Bab 129

2516 Words

Jam digital di dashboard mobil menunjukkan pukul 21.03 ketika Adrian memutar setir memasuki halaman rumahnya di kawasan elit kota. Lampu taman di kanan-kiri jalan kecil itu menyala redup, menyorot bayangan pepohonan yang tertiup angin malam. Rumah itu besar, bergaya modern minimalis dengan dinding putih dan kaca tinggi, tapi setiap kali Adrian pulang, rumah itu terasa seperti bangunan kosong yang kehilangan nyawa. Ia mematikan mesin, lalu duduk diam beberapa detik di balik kemudi. Tangannya masih menggenggam setir, matanya memandangi refleksi dirinya di kaca depan. Wajahnya tampak lelah, bukan karena pekerjaan, tapi karena beban pikiran yang terus menumpuk sejak siang tadi. sejak rapat bersama Wijaya, Dharma, dan Safira yang membicarakan keturunan. Satu kata itu saja sudah cukup untuk me

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD