Too Young To Marry – 03

1547 Words
“Daffa...!” “Daffa...!” “Daffa...!” Suara teriakan para siswi yang sedang menyemangati Daffa terdengar nyaring. Saat ini Daffa tengah melakukan pertandingan basket melawan tim basket SMA Adiyata yang datang untuk melakukan laga persahabatan. Seluruh tribun tempat duduk yang ada di sekeliling lapangan basket itu sudah dipadati oleh penonton. Mayoritas dari mereka tentu saja berasal dari SMA Nusa Bangsa yang menjadi tuan rumah. Sedangkan penonton dari SMA Adiyata hanya sedikit saja. Suara dukungan mereka bahkan tenggelam ditengah euforia para gadis yang meneriakan nama Daffa. Sosok Daffa kini terlihat bermain dengan gesit di lapangan. Butiran pelih menetes dari wajahnya, tatapan matanya begitu tajam saat mengecoh lawan. Senyumannya ketika berhasil memasukkan bola ke keranjang membuat para siswi kembali menjerit dan kesulitan bernapas. Di antara kerumunan itu, Mita terlihat duduk paling dengan dengan sebuah kamera di tangannya. Sedari tadi dia sibuk merekam Daffa yang sedang bertanding. Daffa sendiri juga mengetahui bahwa dirinya sedang di rekam. Sesekali dia melihat ke arah kamera dan melambaikan tangannya. Sesekali dia juga mengedipkan mata dan menjulurkan lidah dengan ekspresi yang genit. “Aaaa Daffa... sumpah rahim gue menghangat kalo liat dia tersenyum,” ucap seorang siswi yang duduk di sebelah Mita. Mita yang tadinya fokus merekam pun tersedak dan menatap siswi itu perlahan. “Excuse me... tadi lo ngomong apa?” Siswi itu hanya berdehem dan memutar bola matanya malas. “Gue nggak ngomong apa-apa, kok.” Siswi itu bernama Yasmine. Dia memang adalah salah satu cewek yang menjadi musuh bebuyutannya Mita. Sejak awal Yasmine selalu menggoda Daffa. Padahal Yasmine tahu bahwa Daffa dan Mita sudah berpacaran. Daffa sendiri juga sudah pernah memperingatkan Yasmine untuk tidak mengganggunya. Namun sepertinya cewek blasteran Indo-Perancis itu tidak peduli dan terus saja tebar pesona. Dia bahkan pernah terang-terangan mengatakan pada Mita kalau dia akan merebut Daffa darinya. “Udah, Ta, jangan diladenin.” Seorang siswi berkacamata dengan rambut keriting yang dikepang berbisik ke telinga Mita. “Tapi ucapannya tadi aneh banget, Ca. Jijik banget tau nggak.” Mita kembali menatap Yasmine dengan sudut matanya. Ocha menghela napas panjang. Dia memperbaiki posisi kacamatanya, lalu menepuk pundak Mita pelan. “Udah biarin aja... orang kaya dia akan semakin menjadi-jadi kalau dilawan. Kamu seperti nggak tau dia aja.” Mita mendesah pelan, lalu kembali mengangkat kameranya untuk merekam Daffa. Ocha benar, berhadapan dengan cewek tengil itu hanya akan menguras energinya saja. “Wuuuuuu... Lihat nggak sih, pas tadi dia lompat? Perutnya keliataaaaaaan. Ya ampun sexy banget.” Yasmine lagi-lagi mengoceh bersama teman-teman genk-nya. “Iya....” “Gue meleleh anjir!” Yasmine dan teman-temannya terus saja membicarakan Daffa. Nada suaranya juga sengaja lebih keras agar Mita bisa mendengarnya. Memang jarak di antara mereka hanya dibatasi oleh seorang siswa culun yang sedari tadi hanya diam sambil menatap fokus pada pertandingan yang sedang berlangsung. “Ta... tahan, ta!” Ocha kini mulai khawatir. Mita meniup wajahnya perlahan, lalu menatap pada Yasmine dengan tatapan sinis. “Eh... lo jadi cewek kok keganjenan banget sih?” Yasmin mencibir dengan mata melotot. “Kok lo yang sewot? Halah biasa aja kali....” “Dia itu cowok gue!” bentak Mita. Suara Mita berhasil membuat perhatian semua penonton yang ada di dekatnya menjadi teralihkan. Mereka semua tidak lagi fokus pada jalannya pertandingan. Sebagian malah mulai saling berbisik dan memberitahu teman di sebelahnya bahwa pertandingan yang lebih seru akan segera di mulai. “Eh itu si Mita sama si Yasmine sepertinya bakalan perang badar!” “Kayaknya bakalan seru nih!” “Siapin handphone kalian guys... pasti ada adegan jambak-jambakan lagi!”  Suara bisik-bisik terdengar pelan, Mita bisa mendengar semuanya, tapi dia tidak peduli. Dia langsung berdiri dan melangkah pelan mendekati Yasmine. “Gue peringatin ya, sama lo... Daffa itu pacar gue!” Yasmine balas menatap tajam sambil melipat tangannya di dada. “Baru pacar aja udah songong banget lo! jaman sekarang ngerebut suami orang aja gampang... apalagi cuma pacar.” Mita mengepalkan kedua tangannya menahan emosi. “Lagian lo juga nggak tau diri banget sih, Ta... lo itu sebenernya nggak pantes buat cowok seperti Daffa!” mulut nyinyir Yasmine kembali mengaung. Mita tidak bisa lagi membendung emosinya dan langsung menjangkau kerah seragam Yasmine. “Apa lo bilang...!?” “Wooooooo....!” “Peraaaang dimulaaaaai!!” Suara teriakan siswa dan siswi di antara mereka pun terdengar bersahutan. Sebagian dari mereka sudah mengeluarkan handphone-nya dan bersiap merekam pertempuran akbar itu. Yasmine mendelik, lalu mengempaskan tangan Mita yang memegang kerah bajunya dengan kasar. “Gue bilang... LO NGGAK PANTES BUAT DIA!” Mita memejamkan matanya sejenak. Setelah itu matanya kembali terbuka seiring jemarinya yang langsung menjambak rambut Yasmine. Tidak tinggal diam, Yasmine pun langsung melakukan serangan balasan. Dia juga menjangkau rambut Mita dan menariknya keras. Perkelahian itu pun tidak lagi terelakkan. Bukannya melerai, para siswa yang ada di sana malah menyoraki Mita dan Yasmine untuk melanjutkan pertarungannya. “Lepasin nggak!” teriak Yasmine. “Lo yang harus lepasin dasar anak setan!” maki Mita. Tidak puas dengan saling menjambak, kedua siswi yang merupakan sosok terkenal di sekolah itu pun saling mencakar satu sama lain. Umpatan-umpatan kasar juga terlontar silih berganti. Kehebohan di tepi lapangan itu pun akhirnya manarik perhatian semua orang termasuk para pemain basket yang sedang bertanding. Bola yang tadi sibuk diperebutkan kini menggelinding pelan dan tidak ada lagi yang mempedulikannya. Sebagian besar penonton juga berhampuran ke titik pertempuran itu. Daffa yang masih berada di tengah lapangan pun menatap heran. Dia memegangi lututnya dengan napas yang tersengal-sengal. Tidak lama kemudian seorang siswa berkulit hitam manis berlari mendekati Daffa dengan wajah rusuh. “M-Mita...,”ucap siswa itu dengan napas sesak. “M-Mita? Mita kenapa?” tanya Daffa. “Mita berantem lagi sama Yasmine!” “APA...!?” Daffa pun langsung berlari sekuat tenaganya. Dia meringsek menembus kerumunan itu tanpa peduli pada sebagian siswa yang oleng dan tersungkur karena dorongannya itu. Setelah bersusah payah menembus lapisan manusia, akhirnya Daffa pun bisa melihat sosok Mita dan Yasmine yang saat ini sedang bergulat di lantai. Mereka saling tinding, berputar-putar dan terus menyerang dengan membabi buta. Sampai kemudian Yasmine berhasil membungkam Mita. Dia duduk diatas perut Mita dan bersiap melayangkan sebuah pukulan. Melihat hal itu Daffa pun terkesiap dan langsung berteriak keras. “HENTIKAAAAAN...!!!” Hardikan maha dahsyat itu mampu membuat keadaan menjadi hening seketika. Sunyi, benar-benar tenang. Mita dan Yasmine pun juga berhenti dan menatap Daffa yang sudah berdiri di depan mereka. Daffa pun menatap tajam. Seketika itu juga Yasmine bangun dari posisinya dan menatap Daffa sekilas. “Cewek lo yang udah nyerang gue duluan,” ucap Yasmine. Tidak terima dengan ucapan itu, Mita pun juga segara bangun dan mendekati Daffa. “Nggak! dia yang dari awal sengaja mancing-mancing emosi aku!” “Eh... elo yang duluan jambak rambut gue,” sergah Yasmine. “Elo yang duluan mancing emosi gue!” balas Mita. Kedua gadis itu pun kembali ribut. Daffa memejamkan matanya sejenak. Kedua pangkal gerahamnya kini beradu kuat. Setelah menghela napas yang panjang dan cukup lama, dia pun kembali membuka mata, meraih pergelangan tangan Mita dan menyeretnya pergi dari sana dengan wajah yang merah padam. “S-sakit... kamu kenapa narik aku?” Daffa tidak menghiraukan ucapan Mita dan terus menyeret gadis itu ke sudut sekolah yang sepi. Mita pun tidak lagi berkata-kata. Dia tahu Daffa pastia kan marah padanya. Dia tahu Daffa pasti akan mengomelinya lagi karena memang terakhir kali Daffa sudah memberi peringatan agar Mita tidak lagi terpancing oleh Yasmine yang selalu mencari gara-gara. Setiba di pojokan gedung kelas yang sepi, Daffa pun melepaskan tangan Mita dan berdiri membelakangi Mita seraya berkacak pinggang. Helaan napas Daffa yang kasar kini terdengar jelas. Butiran keringat masih mengalir deras di belakang lehernya. Mita pun kini tertunduk dan tidak berani menatap Daffa. Cukup lama mereka terdiam dengan posisi yang seeprti itu. Hingga kemudian Mita menatap Daffa yang masih membelakanginya itu. “D-Daffa....” Mita memanggil pelan. Daffa mengembuskan napas gusar, lalu berbalik pelan. Tatapan matanya tampak dipenuhi oleh amarah yang siap meledak. Daffa pun baru akan membuka mulutnya, tapi Mita langsung bersuara dengan air mata mengalir pelan di pipinya. “Bisa nggak sih marahnya nanti aja....” ucap Mita lirih. Deg. Daffa terhenyak melihat Mita yang kini kesulitan menahan tangis. “Aku tau kamu marah... aku tau kamu kecewa karena aku masih aja seperti itu, tapi... bisa kan, marahnya nanti aja?” Mita kembali bersuara sambil terisak. Seketika emosi Daffa yang tadi sudah berkumpul di ubun-ubun sirna seketika. Dia menatap Mita perlahan. Tatapan mata yang tadi ganas, kini berubah lembut. Namun tatapan teduh itu malah membuat suara tangis Mita terdengar lebih keras lagi. Daffa ppun mendekat, lalu menyeka air mata Mita dengan jemarinya. Tatapan Daffa lalu beralih pada rambut Mita yang sudah kusut dan berantakan. Daffa pun merapikannya menggunakan tangan. Dia juga menyingkirkan debu dan dedauanan yang melekat di rambut Mita. “Udah nangisnya,” ucap Daffa lembut. “Huaaaaaa....!!!” Daffa terkejut karena Mita malah menangis lebih keras lagi. Dia pun mendadak panik dan berusaha mendiamkan Mita yang menangis sesegukan itu. “Kamu kenapa hey? Kok nangisnya malah makin keras?” tanya Daffa sambil merunduk agar dia bisa melihat wajah Mita. Mita masih kesulitan menghentikan tangisnya. Daffa pun terus berusaha menenangkan Mita. Dia membawa Mita ke teras kelas dan mendudukkannya di sana.  Setelah itu Daffa berlari pergi, tidak lama berselang dia kembali sambil membawa sebotol air mineral di tangannya. “Ini minum dulu.” Daffa membukakan botol minum itu dan menyerahkannya pada Mita. “Makasih,” ucap Mita dengan suara serak. Daffa beralih duduk di samping Mita yang sedang meneguk air mineral itu. Jemari Daffa pun kembali sibuk merapikan rambut Mita yang menutupi wajahnya. “Kenapa kamu nangis gitu? Biasanya kamu berantem sama Yasmine nggak pernah nangis? Tanya Daffa. Mita menelan ludah, “Aku nangis bukan karena dia.” Daffa pun menatap heran. “Teruuus?” “A-aku nangis karena takut akan dimarahin sama kamu.” Daffa terdiam. Sedetik kemudian dia langsung memalingkan wajah dan menyembunyikan senyumnya. Baginya jawaban Mita itu terdengar lucu. Dia merasa gemas dengan tingkah gadis yang sudah dia pacari selama hampir dua tahun itu. Setelah mengatur mimik wajahnya menjadi sangar, Daffa pun kembali menatap Mita. “Untung kamu nggak marah,” ucap Mita lagi. Daffa berdehem pelan. “Aku bukannya nggak marah! Tapi marahnya ditunda sesuai permintaan kamu! Jadi tunggu aja. Aku tetap akan marahin kamu karena kejadian ini.” “Mudah-mudahan kamu lupa.” Mita mencibir dengan mata yang masih bengkak karena menangis. Daffa tertawa pelan, kemudian menatap tajam. “Aku tidak akan lupa.” _ Bersambung...      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD