Bab 4

1164 Words
“T-tapi… kenapa harus saya?” suara Laras bergetar, matanya berkaca-kaca. Adrian tidak menjawab. Ruangan itu terasa berat. Padahal langit-langitnya tinggi, jendelanya lebar menghadap ke kota. Laras berdiri kaku di tempat, seperti tanah di bawahnya menahan langkahnya. Di dadanya, perasaan saling bertabrakan, membuat napasnya pendek-pendek. Ada keputusan yang ingin ia lontarkan, tapi tertahan di ujung lidah. Dua kata dari Adrian barusan terasa seperti mengguncang seluruh hidupnya. Ini bukan cuma soal harga diri atau prinsip. Ini soal masa depannya, soal bisa bertahan atau tidak. Pelan-pelan, ia mengangkat pandangan. Melihat Adrian dari balik bulu matanya yang basah. Pria itu berdiri di dekat jendela, punggungnya menghadap Laras. Siluet tubuhnya tegap, tenang, tapi dingin. Dingin dengan cara yang membuat Laras ingin menjauh, tapi entah kenapa tak bisa. “Apa saya… masih bisa melanjutkan sekolah?” tanyanya pelan. Hampir seperti takut suaranya sampai ke telinga sendiri. Adrian menoleh perlahan. “Itu bagian dari kesepakatan.” Laras menelan ludah. “Kalau saya setuju… berarti semuanya akan sesuai janji?” suaranya ragu, seperti takut ia sendiri mendengar jawabannya. Adrian mengangguk tipis. “I keep my word.” Hening kembali menyelimuti ruangan. Laras menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan sisa keberanian yang sudah terkikis. Jemarinya mengepal di sisi tubuh, tapi getarannya tetap tak bisa ia sembunyikan. Baginya, ini mungkin gila. Tapi sejak malam itu, hidupnya memang sudah terbalik tanpa arah. “Sa-saya setuju,” ucapnya akhirnya, nyaris seperti hembusan napas. Adrian menatapnya lama, matanya tidak bergeser sedikit pun. Tak ada senyum, tak ada kemenangan di wajahnya hanya datar, seolah ini hanyalah satu langkah kecil dari rencana yang jauh lebih besar. “Good,” gumamnya singkat. Ia berjalan mendekat, langkahnya tenang tapi berat. Berhenti hanya beberapa meter di depan Laras. “Remember, you don’t get to back out halfway.” Laras hanya mengangguk, meski tenggorokannya terasa kering. Adrian lalu meraih meja di sampingnya, menekan tombol interkom dengan gerakan pelan dan penuh kendali, seakan waktu benar-benar miliknya. “Raka.” Nada suaranya berubah datar, tapi jelas mengandung perintah. “Get in here. Bring the papers. You know which ones.” Suara itu tenang, tapi tak memberi ruang untuk bertanya. Begitu tombol interkom dilepas, ruangan kembali tenggelam dalam keheningan. Hanya perintah. Sama seperti biasanya. Laras tetap berdiri di tempat, tubuhnya kaku. Kata-kata yang tadi keluar dari mulutnya seolah belum sempat ia cerna. Rasanya seperti baru saja ia menandatangani sesuatu yang tak terlihat, dan ia belum siap menanggung isinya. Waktu berjalan lambat. Suara detik jam di dinding terdengar jelas, setiap ketukannya seperti mengingatkan pada keputusan yang barusan ia buat. Beberapa menit kemudian, pintu diketuk pelan lalu terbuka. Seorang pria muda masuk, langkahnya cepat tapi terukur. Di tangannya ada map hitam. “Ini, Pak,” ucapnya sopan, menyerahkan berkas itu ke Adrian. Adrian menerimanya tanpa mengucapkan terima kasih, hanya membuka map tersebut dan menatap isinya sejenak sebelum duduk kembali. Laras masih di tempatnya, seperti penonton yang belum tahu kapan adegan berikutnya akan dimulai dan bagaimana perannya di dalamnya. “Duduk,” perintah Adrian pada Laras, suaranya tegas tapi tenang. Ia meletakkan berkas di hadapannya. “Baca sebelum tanda tangan. Pernikahan ini hanya berlaku selama dua belas bulan. Setelah itu, kita anggap selesai.” Sebelum Laras sempat menyentuh kertasnya, Adrian menambahkan sambil menyandarkan punggung di kursi, senyum tipis yang nyaris tak terlihat menghiasi wajahnya. “Don’t worry, sweetheart. It’s not like I’m asking for a lifetime commitment.” Laras mengangguk kecil, mencoba menelan rasa perih di dadanya. Ia membuka halaman pertama dengan tangan gemetar. Tulisan-tulisan hukum di depannya seperti berloncatan, membuat kepalanya berdenyut. Tapi ia memaksa matanya tetap mengikuti setiap baris. Ia harus. Ini hidupnya yang dipertaruhkan. Adrian sesekali meliriknya, lalu berkata datar, “Come on, it’s not rocket science. You’ll survive.” Lima menit terasa seperti selamanya. Laras akhirnya mengambil pulpen dari meja, lalu menandatangani lembar terakhir. Jemarinya basah oleh keringat, meninggalkan noda lembab di kertas. Adrian meraih ponselnya, jemarinya bergerak cepat di atas layar. Suara ketukan tipis terdengar di antara heningnya ruangan. Ia berhenti sejenak, lalu menatap Laras. “Lima ratus juta, bukan?” suaranya datar, seolah sedang membicarakan angka kecil. Laras menelan ludah, mengangguk pelan. Tenggorokannya terasa kering. Adrian memiringkan ponselnya, memperlihatkan layar transfer sekilas. Nominal besar itu terpampang jelas, membuat d**a Laras terasa lebih sesak dari sebelumnya. Ia tak tahu harus merasa lega atau justru semakin terjebak. “Satisfied?” tanyanya tanpa intonasi, matanya tak lepas dari wajah Laras. Nada bicaranya terdengar seperti pernyataan yang sudah tahu jawabannya, bukan pertanyaan yang butuh dijawab. Lalu, tanpa menunggu jawaban, ia menekan tombol kirim. Bip. Ia menurunkan ponselnya dan menatap Laras, tatapannya dingin seperti pisau yang baru diasah. “Cek ponselmu. Now.” Laras mengedip pelan, otaknya masih berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi. Dengan gerakan hati-hati, ia merogoh saku jas putihnya. Jemarinya gemetar saat menarik ponsel keluar. Layar menyala. Satu notifikasi baru muncul di bagian atas. Ia mengetuknya dengan ujung jari yang terasa nyaris mati rasa. Napasnya tercekat. Dunia seakan berhenti. Matanya membaca angka itu sekali… lalu sekali lagi, memastikan ini bukan salah lihat atau mimpi aneh. Tapi angkanya nyata. Uang itu benar-benar masuk, dalam hitungan detik. Adrian masih menatapnya. “Do we have a problem?” tanyanya pelan, nada suaranya seperti ujian yang jawabannya sudah jelas. Laras buru-buru menggeleng, menahan napas. “Good.” Adrian kembali merapikan dokumen ke dalam map. “Mulai hari ini, kau tinggal di unit apartemen yang akan disiapkan. You don’t go back to your old place. Clear?” “Y-ya…” suara Laras hampir tak terdengar. Ia bangkit dari kursinya, langkahnya goyah. Tubuhnya lelah, tapi hatinya lebih berat lagi. “T-terima kasih,” ucapnya lirih. Adrian tidak membalas. Ia sudah kembali duduk, membuka laptopnya. Jari-jarinya mengetik tanpa ragu, seolah pernikahan barusan hanyalah rapat singkat yang bahkan tak layak dicatat di agendanya. ** Koridor rumah sakit sepi. Laras melangkah pelan, masih meraba realitas. Di ujung lorong, Alma berdiri dengan tangan menyilang dan ekspresi cemas. “Kamu lama banget,” protesnya. “Aku kira kamu pingsan atau gimana…” Laras berusaha tersenyum, meski bibirnya terasa kaku. “Pak Adrian… ngasih keringanan soal biaya KOAS-ku.” Alma mengerutkan kening. “Serius? Tapi kok bisa sebaik itu ya? Baru kali ini aku lihat beliau sampai bantuin langsung.” Laras mengangkat bahu, menunduk. “Mungkin… karena aku tadi sempat cerita soal kondisi keuanganku.” Alma menepuk lengan Laras pelan. “Yah, yang penting kamu nggak keluar dari program. Nggak kebayang kalau harus lanjut sendiri.” Laras tersenyum kecil. Tapi dalam kepalanya, dunia seperti baru mulai runtuh perlahan, dari dalam. Laras tersenyum kecil, walau hatinya tetap berat. Udara terasa lebih dingin dari biasanya, padahal matahari masih menggantung terang di langit siang itu. Mereka berjalan perlahan di koridor rumah sakit, namun langkah Laras terasa seperti melayang. Dunia luar tampak sama, tapi hidupnya sudah berubah total hanya dalam beberapa jam terakhir. Ponselnya bergetar pelan. Ia meraih saku jas dan membuka layar. Ayah “Nak, kabarmu gimana di kota? Udah makan?” Laras terdiam. Napasnya tersendat sesaat. Pesan sederhana itu menusuk langsung ke dalam hatinya. Matanya memanas. Ia menggigit bibir, menahan air mata agar tak jatuh di depan Alma.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD