Suara itu tiba-tiba saja menggelegar di sepenjuru rumah, seperti petir yang menyambar di langit cerah. Gema panggilan itu sampai menembus pintu kayu tebal kamar utama, membuat Laras dan Adrian yang sedang larut dalam gelora terhenyak. Adrian yang tadi sedang berada di puncak hasratnya mendadak berhenti. Rahangnya mengeras, napasnya masih memburu, dan kedua tangannya mengepal di samping tubuh Laras. “S i al!” desisnya lirih, wajahnya menegang karena kesal luar biasa. Ia menunduk sebentar, mencoba menenangkan gejolak di dadanya, namun suara itu terdengar lagi, lebih keras, “Adrian! Brooo! Lo di mana?!” Laras buru-buru merapatkan selimut sampai ke leher, pipinya memerah karena malu. “Mas—” panggilnya pelan, suaranya gugup. Adrian menoleh cepat, matanya masih menyala oleh amarah yang ditah

