Malam itu, penthouse Rio diselimuti keheningan. Lampu ruang kerja menyala lembut, menerangi meja kayu besar yang dipenuhi tumpukan kertas, map proposal, dan laptop yang layarnya masih terbuka. Rio duduk bersandar di kursi kulit, satu tangannya menekan pelipis. Pandangannya kosong menatap layar. Baru saja ia membaca email panjang dari direktur operasional rumah sakitnya di luar negeri. Kalimat-kalimat di layar menamparnya tanpa ampun: The hospital’s operational funds are projected to sustain activities for only the next two years, even under strict cost-control measures. Without an immediate capital injection, the institution faces the risk of permanent closure. Rio menutup mata, mendesah panjang. “Sial…” gumamnya. Ia menunduk, jemarinya menyisir rambut ke belakang dengan kasar. Berkas

