The Mafia's Secret Wife

1006 Words
Sore harinya. Di teras belakang rumah, yang sangat sepi dan jauh dari hiruk-pikuk ibu kota. Maxime tengah duduk pada sebuah kursi kayu, yang di depannya ada sebuah meja, dengan jajaran berbagai macam jenis senjata di atasnya. Ia bersihkan satu persatu dan juga, ia isi peluru pada semua senjata-senjata itu, agar saat dipakai untuk bekerja nanti, semuanya telah siap dan mereka bisa meraup keuntungan yang lebih besar lagi dan lagi. Bukan untuk berfoya-foya. Tetapi, ia membutuhkan banyak uang, untuk sebuah kekuasaan dan dengan kekuasaan itu jugalah, apa yang diambil dari dirinya, bisa kembali ia rebut lagi. Kalaupun bisa, akan ia miskin kan keluarga pamannya itu, sampai hanya tersisa, pakaian yang melekat di tubuh mereka saja. Suara derap langkah kaki terdengar, dari belakang tubuh Maxime dan bisa ia dengar dari indra pendengarannya yang tajam. Maxime berhenti bergerak, hingga sosok wanita, yang tadinya sedang terlelap di lantai atas sebelumnya, kini tiba-tiba saja keluar dan meregangkan kedua tangannya ke atas. Wanita tersebut pun menoleh dan seketika membeliak, saat melihat jajaran senjata api yang sangat banyak di atas meja , yang berada di hadapan Maxime saat ini. "Ya ampun. Kamu dapat darimana semua ini??" tanya Megan, sembari berjalan mendekati meja. Bahkan, ia juga hendak menyentuh salah satu senapan laras panjang, tetapi tangannya sudah lebih dulu ditepis dengan kasar oleh Maxime. "Jangan menyentuhnya sembarangan!" hardik Maxime dan Megan segera menarik kembali, tangannya yang sempat Maxime pukul tadi. "Hanya pegang sedikit saja. Kenapa kamu pelit sekali??" protes Megan. "Kamu bahkan sudah menikmati pistol milikku. Apakah masih kurang??" tanya Maxime dan kerutan itupun muncul di dahi Megan. "Hah? Pistol yang mana??" tanya Megan kebingungan. Maxime menyunggingkan bibirnya dan melirik ke arah perut Megan dan kemudian melontarkan kata-kata , yang akhirnya Megan pahami juga. "Pistol yang pelurunya, sudah berhasil membuatmu hamil," ucap Maxime dan sontak saja, kedua kelopak mata Megan terbuka dengan lebih lebar lagi. "Dasar mesumm!!" seru Megan bersungut-sungut. Maxime tersenyum dan kembali mengisi peluru pada senapan lagi saja. Ia harus segera membereskan ini semua, untuk persiapan, bila ada pekerjaan yang datang secara mendadak nantinya. "Ini semua untuk apa?? Kamu jual ini??" tanya Megan, yang sedang berusaha untuk mengulik karena penasaran. "Tidak. Tapi dengan ini, aku bisa mendapatkan banyak uang." "Caranya???" tanya Megan. "Caranya? Kamu tidak perlu tahu. Ini adalah urusan laki-laki. Jadi wanita tidak perlu tahu. Apa lagi ikut campur." "Cih. Siapa juga yang mau ikut campur," gerutu Megan sembari membelakangi Maxime dan meregangkan tubuhnya kembali. Maxime diam saja. Namun beberapa saat berikutnya, ia teringat akan suatu hal dan berucap, setelah menaruh pistol yang terakhir ke dalam sebuah koper dan menutupnya. "Oh iya. Aku sampai lupa. Kemari lah!" perintah Maxime, agar wanita yang sedang meregangkan tubuhnya itu, datang lebih dekat lagi kepadanya. "Ada apa??" tanya Megan. "Kemari lah dulu," pinta Maxime. Megan mendekat dan kini, ia sudah berada di sisi Maxime dan siap mendengarkan celotehannya. "Apa??" tanya Megan. Maxime mengembuskan napas dan berucap, "Lain kali, jangan katakan kepada siapapun itu, kalau kamu adalah istriku." "Kenapa memangnya?? Kenapa tidak boleh??" "Tidak apa-apa. Hanya tidak usah, sampai mengumumkan siapa diri kamu ini. Lagi pula, apakah kamu sangat ingin, disebut-sebut sebagai istriku??" ucap Maxime sembari tersenyum miring. "Tidak! Ya aku... Aku hanya tidak mau nanti orang lain menganggap kita yang tidak-tidak. Tinggal serumah. Tapi tidak memiliki hubungan apa-apa. Tapi ya sudah! Siapa juga yang mau jadi istrimu!!" seru Megan yang kembali ke tempatnya berdiri tadi. Hendak melakukan peregangan lagi. Tapi sudah terlanjur dibuat kesal, oleh pria yang ada di sana. Siapa juga, yang mau menjadi istrinya?? Dia kan yang tiba-tiba mengajak untuk menikah. Ia sama sekali tidak meminta hal itu darinya. Megan bertolak pinggang, dengan emosi yang tengah bergejolak dan tiba-tiba saja, pria yang sedang duduk tadi, kini sudah berdiri di belakang tubuhnya saja dan sambil mengulurkan tangannya ke depan, lalu menembak sesuatu, di depan sana. Megan melonjak kaget dan menatap ngeri, kepada pria, yang kini sudah berdiri di sebelahnya ini, dengan sebuah pistol, yang berada di genggaman tangannya. Dia, tidak bermaksud untuk menembaknya juga kan?? Barangkali, karena kesal, dia malah menggunakan senjata itu dengan sembarangan. "Apa kamu bisa menggunakan senjata??" tanya Maxime tiba-tiba, hingga Megan membuat sangat banyak kerutan di dahinya itu. "Tidak. Aku tidak bisa. Kenapa memangnya???" tanya Megan penasaran. "Mau aku ajari??" tanya Maxime sembari menoleh dan menatap kepada Megan. Megan bergeming. Kelihatannya seru juga. Ia juga penasaran, bagaimana cara menggunakan senjata. Sepertinya seru dan sekaligus ngeri juga sebenarnya. "Boleh. Ya sudah. Kalau memang boleh," balas Megan. "Baiklah. Pegang ini," ucap Maxime, yang langsung memberikan pistol, yang berada di genggaman tangannya kepada Megan. Megan mengambil pistol tersebut dan memegangnya dengan salah. Napas terlihat berhembus dari mulut Maxime dan Maxime pun, kini pergi ke belakang tubuh Megan dan mengulurkan kedua tangannya, dari kedua sisi tubuh Megan. Kemudian, ia mulai mengangkat kedua tangan Megan dan memperbaiki letak pistol yang Megan pegang sekarang. "Nah, begini baru betul," ucap Maxime sembari menurunkan tangannya dan membiarkan Megan menopang pistol itu sendiri. "Sekarang, pejamkan satu mata kamu. Kunci target, lalu tarik pelatuknya," perintah Maxime dan perlahan dilakukan juga oleh Megan. Megan lakukan sesuai dengan instruksi dan pada saat sudah mengunci targetnya, ia pun hendak menarik pelatuknya tetapi dengan gemetar. "Astaga! Kamu tegang sekali," ucap Maxime yang kembali menyentuh tangan Megan dan berusaha menghentikan getaran di tangan Megan itu. "Rileks saja. Jangan tegang. Pistol ini tidak akan melukaimu sama sekali. Ayo, sekarang lakukan seperti apa yang aku katakan tadi," perintah Maxime tanpa menurunkan tangannya itu dan tetap memegangi tangan Megan. Megan mengembuskan napas sebelumnya, lalu pejamkan satu mata. Ia bidik batang pohon besar yang berada di depan sana dan selanjutnya, sesuai dengan instruksi yang telah Maxime berikan kepadanya tadi, ia tarik pelatuk pada pistol, hingga pelurus terlepas dan pas mengenai apa yang ia bidik tadi. "Yes!! Kena!!" seru Megan dengan mata yang membeliak. Ia masih terlihat tidak percaya, akan keberhasilannya tadi. "Kamu lihat kan tadi??" tanya Megan sembari menoleh ke belakang dan melihat wajah Maxime, yang begitu dekat dengan wajahnya kini. Begitu juga dengan Maxime, yang turut menatap Megan juga, hingga keduanya saling melihat gambaran wajah mereka sendiri, pada bola mata orang, yang tengah mereka tatap satu sama lain ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD