Bab 8

1810 Words
Laras terbangun ketika cahaya matahari tipis menyelinap melalui celah tirai. Pandangannya masih buram, tapi ada sensasi aneh, seperti berat dan membatasi geraknya. Begitu menoleh pelan ke samping, napasnya tercekat. Adrian. Masih terbaring, tapi lengannya melingkar kuat di pinggangnya. Wajahnya hanya berjarak beberapa senti, cukup dekat hingga Laras bisa merasakan setiap embusan napasnya yang teratur menyapu kulit. Laras menahan diri untuk tidak bergerak mendadak. Pelan-pelan, ia mencoba mengangkat tangan Adrian dari perutnya, tapi sentuhan kulit pria itu terlalu terasa hangat, besar, dan membuat napasnya sendiri tidak karuan. Sebelum ia berhasil melepaskan diri, jemari Adrian justru mengencang, menariknya kembali hingga punggungnya menempel erat pada d a da bidang itu. Laras membeku, matanya membulat. Pria itu tidak benar-benar tidur. Adrian menurunkan kepalanya perlahan, dan di sela keheningan, Laras bisa mendengar suara napasnya yang lebih berat dari tadi. “Pak… lepaskan,” ucapnya lirih, hampir seperti bisikan yang terputus oleh gugup. Alih-alih melepaskan, Adrian menurunkan wajahnya ke leher Laras. Bibirnya berhenti di ceruk tepat di bawah telinga, hangat napasnya membuat kulit Laras merinding. Satu kecupan singkat mendarat di sana, cepat tapi memicu aliran panas yang menjalar turun di punggungnya. Tangan yang masih mengurung pinggangnya mulai bergerak, naik perlahan hingga berhenti di bagian d a da Laras yang masih di luar kain tipis baju tidur. Sentuhan itu tidak menekan, hanya diam di sana, cukup untuk membuat tubuhnya kaku dan jari-jarinya menggenggam selimut. “Pak…” kali ini suaranya terdengar lebih rendah, campuran gugup dan ketidakpastian. Adrian hanya bergumam pendek, suara rendahnya bergetar di telinga Laras. “You know… a man in the morning usually needs a little release.” Laras membeku total, wajahnya panas, tapi sebelum pikirannya melayang terlalu jauh, Adrian menambahkan dengan nada santai, “Relax, I’m just teasing you.” Ia tersenyum tipis, meski Laras tidak melihatnya. Pelukannya sedikit mengendur, tapi bukannya menjauh, ia sempat menggeser tubuhnya lebih rapat, membuat Laras bisa merasakan bentuk tubuhnya di punggungnya. Baru setelah itu ia melepaskan sepenuhnya, gerakannya lambat, seolah sengaja. Laras segera bangkit, melangkah cepat menuju kamar mandi. Di belakangnya, ia masih bisa merasakan sisa hangat tubuh Adrian menempel di kulit, bahkan setelah pintu kamar mandi tertutup rapat. Air yang mengalir di wajahnya jadi satu-satunya cara untuk menghapus rasa gugup yang masih menempel. Hari ini ia harus berangkat ke rumah sakit. Dan ia tahu, setelah kejadianpagi ini, akan semakin sulit baginya untuk berpura-pura biasa saja di depan Adrian. Uap hangat dari kamar mandi masih tersisa saat Laras keluar, rambutnya setengah basah. Ia berhenti sebentar ketika melihat Adrian sudah bangun dan duduk di tepi ranjang, masih mengenakan kaus tipis. Pria itu hanya menatapnya sebentar, tatapan singkat yang sulit dibaca lalu berdiri dan berjalan melewatinya menuju kamar mandi. “Turun. Sarapan,” ucapnya pelan tapi tegas sebelum menutup pintu. Laras menarik napas, lalu menuju dapur. Meja makan sudah tertata rapi, aroma roti panggang dan kopi memenuhi ruangan. Tidak lama kemudian Adrian bergabung, duduk di seberangnya. “From now on, you’ll go with my driver.” katanya sambil mengaduk kopi. Nada bicaranya jelas bukan tawaran. Laras menatapnya, lalu menggeleng pelan. “Saya lebih nyaman naik angkutan umum. Kalau tiba-tiba saya berangkat dan pulang dijemput mobil, mungkin akan jadi bahas gosip untuk mereka. Termasuk Alma.” Adrian mengangkat alis. “So? Let them talk.” “Saya belum mau dia tahu… tentang kita,” jawab Laras, suaranya hati-hati tapi tegas. Pria itu menatapnya beberapa detik, lalu bersandar di kursi. “Fine. Have it your way. Tapi kalau ada masalah, tolong langsung hubungi saya.” "I-iya." Laras hanya menjawab singkat. Mereka melanjutkan sarapan dalam keheningan singkat. Adrian selesai lebih dulu, meletakkan cangkir kopi di meja. “I’ll go first.” Ia mengambil jasnya, lalu melangkah pergi tanpa banyak kata lagi. Laras menunggu sampai suara pintu utama tertutup sebelum melanjutkan makan. Beberapa menit kemudian, ia membereskan piring, mengambil tas, dan keluar dari apartemen. Udara pagi menyapa wajahnya. Alih-alih langsung ke halte terdekat, ia memilih berjalan agak jauh dari gedung apartemen Adrian, baru kemudian berhenti di halte umum untuk menunggu angkutan menuju rumah sakit. *** Suara derap langkah bercampur dengan percakapan para perawat dan mahasiswa KOAS memenuhi lorong Mahendra Medika. Bau antiseptik yang menusuk sudah menjadi aroma rutin di hidung Laras. Ia berjalan sambil memegang map pasien, matanya fokus ke depan, mencoba menjaga ekspresi netral. “Larasss!” Sebuah suara riang memecah konsentrasinya. Laras menoleh, menemukan Alma sedang melambaikan tangan dari ujung lorong, senyumnya lebar. Laras mengangkat sudut bibirnya, melangkah mendekat. “Hai. Kamu jaga di sini juga?” “Iya,” jawab Alma sambil menyesuaikan langkah. “Sekarang lagi rotasi di ICU. Kamu?” “Bedah,” ucap Laras singkat. Mereka mulai berjalan berdampingan menuju ruang perawat. Alma, seperti biasanya, cepat sekali membuat suasana cair. “Gila, jadwal minggu ini padat banget. Belum lagi aku nanti harus ke kampus, ketemu sama dosen yang… ya kamu tahu lah, kalau ngomong kayak maraton.” Laras tersenyum tipis. “Iya. Kayak mau ujian tiap hari.” Alma terkekeh, lalu merendahkan suara, seolah sedang membocorkan rahasia. “Eh, tau nggak sih, kemarin waktu jaga malam, si Andri ketiduran pas lagi entry data pasien. Monitor sampai bunyi, bikin semua orang panik.” Laras ikut tertawa kecil, meski di kepalanya pikiran melayang-layang, bukan hanya tentang rumah sakit. Sesekali ia mengangguk, memastikan Alma tidak sadar bahwa perhatiannya tidak sepenuhnya di sini. Lorong depan nurse station siang itu cukup ramai. Beberapa perawat duduk di meja administrasi, jari-jemari mereka sibuk mengetik di komputer, tapi mulut tetap bergerak membicarakan sesuatu. Laras dan Alma berdiri di dekat dispenser, masing-masing memegang gelas kertas berisi air hangat, sambil membicarakan jadwal rotasi minggu depan. Obrolan mereka terpotong oleh suara dua perawat yang terdengar cukup jelas dari meja administrasi. “Eh, denger-denger, Pak Adrian itu udah lama nggak keliatan sama siapa-siapa,” ujar salah satunya, nada suaranya dibuat pelan tapi cukup keras untuk terdengar. Temannya menimpali sambil pura-pura memeriksa berkas, “Iya, tapi katanya dulu dia pernah deket sama beberapa cewek. Nggak ada yang lama, tapi ya… you know.” Tawa kecil terdengar, diikuti bisik-bisik yang semakin merendah tapi justru lebih menusuk telinga Laras. Ia menunduk, menggenggam gelas kertas itu lebih erat, sementara Alma sempat melirik, matanya penuh tanda tanya. Suara langkah sepatu kulit yang mantap di lantai vinyl membuat beberapa kepala otomatis menoleh. Laras pun ikut menoleh dan langsung melihat sosok yang mendekat. Adrian. Tinggi, rapi, dengan ekspresi datar yang tidak berubah. Laras refleks menegakkan punggung. Alma ikut diam, matanya bergeser antara Laras dan Adrian. “Kamu ikut saya sebentar,” ucap Adrian singkat, nada suaranya jelas seperti perintah. “Urusan administrasi,” tambahnya, sedikit lebih pelan tapi tetap tegas. Alma menatap Laras lebih lama kali ini, keningnya berkerut, seolah mencoba menebak apa yang sebenarnya terjadi. Laras hanya mengangguk kecil, lalu mengikuti Adrian. Mereka berjalan menyusuri lorong sampai tiba di sebuah ruangan Adrian. Adrian membuka pintu dan memberi isyarat agar Laras masuk lebih dulu. Ruangan itu tidak besar, tapi rapi. Bau kopi bercampur aroma kertas baru memenuhi udara. Adrian menutup pintu, melepas jasnya, dan meletakkannya di sandaran kursi. “Duduk,” katanya singkat. Laras duduk, merasakan tatapan pria itu seperti menilai setiap gerak-geriknya. “Jangan biarkan orang lain melihat kamu seperti tadi,” ucap Adrian sambil membuka map di meja. Laras mengerutkan kening. “Maksud Bapak?” “Tatapan mereka,” Adrian mengangkat mata sebentar. “It’s curiosity. And curiosity leads to questions. I don’t want them asking questions about us.” Laras menelan ludah. “Tapi kalau Bapak datang langsung ke sini, mereka memang akan bertanya-tanya…” "Itu masalah saya,” potong Adrian, nada suaranya datar. “Tugas kamu adalah mengikuti instruksi saya. Mengerti?” Laras terdiam sejenak sebelum mengangguk pelan. “Good,” ujarnya sambil menunjuk pintu dengan dagu. Laras bangkit dari kursinya, lalu menuju pintu. Tetapi, sebelum ia membuka pintu. Adrian berdiri, mendorong kursinya perlahan hingga berderit halus, lalu melangkah memutari meja. Suara sepatu kulitnya pelan, tapi setiap langkah seperti mengisi ruang kecil itu. Laras menegang tanpa sadar, punggungnya kaku saat ia merasakan sosok pria itu kini berdiri tepat di belakang kursinya. Udara di ruangan terasa berubah, bukan panas, tapi cukup untuk membuat tengkuknya hangat. Tangan Adrian terulur tanpa aba-aba, jemarinya menyentuh jas putih Laras saat ia menarik ID card KOAS yang tergantung di saku depan. Sentuhan itu tidak terburu-buru, dan justru terasa disengaja, cukup lama untuk membuat Laras menahan napas. Gerakannya tenang, seolah mengambil sesuatu yang memang sudah menjadi miliknya. “Foto ini…” ujarnya pelan, suaranya rendah dan dalam, sambil mengangkat kartu itu setinggi mata. Pandangannya menelusuri potret kecil di sana. “You look too friendly here. Jangan tersenyum seperti ini di depan semua orang.” Laras menoleh setengah, alisnya berkerut. “K-kenapa?” Adrian menurunkan wajahnya sedikit. Jarak mereka sekarang nyaris tidak ada, cukup dekat untuk membuat Laras merasakan hangat napasnya yang berhembus pelan di pipi. “Karena senyuman itu ... milik saya sekarang.” Nada bicaranya tetap datar, tapi membawa beban yang membuat tengkuk Laras terasa panas. Ia menurunkan ID card itu, namun bukannya mengembalikannya begitu saja, pandangannya bergerak turun sejenak, menelusuri lekuk halus di wajah dan garis leher Laras sebelum kembali mengunci tatapannya pada mata Laras. “Kalau kamu senyum seperti ini ke orang lain…” bibirnya melengkung tipis, “jangan salahkan sa jika aku membuatmu menunjukkan senyum itu dengan… cara lain.” Kata-kata itu, meski diucapkan pelan, menghantam seperti gelombang panas yang menutup semua ruang gerak Laras. Jantungnya berdetak cepat, dan ia tidak tahu apakah lebih baik berpura-pura tidak mengerti atau… benar-benar mengerti. Adrian akhirnya menyelipkan kembali ID card itu ke sakunya dengan gerakan lambat, jarinya sengaja menyentuh sisi pinggang Laras lebih lama dari yang diperlukan. Sentuhan hangat itu menyusup melewati kain tipis jas putihnya, memaksa napasnya tercekat. Sebelum menjauh, Adrian mencondongkan tubuhnya sedikit, suaranya kembali turun menjadi nada rendah yang nyaris seperti gumaman. “Go back. And remember what I said.” Laras menunduk singkat sebelum keluar dari ruangan, mencoba mengatur napas yang sejak tadi terasa lebih cepat. Pintu ruangan Adrian menutup di belakangnya. Laras menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih kacau. Langkahnya terdengar samar di lorong rumah sakit, bercampur dengan suara roda troli dan percakapan staf medis. Baru beberapa meter berjalan, sosok Alma muncul dari arah berlawanan. “Larasss,” panggilnya sambil mempercepat langkah. “Ngapain kamu dipanggil sama Pak Adrian? Dia ngomong apa?” Laras mengangkat bahu seolah tidak ada yang penting. “Nggak ada… dia cuma mau aku tetap nyicil biayanya,” jawabnya singkat, berusaha terdengar santai. Alma mengembuskan napas berat, ekspresinya berubah seketika. “Kenapa sih Papa jahat banget?” gumamnya pelan, tapi cukup jelas untuk terdengar. Laras langsung menghentikan langkah, menoleh cepat. “Papa?” ulangnya, nada suaranya nyaris tak percaya. Alma tersentak, lalu cepat-cepat menggeleng. “Eh… nggak, maksudnya… aku tiba-tiba keinget Papaku aja. Nggak ada hubungannya sama dia,” katanya tergesa, mencoba menutup celah yang baru saja ia buka. Sebelum Laras sempat bertanya lagi, Alma meraih pergelangan tangannya. “Ayo, mending kita cabut dari sini. Aku udah muak lihat muka orang itu.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD