Restoran itu mulai ramai. Suara sendok beradu dengan gelas, percakapan dari meja-meja lain bercampur dengan aroma kopi dan roti panggang. Namun, di sudut ruangan yang agak tersembunyi, Adrian dan Rio masih larut dalam obrolan serius. Adrian duduk tegak, jemarinya terlipat di atas meja, sorot matanya lurus menatap Rio. Sementara Rio, dengan gaya khasnya, duduk agak menyender, satu lengan terlipat di d ad a dan tangan lain memainkan sendok kecil, seolah tidak bisa diam. “Kedengarannya masuk akal, bro,” ujar Rio akhirnya, mengangguk pelan. “Lo bawa Laras ke pelosok itu, berarti dia aman dari pengawasan Dharma sama orang-orangnya. Gue setuju. Tapi pertanyaannya sekarang…” ia berhenti sebentar, lalu mencondongkan tubuh, “…kapan lo bisa gerakin dia ke sana?” Adrian mengetuk meja pelan dengan

