Bab 9

1783 Words
Langit sore mulai berubah jingga, itu artinya shift Laras dan Alma sudah selesai. Laras berjalan berdampingan dengan Alma, masing-masing membawa tas dan map buku-buku catatan mereka hari ini. “Eh, kamu aku anter aja ke kontrakan?” tawar Alma sambil melirik ke arah Laras. “Sekalian aku lewat kok.” Laras tersenyum tipis sambil menggeleng. “Nggak usah, aku ada urusan bentar sebelum pulang. Kamu pulang duluan aja.” “Yakin?” “Yakin.” Alma mengangkat bahu. “Yaudah. Aku pulang dulu, ya. Hati-hati.” “Hm, kamu juga,” jawab Laras singkat. Mereka berpisah di depan gerbang rumah sakit. Alma melangkah ke parkiran, sementara Laras berjalan ke arah jalan besar. Halte kecil di depan rumah sakit sepi, hanya ada satu kursi panjang dan papan jadwal yang mulai pudar. Laras duduk, meletakkan tas di pangkuannya, lalu membuka buku catatannya. Tangannya menelusuri tulisan yang tadi ia buat, mencoba memanfaatkan waktu menunggu bus untuk mengulang materi. Suara mesin mobil yang halus memecah sepi halte. Laras mengangkat kepala, melihat sebuah sedan hitam mengilap merapat pelan ke tepian. Mobil itu berhenti tepat di depannya. Jendela sisi pengemudi turun perlahan, menyingkap wajah yang sudah ia kenal baik. “Masuk.” Laras membeku sepersekian detik. Jantungnya langsung bereaksi lebih dulu sebelum pikirannya sempat mencerna. Adrian duduk di balik kemudi, mengenakan kemeja gelap yang lengan atasnya sedikit tergulung. Tidak ada sopir, tidak ada Raka, asistennya. “S-saya bisa pulang sendiri,” ucap Laras buru-buru sambil menutup buku catatan di pangkuannya. Suaranya terdengar lebih ragu daripada tegas. Adrian tetap menatap ke depan, tidak menoleh, hanya menurunkan dagu sedikit. “The longer my car stops here, the more people will start wondering. Your call.” Nada bicaranya datar, tapi setiap kata terasa menekan, seperti ia tidak sedang memberi pilihan sungguhan. Laras melirik ke kanan dan kiri. Dua pejalan kaki di trotoar seberang sempat melirik ke arah mobil mewah itu, lalu ke arahnya. Seorang ibu muda yang lewat bahkan memperlambat langkah, matanya berpindah dari Laras ke pengemudi sedan itu. Laras menelan ludah, merasakan panas merayap ke wajahnya. Dengan napas pendek yang nyaris seperti menyerah, ia berdiri. Langkahnya pelan saat mendekati pintu penumpang. Adrian tidak berkata apa-apa, tapi tatapannya mengikuti setiap gerak Laras. Begitu pintu menutup rapat, aroma khas interior mobil menyambutnya, bercampur wangi parfum maskulin yang tajam namun halus. Aroma itu begitu familiar. Terlalu familiar. Membawanya kembali ke memori pagi ini, ketika jarak mereka nyaris tak ada. Laras cepat-cepat mengalihkan pandang ke luar jendela, mencoba menenangkan degup jantungnya. “Why so quiet?” suara Adrian memecah keheningan, tenang tapi menuntut jawaban. “You’ve been silent since you got in.” Laras tersentak kecil, menoleh sebentar lalu kembali memandang ke luar. “Nggak… nggak ada,” jawabnya cepat, terlalu cepat, seperti anak kecil yang ketahuan menyembunyikan sesuatu. Adrian melirik sekilas, sudut bibirnya terangkat tipis. “You sure? Your face says otherwise.” Pipi Laras terasa panas. “Saya cuma capek, Pak.” “Capek…” Adrian mengulang kata itu, suaranya merendah. “Or still thinking about this morning?” Laras menoleh cepat, matanya membesar. “B-bukan!” ucapnya buru-buru, tapi justru suaranya terdengar seperti pengakuan tak langsung. Adrian hanya menahan tatapan ke depan, fokus ke jalan, namun ekspresinya menyiratkan ia menangkap reaksi itu. “If you keep looking like that, I might think you want a repeat.” Laras langsung membisu, menunduk, berusaha keras mengabaikan rasa panas yang merayap di wajahnya. *** Mobil berhenti di basement apartemen. Adrian mematikan mesin dan turun lebih dulu. Laras sempat ragu, tapi akhirnya ikut keluar, langkahnya menyesuaikan dengan pria itu. Begitu pintu apartemen terbuka, Adrian melepaskan jasnya dan meletakkannya di sandaran sofa. Tatapannya singgah sebentar pada Laras. “Go upstairs and get cleaned up,” ucapnya singkat. “Someone will come in an hour to do your hair and makeup.” Laras yang baru saja meletakkan tas di sofa refleks menoleh cepat. “Didandanin? Memangnya mau ke mana?” Suaranya terdengar ragu, seperti setengah berharap jawabannya hanyalah acara santai biasa. Adrian tidak langsung menjawab. Ia berjalan santai ke arah minibar, mengambil botol air dingin dari pendingin kecil. Gerakannya tenang, terukur, seolah tidak tergesa. “Dinner,” ucapnya sambil menuang air ke gelas kristal. “Makan malam?” Laras mengulang, alisnya berkerut, mencoba memastikan. “Business dinner,” ia menambahkan setelah meneguk setengah gelas. Nada suaranya tetap datar, tapi cukup tegas untuk menunjukkan bahwa ini bukan ajakan, melainkan perintah. Laras mematung beberapa detik, kepalanya dipenuhi tanda tanya. “Kenapa saya ikut? Bukannya… saya ini istri yang disembunyikan?” Nada bicaranya sengaja dibuat datar, tapi ada getar halus yang mengkhianati rasa gugupnya. Adrian meletakkan gelasnya di meja dengan bunyi pelan Tuk. Pandangannya langsung mengait mata Laras, tatapan yang tidak memberi ruang untuk bersembunyi. “I don’t hide you, Laras. Maybe it’s just you who think that way.” Kata-kata itu meluncur dengan tenang, tanpa nada tinggi, tapi justru terasa lebih menusuk. Laras kehilangan kata, bibirnya sempat terbuka untuk membalas, tapi tak ada kalimat yang keluar. Adrian berbalik, langkahnya mantap menuju tangga. “Upstairs. Change. We leave at eight.” Nada bicaranya tidak meninggi, namun jelas tidak menerima bantahan. Begitu masuk kamar, ia menutup pintu di belakangnya dan bersandar sejenak. Kata-kata Adrian tadi berulang di kepalanya ‘I don’t hide you, Laras. Maybe it’s just you who think that way.’ Ia menatap bayangannya sekilas di cermin. Tidak disembunyikan? Kalau begitu, kenapa selama ini ia merasa seperti hanya bagian yang sengaja diletakkan di sudut gelap hidup pria itu? Menarik napas, ia menuju kamar mandi. Air hangat mengalir membasahi kulit, namun tidak cukup untuk mengusir rasa gelisah yang menempel di pikirannya. Sambil mengusap sabun di lengannya, ia terus memutar ulang kata-kata itu. Mungkin Adrian benar… atau mungkin itu hanya cara halusnya membuat Laras berhenti bertanya. Selesai mandi, ia mengeringkan tubuh dan rambutnya, lalu berjalan ke lemari. Deretan gaun dan atasan rapi tergantung di sana, semuanya jelas bukan pilihannya sendiri. Jemarinya menyentuh satu per satu, hingga akhirnya ia menarik keluar gaun berwarna emerald yang sederhana tapi elegan. Di atas ranjang, kotak beludru berisi perhiasan tergeletak rapi. Ia membukanya, menatap kalung tipis dengan bandul kecil. Indah sekali. Laras berdiri cukup lama di depan cermin, ketika suara ketukan pelan terdengar di pintu. Tok… tok… tok. Ia menoleh. “Ya?” Pintu terbuka sedikit, memperlihatkan seorang perempuan paruh baya dengan senyum ramah. Di tangannya ada koper rias berwarna hitam yang cukup besar. “Sore, Nyonya. Saya diminta Pak Adrian untuk membantu merias Nyonya,” ucapnya sopan. Laras sempat terdiam sepersekian detik, lalu mengangguk pelan. “Oh… silakan masuk.” Perempuan itu yang kemudian memperkenalkan diri sebagai Rara segera membuka kopernya di meja rias. Deretan kuas, palet warna, dan peralatan styling rambut memenuhi permukaan meja. “Pak Adrian bilang, nanti malam acaranya formal. Jadi saya buat natural glam saja, biar elegan tapi nggak terlalu berat,” ujarnya sambil mulai menyiapkan foundation. Laras duduk, membiarkan Rara bekerja. Aroma bedak dan hairspray mulai memenuhi udara. Sementara kuas menyapu lembut di kulit wajahnya, pikirannya kembali melayang ke percakapan tadi. I don’t hide you… Kalau begitu, kenapa semua ini terasa seperti ia sedang dipoles untuk dipamerkan? Beberapa kali ia melirik pantulan dirinya di cermin, tapi yang lebih sering muncul di kepalanya justru wajah Adrian. Entah apa yang ada di pikiran pria itu, menyiapkan semuanya tanpa memberinya kesempatan untuk menolak. “Sudah cantik sekali,” kata Rara sambil tersenyum puas, menyematkan pin kecil di rambut Laras. Laras hanya mengangguk, meski hatinya belum siap untuk malam ini. Pintu kamar terbuka tanpa ketukan. Laras yang masih duduk di kursi rias langsung menoleh. Adrian berdiri di ambang pintu, jas hitamnya sudah terpasang rapi, dasi terikat sempurna. Pandangannya menyapu ruangan sebentar sebelum akhirnya jatuh pada sosok Laras. Rara yang masih merapikan lipstik Laras buru-buru berdiri. “Pak, sudah selesai. Tinggal sentuhan terakhir.” Adrian hanya mengangguk tipis, lalu berjalan mendekat. Suara sepatu kulitnya terdengar jelas di lantai kamar. Begitu berdiri di belakang kursi, ia menatap Laras melalui pantulan cermin. “Hmm…” gumamnya pelan, nada suaranya sulit ditebak. Laras refleks meraih ujung gaunnya, merasa tatapan itu terlalu lama. “Kenapa?” tanyanya hati-hati. Adrian menunduk sedikit, jemarinya menyentuh bahu Laras sambil menatap bayangannya di cermin. “I was wondering… apakah kamu ini mau ke dinner bisnis, atau mau bikin semua orang di ruangan nanti lupa sama agendanya.” Laras mengerjap, tidak tahu harus membalas apa. “Saya cuma… nurut aja dirias begini.” Sudut bibir Adrian terangkat tipis. “Exactly. Dan itu saja sudah cukup.” Ia lalu menegakkan tubuh, memberi kode singkat pada Rara. “We leave at eight. Pastikan dia siap.” Sebelum keluar kamar, Adrian sempat berhenti di ambang pintu, melirik Laras sekali lagi. “Oh, dan… kalau ada yang memandang kamu terlalu lama nanti malam—” ia berhenti sejenak, senyum tipisnya muncul, “—ingatkan mereka, senyum itu milik saya.” Laras hanya terdiam, napasnya sedikit tertahan, sementara suara langkah Adrian menjauh. Jam menunjukkan tepat pukul delapan ketika Laras melangkah turun dari lantai dua. Gaun satin berwarna emerald yang membungkus tubuhnya jatuh anggun hingga mata kaki, rambutnya ditata rapi dengan sedikit gelombang di ujung, dan sentuhan riasan tipis membuat wajahnya terlihat segar dan semakin cantik natural. Adrian berdiri di dekat pintu masuk, mengenakan setelan hitam sempurna. Pandangannya langsung tertuju padanya, bukan sekadar melihat, tapi menilai dari ujung kepala sampai ujung kaki. “Let’s go,” ucapnya singkat, membukakan pintu depan. Di luar, sedan hitam yang berbeda dari biasanya sudah terparkir rapi dengan sopir menunggu. Perjalanan berlangsung tanpa banyak bicara. Laras hanya bisa mencuri pandang sesekali, mencoba menebak kenapa ia harus ikut acara seperti ini. Sesampainya di restoran yang mereka datangi penuh dengan cahaya temaram dan suara obrolan rendah. Begitu mereka sampai di meja, Adrian menarikkan kursi untuk Laras. Ia melakukannya tanpa banyak bicara, hanya satu anggukan kecil begitu Laras duduk. “Terima kasih,” ucap Laras pelan. Adrian tidak menjawab, hanya duduk di sebelahnya, langsung mengarahkan perhatian ke pria setengah baya di seberang yang tampaknya sedang menjelaskan sesuatu dengan grafik di tablet. Percakapan mengalir cepat dalam bahasa Inggris. Beberapa istilah teknis terdengar asing di telinga Laras. Ia mencoba mengikuti, tapi gagal fokus. Sesekali ia meneguk air mineral dan memindahkan sayur di piringnya. Dari ujung mata, ia menangkap beberapa tamu melirik ke arahnya. Bukan terang-terangan, tapi cukup untuk membuat Laras duduk sedikit lebih tegak. Sampai seorang pria menyapanya. “Saya belum pernah lihat kamu di acara seperti ini sebelumnya,” katanya, nada suaranya ramah. “Baru pindah ke kota ini, ya?” Laras menoleh, sedikit kaget. “Saya—” Adrian menghentikannya sebelum satu kata pun keluar. “Dia nggak perlu jawab.” Suaranya tenang, nyaris datar, tapi terdengar jelas. Pria itu mengangkat alis, masih tersenyum. “Oh. Maaf, saya cuma—” “She’s with me,” sambung Adrian. Ia tidak meninggikan suara, tapi intonasinya cukup untuk menutup percakapan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD