Sore itu langit mulai meremang. Cahaya oranye senja menerobos masuk lewat kaca jendela kamar Laras, membiaskan bayangan lembut di dinding. Suasana kamar itu begitu sederhana, lemari kayu tua, ranjang dengan sprei bersih, dan koper hitam terbuka di atas meja kecil. Di sisi ranjang, Laras duduk sambil melipat beberapa baju. Gerakannya pelan, wajahnya sendu, seperti orang yang masih berusaha meyakinkan diri kalau semua ini nyata. Di sampingnya, berdiri Mbak Rini, perempuan yang sejak beberapa bulan terakhir menjadi sosok penolong setia. Tangannya cekatan memasukkan lipatan baju ke dalam koper, namun matanya berkaca-kaca. “Rasanya kayak mimpi, Nyonya,” suara Mbak Rini bergetar lirih. Tangannya sibuk melipat baju Laras, tapi matanya berkaca-kaca. “Baru aja kita mulai akrab, baru aja saya bisa

