Bab 5

1370 Words
“Aku telepon Ayah dulu, ya. Kamu pulang duluan aja, aku nyusul,” ucap Laras pelan pada Alma yang sedang menunggu lift. Alma menatapnya sebentar, lalu mengangguk sambil tersenyum. “Oke. Jangan lama-lama, nanti busnya penuh.” Setelah Alma menghilang di balik pintu lift, Laras berdiri sejenak di lorong. Lampu-lampu putih rumah sakit terasa terlalu terang untuk matanya yang tiba-tiba panas. Ia menarik napas pelan, lalu melangkah ke arah sudut terdekat yang agak sepi, jauh dari suara langkah kaki dan dering telepon perawat. Tangannya gemetar saat meraih ponsel dari saku. Layar menyala, menampilkan nama Ayah. Laras menatap nama itu lama, seperti butuh waktu untuk mengumpulkan keberanian. Ujung jarinya menekan tombol call. Nada sambung berdering… sekali, dua kali, lalu terdengar suara yang sangat ia rindukan. “Hallo? Nak?” Suara Ayah begitu hangat, seperti selimut tipis yang melingkupi hatinya. D a da Laras langsung terasa sesak. “Iya, Yah… ini aku.” “Hah, akhirnya nelpon juga. Ayah sama Ibu tadi pagi baru ngomongin kamu. Ibu sampai mimpiin kamu semalam,” ucap Ayah sambil tertawa kecil. Tawa itu sederhana, tapi di telinga Laras terdengar seperti rumah dan tempat yang aman, yang membuatnya ingin pulang sekarang juga. Air matanya mengambang di pelupuk, tapi ia menahan agar suaranya tetap stabil. “Ibu… mimpiin aku?” tanyanya pelan. “Iya,” jawab Ayah, masih dengan nada hangatnya. “Katanya kamu pulang, bawa senyum lebar. Aneh, ya? Padahal udah lama kita nggak lihat kamu tersenyum seperti itu.” Kali ini, Laras tak bisa menahan bulir air mata yang jatuh. Di tengah hiruk pikuk rumah sakit, suara Ayah menjadi satu-satunya hal yang membuatnya merasa diingat dan dicintai. Laras tersenyum miris. “Mimpi apa, Yah?” “Katanya kamu lagi belajar di tempat tinggi banget. Terus kamu turun pakai tangga bambu.” Suara tawa ayahnya lagi-lagi terdengar. Tapi Laras hanya bisa terdiam. Tenggorokannya tercekat. “Kamu sehat kan, Nak? Udah makan?” “Iya… aku sehat, Yah. Tadi makan soto ayam… seger banget,” jawabnya, sambil memalingkan wajah ke arah dinding. Ia berusaha keras menyembunyikan suara yang mulai bergetar. “Wah, enak banget tuh. Di sini paling cuma ada sayur bayam, kayak biasa,” sahut Ayahnya, nada suaranya ringan, tapi hangat. Laras menggigit bibirnya, menunduk. Air matanya lolos, jatuh pelan dan membentuk titik kecil di permukaan ponsel yang ia genggam. “Ayah bangga sama kamu. Kamu kuat. Pintar. Bisa ngelewatin semuanya,” kata Ayah lagi, dengan suara yang lembut tapi tegas, seperti sedang meneguhkan hati anaknya dari jauh. “Yah…” bisik Laras, suaranya hampir tak terdengar, tenggelam di antara tarikan napas yang berat. “Laras kangen…” Hening sejenak di ujung sambungan. Lalu terdengar helaan napas Ayahnya yang panjang, disusul suara yang sedikit bergetar, “Ayah juga kangen… lebih dari yang kamu kira.” Laras menutup mata. Di tengah hiruk pikuk rumah sakit, kalimat itu terasa seperti pelukan yang melintasi jarak. Membuatnya ingin pulang saat itu juga. “Hahaha, Ayah juga kangen. Tapi kamu fokus dulu di sana. Jangan banyak mikir soal rumah. Di sini semua baik-baik aja.” Padahal tidak ada yang baik-baik saja. Tidak untuk Laras. Tidak setelah semua yang ia lalui. Kata-kata Ayahnya terasa seperti selimut tipis yang mencoba menutupi badai besar, tapi Laras tahu badai itu masih ada, di rumah, di hatinya, di hidupnya. “Aku… aku bakal nelpon lagi nanti, ya. Mau siap-siap pulang ke kontrakan,” ujarnya pelan, menahan suaranya agar tetap terdengar biasa. “Oke, Nak. Ayah doain kamu sehat terus. Jangan lupa makan. Jangan lupa istirahat.” Laras mengangguk, meski tahu Ayahnya tak akan melihat gerakan itu. “Iya, Yah. Aku sayang Ayah… dan Ibu.” Sejenak, ada hening yang hangat di ujung sambungan. “Ayah juga sayang kamu, Nak.” Begitu telepon terputus, Laras memejamkan mata rapat-rapat. D a da terasa penuh, seolah menahan sesuatu yang terlalu berat untuk disimpan sendirian. Air matanya jatuh deras, tapi tanpa suara. Hanya bahunya yang sedikit bergetar, sementara ia berdiri di sudut rumah sakit, mencoba tetap tak terlihat di tengah orang-orang yang lalu-lalang. ** Langit mulai memerah ketika Laras berdiri di halte depan rumah sakit, menunggu bus sore yang akan membawanya ke kontrakan. Jemarinya menggenggam tas selempangnya erat-erat. Seisi kepalanya penuh dengan hal yang belum ia pahami sepenuhnya, dan sekarang, ia bahkan belum tahu bagaimana menjelaskan semuanya kepada dirinya sendiri, terlebih ke orang tuanya. Suara mesin mobil berhenti tepat di depannya. Sedan hitam itu mengilat di bawah cahaya sore. Kaca jendela depan perlahan turun, memperlihatkan seorang pria setengah baya dengan seragam rapi dan topi sopir. “Selamat sore, Nona Laras,” ucapnya ramah, membungkuk sedikit dari balik kemudi. “Pak Adrian meminta saya menjemput Non.” Laras menegang. “M-menjemput?” “Ya, beliau ingin Non Laras segera pindah ke tempat tinggal yang telah disiapkan.” Ia menoleh cepat ke kanan dan kiri, khawatir ada rekan KOAS lain yang melihatnya naik mobil mewah itu. Namun, koridor halte sore ini kosong. Hanya ada angin yang menggerakkan ujung jas putihnya. Perlahan, ia menarik napas dan membuka pintu mobil. Aroma kulit sintetis dan pendingin udara menyambutnya saat ia duduk. “T-tapi… saya perlu ke kontrakan untuk mengambil baju-baju saya, Pak,” ucap Laras ragu, tangannya meremas tali tas di pangkuannya. Sopir itu, dengan nada tetap sopan, menjawab, “Pak Raka bilang semua sudah ada di apartemen, Non. Jadi Nona Laras tinggal datang saja.” Ia sempat melirik Laras melalui spion tengah. Pandangannya sekilas, tapi cukup untuk membuat Laras merasa seperti sedang diawasi. Mobil bergerak mulus meninggalkan halte, melaju di antara lalu lintas sore yang mulai padat. Laras duduk di kursi belakang, tangannya tak lepas dari tali tasnya. Sesekali ia melirik ke luar jendela, melihat gedung-gedung rumah sakit perlahan menghilang dari pandangan. “Pak… apartemennya jauh, ya?” tanyanya pelan. Sopir itu tersenyum tipis lewat spion tengah. “Tidak terlalu, Non. Sekitar lima belas menit.” “Oh…” Laras menggigit bibir, lalu memberanikan diri lagi, “Itu… apartemennya seperti apa?” “Nyaman, Non. Semua sudah disiapkan.” Jawabannya singkat, tapi suaranya tetap sopan. Laras menunduk, lalu kembali bertanya, “Bapak sudah lama kerja sama Pak Adrian?” Sopir itu melirik sebentar lewat spion, lalu menjawab, “Cukup lama.” Ia tidak menambahkan apa-apa lagi, dan Laras tidak tahu apakah ia memang tidak mau cerita atau memang perintahnya hanya itu. Sepanjang perjalanan, yang terdengar hanya suara mesin dan ritme wiper sekali-sekali membersihkan kaca depan dari sisa gerimis. Laras menatap bayangannya di kaca jendela dan wajahnya terlihat letih, matanya sayu. Sesekali ia merasa sopir itu meliriknya dari spion, tapi hanya sebentar, seolah memastikan ia baik-baik saja. Tak lama kemudian, mobil berbelok ke jalan yang lebih sepi, melewati deretan pohon dan lampu jalan yang mulai menyala. Sesampainya di apartemen, pintu otomatis terbuka dengan bunyi lembut. Suasana di dalam hangat dan mewah, dengan pencahayaan temaram yang elegan. Seorang petugas keamanan menyambut, lalu membiarkan sopir mengantar Laras masuk. Laras membeku sejenak di ambang pintu. Adrian berdiri di tengah ruangan, mengenakan kaus hitam yang membingkai bahunya yang tegap, dan celana panjang abu-abu gelap. Meski berpakaian santai, kehadirannya masih tenang, tapi penuh intimidasi. Matanya bertemu milik Laras. Datar. Tanpa senyum. “So you came,” ucapnya pelan, seperti bukan pertanyaan lebih seperti pengakuan atas sesuatu yang sudah pasti. Laras hanya mengangguk pelan. Adrian mengalihkan pandangan, lalu memberi isyarat dengan dagunya ke arah wanita paruh baya yang berdiri tak jauh di belakangnya. “Dia akan tunjukkan kamarmu,” katanya singkat, lalu berjalan menjauh tanpa menunggu jawaban. Laras mengangguk, lalu mengikuti wanita itu melewati lorong panjang apartemen yang tenang. Langkah Laras terhenti. Pandangannya tertambat pada salah satu bingkai di dinding. Sebuah foto. Adrian dan Alma. Berdiri berdampingan di sebuah taman. Tersenyum. Terlihat dekat. Terlalu dekat. Laras menegang. Jantungnya berdetak cepat dan tidak beraturan. Napasnya tercekat di tenggorokan. “Bibi…” tanyanya lirih, tanpa berpaling dari foto itu. Bibi Ina menoleh lembut. “Iya, Neng?” Laras menelan ludah, suara seraknya nyaris tak terdengar. “Itu… Alma, ya? Sama Pak Adrian?” Bibi Ina mengikuti arah pandang Laras, lalu mengangguk dengan senyum hangat. “Iya. Itu foto lama. Mereka memang dekat.” Laras membeku. Matanya tetap terpaku pada foto itu. “Dekat… maksudnya?” “Oh, ya memang… dekat. Kan Alma anaknya Pak Adrian.” Dunia Laras seperti berhenti berputar. Tubuhnya gemetar pelan. Kepalanya mendadak terasa ringan. Alma… anak Pak Adrian?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD