setelah bersih semua, kini giliran Megan yang terkapar di atas sofa. Ia terlelap di sana. Sementara yang berada di kamar pun bangun dan turun ke lantai bawah.
Di lantai bawah. Sepasang bola mata dengan iris berwarna coklatnya tertuju pada sosok tubuh wanita yang berada di atas sofa. Ia dekati dan ia ulurkan juga tangannya itu, hingga menyentuh bahu wanita tersebut. Perlahan, ia guncangkan juga bahunya. Tetapi tidak mau bangun juga. Sepertinya, wanita ini benar-benar pulas sekali.
Maxime berhenti dan tidak lagi berusaha, untuk membangunkannya. Akan tetapi, ia langsung mengangkat tubuh wanita itu dan membopongnya, lalu membawanya ke lantai atas dan ke dalam kamar. Ia letakkan tubuh Megan di atas ranjang dan juga, ia selimuti sampai akhirnya ia tinggalkan keluar lagi.
Maxime pergi ke keluar dari dalam kamar dan berjalan menuruni tangga. Ia segera menuju ke dapur karena lapar yang kini sudah tidak tertahankan lagi. Akan tetapi, saat tiba di dapur, ia pun segera menaruh kedua tangannya di sisi wastafel, sembari menghela napas dengan panjang. Pemandangan yang sungguh indah. Wajan , piring maupun gelas yang kotor menjulang di dalam wastafelnya.
Ada yang habis memasak rupanya. Tapi tidak segera membereskannya peralatannya seperti semula lagi. Maxime langsung saja nyalakan kran air wastafel dan membasahi piring-piring tersebut. Kemudian, ia cuci semuanya hingga bersih, baru ia mulai memasak sesuatu untuk dirinya sendiri.
Wanita itu, pasti sudah makan pikirnya. Terlihat dari semua benda yang akhirnya ia bersihkan tadi. Jadi , sudah tidak perlu memasak terlalu banyak makanan. Cukup untuk dirinya saja dan cukup mie instan, dengan topping sayur-sayuran, agar kondisi tubuhnya tetap prima. Apa lagi, pekerjaannya membutuhkan konsentrasi yang penuh. Salah sedikit saja, nyawanya sendiri lah yang akan melayang nanti.
Setelah jadi, Maxime membawa semangkuk mie yang ia buat dan membawanya ke sofa. Ia nikmati makanannya di sana, sembari mengecek ponselnya, untuk melihat ada tidaknya pekerjaan untuk hari ini.
Dahi Maxime tiba-tiba saja muncul kerutan, saat ia melihat ada panggilan masuk, yang telah berakhir tidak sampai lima menit dan rupanya juga diangkat , pastinya oleh wanita yang sudah ia nikahi itu.
Takut ada hal yang penting. Maxime segera menelpon balik dan menunggu panggilan teleponnya dijawab, seraya menyeruput mie instan pada mangkuk ini.
"Max??" panggilan yang Maxime terima, ketika sambungan telepon telah terhubung.
"Iya. Ada apa?? Tadi menelepon bukan?? Apa ada pekerjaan untuk malam ini??" tanya Maxime sembari mengusap hidungnya yang berkeringat, berkat mie instan yang masih panas ini.
"Tidak. Belum ada pekerjaan apapun untuk malam ini."
"Hahh... Baguslah. Rasanya aku ingin beristirahat dulu untuk malam ini. Lagi pula, aku harus membuat perhitungan dengan pamanku itu dulu. Baru anaknya, belum orang tuanya yang mendapatkan balasan!"
"Siapa perempuan tadi??" tanya Gerald tiba-tiba, saat Maxime baru saja berhenti bicara.
"Perempuan... Oh itu, dia bukan siapa-siapa," jawab Maxime, ketika sadar kepada siapa arah pembicaraan mereka sekarang ini.
"Benarkah?? Dia bilang, dia adalah istrimu!"
Maxime menelan salivanya sendiri sembari dengan berucap lagi. "Ya anggap saja seperti itu."
"Hah... Kamu benar-benar berani sekali, mengambil seorang istri, di tengah pekerjaan kita ini."
"Ini di luar dari kuasaku. Dia adalah wanita yang aku ceritakan. Calon istri sepupuku, yang tadinya mau aku jebak, demi membalas perbuatan pamanku itu."
"Lantas, kenapa kamu malah menikahinya segala huh?? Bukankah, kamu hanya akan tidur dengannya saja!??" cecar Gerald.
"Em, iya. Tadinya memang seperti itu. Tapi... Tidak tahunya, dia malah mengandung anakku juga. Jadi, aku merasa , aku harus bertanggung jawab atas kehamilan."
"Astaga...! Dasar bodoh!! i***t!! Kenapa tidak menggunakan pengaman???"
"Ya aku kira, hanya satu kali saja tidak akan menyebabkan kehamilan."
"Dasar dungu! Kalau kamu tidak melakukan apapun, ya tidak akan sampai hamil! Kalau sudah ditiduri, ya kemungkinan hamil itu pasti ada!"
"Sorry. Lagipula hanya sebuah pernikahan saja kan?" ucap Maxime yang kedengarannya santai sekali ini.
"Hah? Apa?? Hanya sebuah pernikahan saja katamu?? Dengar, jangan sampai, wanita itu menjadi penghambat langkahmu! Kamu sudah terjun bersama kami dan jangan harap, kamu bisa pergi begitu saja! Jangan lagi melakukan hal konyol , apalagi seperti yang semalam! Tidak ada ampun bagi siapapun itu. Ingat, mereka yang mati atau justru kita yang akan mati! Dan bahkan semalam juga, kamu hampir membuat kita semua celaka! Sekarang, malah kamu tambahkan lagi saja satu beban! Musuh itu, selalu mengincar kelemahan lawannya! Jangan sampai, wanita itupun menjadi kelemahanmu juga dan menyebabkan, kita semua akan benar-benar celaka!" seru Gerald dengan sangat berapi-api.
Bodoh sekali. Kenapa juga harus mengambil resiko sebesar ini. Apa dia tidak tahu, pekerjaan mereka ini sangatlah beresiko?
"Iya. Aku mengerti. Aku akan ingat hal itu baik-baik. Lagi pula, aku tidak berencana untuk berlama-lama dengannya. Aku, akan segera menceraikan dan meninggalkan dia, saat anakku lahir nanti."
"Bagus! Dan lebih cepat kamu tinggalkan dia, akan semakin lebih bagus lagi! Jangan kamu tahan dia lebih lama lagi! Karena hal itu bisa membahayakan bagi kita semua!"
Panggilan telepon langsung berakhir begitu saja. Maxime menurunkan ponsel dari daun telinganya dan kemudian, ia mulai mengusap wajahnya sendiri dengan kasar.
"Hahh... Sial sekali," gumam Maxime sambil mengusap kasar wajahnya sendiri.