Too Young To Marry – 04

1591 Words
“Masa ini aja kamu nggak ngerti, sih?” Mita mendengkus kesal. Daffa menggaruk-garuk kepalanya. “Aku udah coba... tapi tetep aja nggak ketemu hasilnya.” Saat ini Mita sedang menajarkan Daffa salah satu rumus matematika yang dia tidak mengerti. Mereka belajar di sebuah taman tempat keduanya biasa bermain. Daffa dan Mita duduk di reremputan yang sudah di alasi dengan kertas koran. Di sekitar mereka juga terlihat aneka makanan ringan dan snack  yang tadi dibawa oleh Daffa. “Aku ajarin sekali lagi, ya!” ucap Mita. Mita kembali berkoar-koar menjelaskan panjang lebar. Suaranya terdengar nyaring persis seperti guru SD yang menerangkan pelajaran kepada muridnya. Ekspresi Mita juga sangat lucu, Daffa bahkan kesulitan menahan tawa. Bukannya memerhatikan rumus yang diterangkan Mita, dia malah fokus menatap wajah gadis pujaan hatinya itu. Meyadari Daffa yang malas asyik senyum-senyum sendiri, Mita pun langsung memukuli kepalanya menggunakan puplen. “Aaaw...!” Daffa langsung menjerit kesakitan seraya mengusap-usap jidatnya. “Kamu di ajarin malah senyam senyum sendiri.” “Sakit tau, Ta... kalau aku geger otak gimana? kamu sering mukulin kepala aku sih, makanya otakku jadi makin lemot.” Daffa memanyunkan bibirnya. “Sini coba lihat!” Mita menarik Daffa untuk mendekat. Mita mendekatkan wajahnya untuk melihat, ternyata jidat Daffa memang memerah. Mita upun meniupnya pelan seraya kembali mengomel. “Kamu sih, bikin aku emosi... kalo kamu jadi anak yang baik, aku nggak akan mungkin mukulin kamu.” Daffa hanya tersenyum. Tatapannya kini tertuju pada bibir Mita yang masih meniup jidatnya. Tidak lama kemudian Daffa mengangkat wajahnya. Sontak bibir mereka hampir beradu. Mita melotot dengan bibir monyongnya yang  tadi masih meniup. Sedangkan Daffa kini tersenyum pelan. Deg. Mita tertegun sekian detik hingga kemudian dia mendorong Daffa sekuat tenaga dengan pipi yang sudah terasa panas. “Kamu apa-apaan sih!” bentak Mita sambil bangun berdiri dari duduknya. Daffa yang sudah tergolek di atas rumput malah tertawa. Mita pun merasa kesal dan melangkah pergi. Secepat itu juga Daffa bangun dan segera mencekat langkah pacarnya itu. “Kok ngambek, sih?” tanya Daffa dengan tawa yang masih sesekali terdengar. Mita tidak menjawab. “Maaf deh... lagian aku nggak ngapa-ngapain kamu, kok.” Daffa kembali menarik Mita ke tempatnya semula. “Aku nggak suka, ya... kalo kamu becanda seperti itu,” ucap Mita. “Iya maaf... aku bakalan nepatin janji aku kok. Pokoknya kita menjalin hubungan yang sehat dan suci, gitu kan?” Mita mengangguk pelan dan kembali duduk di tempatnya. Ya, Mita dan Daffa memang berkomitmen untuk menjaga batasan-batasan dalam hubungan mereka. Kontak fisik yang mereka perbolehkan hanyalah sebatas berpegangan tangan saja. Sejauh ini mereka memang tidak pernah melanggar aturan yang mereka buat sendiri itu. Mita tidak ingin berpacaran seperti anak muda jaman sekaraang yang sering diluar batas yang bahkan bisa menyebabkan insiden seperti hamil di luar nikah. Di sisi lain, Daffa juga tidak ingin merusak perempuan yang dicintainya. Bagi Daffa mencintai sebelum menikah adalah menjaga. Dia harus menjaga Mita hingga dia memilikinya kelak. “Udah ayo lanjut belajarnya,” ucap Mita. Daffa malah membaringkan tubuhnya dan beralih menatap awan yang cerah, dia mengalas kepalanya dengan kedua telapak tangan dan memejamkan matanya sejenak. “Aku capek... mau istirahat dulu agak 10 menit.” Mita mendesah pelan. Tapi kemudian dia beralih menatap wajah Daffa yang ebrbaring tepat di sampingnya itu. Kedua sudut bibir Mita pun terangkat pelan. Dia memerhatikan setiap inci wajah Daffa dengan tatapan lembut. Perlahan jemari Mita mulai mengawang di atas wajah itu. Jemarinya bergerak-gerak di alis, hidung, mata dan juga bibir Daffa. Sampai kemudian tiba-tiba Daffa menangkap jemari itu dan menggenggamnya erat. Deg. “Ingat ya! kamu belum boleh seperti itu.” ucap Daffa seraya membuka mata. Mita menarik tangannya dari genggaman Daffa dengan perasaan malu.  Padahal Daffa memejamkan matanya, tetapi kenapa dia tahu apa yang Mita kerjakan? Daffa kembali bangun, kemudian memeluk lututnya sendiri. Semantara Ara yang duduk di sebelahnnya kini juga melakukan hal yang sama. Semilir angin pun membelai wajah mereka dengan lembut. Tatapan mereka berdua kini tertuju pada sepasang suami istri yang tengah bermain dengan anaknya di ujung sana. Mita dan Daffa pun memerhatikan pemandangan itu lekat-lekat. Mereka tersenyum kala melihat bocah itu berlarian mengejar ayah dan ibunya. Tak lama kemudian Daffa dan Mita pun saling pandang, lalu kompak teratwa. “Kamu mikirin apa?” tanya Daffa. Mita menggeleng pelan. “Aku nggak mikirin apa-apa, kok.” “Yakin?” Daffa menatao tak percaya. Mita tersenyum malu, tatapannya kembali tertuju pada keluarga yang sedang bermain itu. “Apa nanti kita juga akan seeprti mereka?” Daffa pun kembali melayangkan pandangannya ke sana. “Tentu saja.” Kedua anak muda itu pun larut dalam lamunan panjang. Binar mata mereka menyiratkan keinginan yang sama. Lama sekali mereka terpaku melihat pemandangan yang kini membuat mereka merasa iri itu. Sampai akhirnya, Daffa menatap Mita dan Mita pun juga balas emnatapnya. “Ada apa?” tanya Mita. Daffa tersenyum tipis. “Tiba-tiba aku menjadi semakin tidak sabar.” “Mmm... kamu tidak sabar, tapi kamunya malah malas belajar. Kalau nanti aku lulus dan kamu nggak lulus gimana?” Mita mencibir pelan. Daffa termenung sesaat. Setelah itu dia memperbaiki posisi duduknua, mengambil buku pelajaran yang tadi dia lempar sembarangan dan menatap Mita dengan sorot mata tekad. “Ayo ajari lagi! aku akan belajar yang rajin kali ini!” _ Langit senja berwarna jingga keemasan menemani langkah Daffa yang pulang ke rumahnya. Hari ini dia merasa senang karena bisa menghabiskan waktu bersama Mita. Senyum diwajahnya masi tergurat jelas. Bersama senja, Daffa mulai membayangkan jika Mita sudah menjadi istrinya kelak. Tentu akan menyenangkan bukan? Mereka akan bersama selamanya. Daffa bisa memiliki Mita seutuhnya. Tidak ada lagi batas yang harus dijaga. Tidak ada lagi jarak yang kerap memisahkan. Daffa benar-benar tidak sabar menanti hingga moment itu datang. Senyum Daffa pun perlahan surut ketika dia sudah sampai di depan rumahnya. Segala kesenangan yang tadi memenuhi ruang hatinya seketika menguap saat memandang rumah itu. Bagi kebanyakan orang rumah adalah tempat pulang terbaik. Rumah adalah tempat ternyaman untuk melepas penat, untuk berlindung. Namun tidak bagi Daffa. Baginya rumah itu terasa seeprti neraka karena pertengkaran orang tuanya yang tidak pernah berujung. Daffa pun merasa berat melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam rumah. Dia mendorong pintu itu dengan pelan. Sunyi. Rumah itu benar-benar sepi. Ketika memasuki ruang keluarga, Daffa pun terkejut melihat konsisi ruangan itu yang sudah hancur dan berantakan. Meja kaca berbentuk bundar itu pecah berkeping-keping di lantai. Vas bunga yang sebelumnya menghiasai lemari TV juga hancur tak bersisa. Daffa bahkan harus menjinjit langkah agar dia tidak menginjak pecahan kaca, Pemandangan seperti itu memang sudah menjadi suatu hal yang biasa baginya. Daffa tidak lagi memedulikannya dan ingin segera masuk ke dalam kamar. “Daffa...!” Langkah Daffa terhenti begitu suara itu memanggilnya. Daffa menatap ke ruangan yang gelap itu dan melihat api rokok yang menyala. Tidak lama kemudian lampu ruang makan itu pun menyala dan Daffa melihat sang Bunda yang duduk di sana dengan asap rokok mengepul di wajahnya. “Ayo sini sebentar!” Daffa menelan ludah, tapi akhirnya dia menurut dan duduk di depan Bundanya itu. Daffa bahkan tidak mau menatap wajah ibunya itu sama sekali. Hal yang paling dibenci Daffa adalah melihat sang bunda merokok atau meminum minuman beralkohol setiap kalia dia bertengkar dengan sang ayah. “A-ada apa?” tanya Daffa. “Bagaimana dengan sekolah kamu?” tanya Bunda. “Semuanya baik-baik saja.” “Apa kamu belajar dengan baik untuk mempersiapkan Ujian Nasional?” Daffa mengangguk pelan. Sang Bunda menghela napas sejenak, lalu mematikan puntung rokoknya ke asbak. “Lalu apa rencana kamu selanjutnya? Apa kamu sudah memikirkan di mana kamu ingin kuliah beserta jurusannya. Daffa terdiam dan kesulitan untuk menjawab. Sang Bunda pun kini menatap heran karena Daffa adalah anak yang mempunyai rencana yang matang. Pertanyaan seperti itu harusnya bisa dijawan Daffa dengan mudah, tapi dia malah terpaku membisu sambil menatap jemarinya yang kini saling berpilin di bawah meja makan. “Ada apa?” tanya Bunda lagi. “S-sebenarnya aku berencana untuk tidak kuliah.” Deg. Daffa akhirnya bisa mengatakan hal itu. Kini detak jantungnya pun berpacu cepat. Dia bersiap menunggu respon dari sang bunda sambil menundukkan kepalanya lebih dalam lagi. “Kamu tidak ingin kuliah?” “I-iya.” Hening. Awalnya Daffa mengira sang bunda akan murka dan emmarahinya. Tetapi sang bunda ternyata hanya diam dengan helaan napas yang terdengar berat. Sang bunda memejamkan matanya sejenak dan kemudian baru menatap putra tunggalnya itu lekat-lekat. “Lalu apa rencana kamu kalau tidak ingin melanjutkan kuliah? Apa kamu mau membuka usaha? Atau kamu mau melamar pekerjaan dengan bermodalkan ijazah SMA?” tanya Bunda seraya kembali mengapit sebatang rokok di bibirnya. Daffa meneguk ludah, lalu mengepalkan tangannya kuat-kuat. “Aku ingin menikah, Bunda.” Jleb. “Uhuk... uhuk....” sang bunda yang baru saja emmatik rokoknya langsung tersedak karena menelan asap itu. “A-apa kamu bilang?” Daffa mengangkat wajahnya perlahan dan memberanikan diri menatap wajah sang bunda. “Aku ingin menikah.” Sang bunda langsung membuang rokoknya ke lantai dengan gusar. Dia lalu mengembuskan napas gusar, menyapu wajahnya dengan telapak tangan dan menatap Daffa dengan tajam. “Apa kamu sudah gila, ha! apa kamu pikir pernikahan adalah hal semudah itu? aku tidak melihat apa yang terjadi pada Bunda dan Ayah kamu! K-kamu baru mau lulus SMA dan keinginan kamu adalah menikah?” “Memangnya apa salahnya? Aku merasa sudah siap dan mampu,” jawan Daffa. Sang Bunda tertawa dan kemudian menggeleng pelan. “Lalu kamu ngasih makan anak orang pakai apa nanti? Jangan sampai kamu berakhir seperti ayah kamu Daffa! Jangan sampai kamu menjadi lelaki yang tidak bertanggung jawab nantinya!” “Cukuuup...!” Daffa bangun dari duduknya seraya memukul meja itu dengan keras. Sang bunda pun menatap nanar. Itu adalah pertama kalinya dia melihat sang anak marah seperti itu. Daffa menatap tajam dengan bibir bergetar menahan emosi. Daia benar-benar tidak terima disama-samakan dengan sang ayah yang memang tidak bertanggung jawab. Sang ayah memang seperti itu. Dia melepaskan tanggung jawabnya sebagi tulang punggung keluarga. Dia juga tidak pernah berusaha untuk mendapatkan uang. Daffa pun mengerti bahwa itu jugalah sumber pertengkaran di rumah itu setiap hari, namun... Daffa tidak mau seperti itu. Dia tidak ingin seperti ayahnya dan tidak akan pernah seperti itu. “Kamu harus melanjutkan pendidikan kamu dan mendapatkan pekerjaan. Dengan begitu kamu akan menjadi lelaki yang bertanggung jawab nantinya. Jangan lagi berpikiran konyol seperti itu dan kembalilah pada kenyataan,” sang bunda berucap lirih kemudian bangun dari duduknya. Daffa pun menatap nanar. Hingga kemudian dia berteriak hingga membuat langkah bundanya terhenti. “TIDAAAAK...!!! AKU TIDAK AKAN SEPERTI AYAH! AKU BERBEDA...! AKU TIDAK AKAN SEPERTI DIA...!!!” Pekik Daffa di sertai sebulir bening yang mengalir di pipinya. _ Bersambung...  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD