Mobil hitam itu berhenti perlahan di depan sebuah restoran berarsitektur modern klasik. Dinding kaca besar memantulkan cahaya lampu, dan di baliknya tampak meja-meja makan yang sudah ditata rapi. Nama restoran itu terpampang elegan di atas pintu, La Meridia, tempat yang pernah Adrian lewati berkali-kali, karena jaraknya hanya beberapa blok dari apartemen lamanya. Apartemen yang kini hanya menjadi sisa kenangan yang ingin ia kubur dalam-dalam. Adrian memandangi papan nama restoran itu cukup lama sebelum keluar. Rahangnya menegang. Ia tahu, Dharma sengaja memilih tempat ini. Tidak ada yang benar-benar kebetulan kalau sudah melibatkan ayahnya. “Mas?” suara Safira memecah lamunannya. Ia sudah turun lebih dulu, berdiri di sisi mobil, menunggu sambil memegang tas tangan kecil. Gamis berwarna

