Chapter 4

1555 Words
"Gue inget!"   Aku yang tengah melamun sedari tadi langsung bergetar, tersentak karena seruan Deon tiba-tiba. Saat ini kami tengah berada di kantin sekolah. Selain Deon, meja kami juga berisi Lita dan teman Deon satu lagi. Em, kalau tidak salah, namanya Erza. Lita tampak ikut terkejut, ia mengelus dada lalu menggeleng setelah melihat tingkah Deon. Sedangkan cowok itu bukannya bersalah, malah mengabaikan tatapan kami.   "Gue inget dulu lo emang pernah bilang kalau lo takut diculik. Pokoknya sampai kita SMP pun lo was-was banget kalau ada orang asing di sekeliling lo, takut kalau ada berita penculikan. Seolah lo tuh trauma. Padahal, kita baik-baik aja, aman aja sejak kecil, Na." Deon mencerocos. Ia paling jago berbicara panjang dalam sekali tarikan napas.   Aku mendelik. Deon sudah gembar-gembor di depan umum, bagaimana aku tidak takut jika orang-orang tahu? Meskipun ini Lita, namun kurasa belum saatnya ia tahu. Aku akan memberi tahu Lita secepatnya. Entah kapan.   "Sstt... Entar pada tau," bisikku. Aku mendekatkan mukaku ke Deon. Lalu mengisyaratkan agar cowok itu tidak lemes.   "Kenapa, De?"   Kan benar dugaanku. Antena kepo Lita pasti sedari tadi sudah bergerak-gerak setelah mendengar pembicaraan Deon yang sangat keras. Kini aku bagai orang gagu yang mengisyaratkan Deon agar ia tidak keceplosan membicarakan masalah ini pada Lita. Mataku mengedip-ngedip dengan bibir dimonyongkan, memberitahu cowok itu untuk tidak menjawab pertanyaan Lita.   Deon tampaknya mengerti dengan isyaratku. Ia tampak gugup begitu mendapat tatapan penuh penantian dari Lita. Iya, sejak tadi Lita tidak mengalihkan tatapannya sembari menunggu jawaban Deon. "Eng- anu ..." Deon terbata.   "Anu?" Lita menelisik. Tatapannya benar-benar memancarkan sinar laser penuh ke-kepo-an.   BRAK!   "De, udah ada guru! Kuy buruan!"   Aku beruntung. Napasku yang sejak tadi kutahan tiba-tiba terhembus lega. Erza dengan keras menggebrak meja setelah membaca chat dari ponselnya. Cowok berkacamata itu menarik-narik tangan Deon menyuruhnya untuk segera bangkit dan bergegas ke kelas.   "Iya aduh, sabar!" Deon menyentak lengan Erza di tangannya. "Gue ke kelas dulu."   "Duluan, Na." Erza berpamitan.   "Eh ntar dulu! Eja ih! Gue belom selesai ngomong." Lita berseru.   Kini gantian aku yang mendapat tatapan itu. "Gue rasa kita harus ke kelas sekarang," kataku. Aku menghentikan pertanyaannya yang sebentar lagi akan terlontar.   Aku menyengir.   KRING   "Nah, udah bel tuh. Buruan cus ke kelas." Aku bangkit. Sebelum lenganku ditarik Lita, aku sudah buruan berjalan cepat menuju kelas.   "Alana, tungguin gue!"   °°°°   Sepanjang pelajaran, aku masih teringat perkataan Deon tadi. Tentang aku yang seolah trauma akan penculikan sejak kecil. Namun benar, dahulu aku selalu merasa takut dengan adanya orang asing di sekeliling kami. Bahkan tanpa perlu diminta orangtuaku, aku sudah duluan menghindari orang yang tidak kukenal jika mendekati kami.   Sudah kubilang kan kalau aku dan Deon berteman sejak TK? Begitu pula dengan bermain. Aku kemanapun dengan Deon dan itu sejak aku kecil. Jadi sudah pasti ia tahu apa yang terjadi denganku. Aku jadi teringat perkataan Deon kemarin sore.   "Lo suka bunga matahari juga kan dari kecil?" tanya Deon. Ia menunjukku. Aku mengangguk.   "Jasmin datang ke ladang bunga matahari sebelum kejadian tragis itu."   "Oh ya?" Deon menutup mulutnya lebay. Matanya melotot mendengar ucapanku. "Maksudnya Jasmin juga suka bunga matahari?"   Aku mengangguk. "Keknya sih gitu."   "Oh my gosh! Gak mungkin, kan Na? Tunggu- lo gak nge-prank gue kan?"   "Ya kali ini prank! Gue serius."   "Maksud lo, ini beneran gue bicara sama Jasmin? Jasmin alias Alana, eh Alana alias Jasmin? Eh gue bingung sendiri." Deon malah bermonolog.   Aku ingin menggetok kepalanya. "Gue beneran reinkarnasi Jasmin, De."   "Lo seyakin itu?" tanyanya. "Tapi keknya iya deh. Lo pas kecil suka ngomong aneh. Apalagi pas TK awal kita kenal, lo sering salah manggil nama gue."   "Oh ya?" Aku menelisik. "Gue manggil lo siapa?"   Deon tampak mengingat-ingat. Tatapannya menerawang. "Ano ... Ano ... gitu. Gue pikir lo salah kira nama gue, nama gue jujur susah untuk anak kecil. Papah aja manggil gue Dono."   Aku tergelak. Kenapa sekarang ia malah melawak? "Dono, ahaha."   Deon memberiku tatapan sinis. "Iya, Dono," geramnya. "Padahal dia sendiri yang ngasih gue nama."   "Hahaha. Dono, Dono." Aku masih tergelak. Sedetik berikutnya aku tersentak. "Tunggu, lo tadi bilang ... Ano?" tanyaku. Aku baru teringat nama itu.   Keano dulu dipanggil Ano. Tapi, di dalam mimpi, kenapa Jasmin memanggil nama lengkapnya? Atau beda orang? Tapi tidak mungkin.   Entahlah, ingatanku benar-benar masih terpecah belah. Karena saat itu Jasmin berusia delapan tahun, dan ingatan sewaktu kita kecil pasti akan sangat susah diingat. Tapi aku yakin, nama yang dimaksud itu adalah Keano.   "Keano kah?"   "Hah? Keano?" Deon mendengar perkataan lirihku. Ia bertanya dengan wajah penuh tanda tanya. "Maksud lo, Ano Ano itu nama lengkapnya Keano?"   Aku spontan menatap Deon. Mata kami bersiborok seolah menyalurkan sinyal. Aku mengangguk. "Iya. Gue rasa ... gue beneran reinkarnasi Jasmin, De. Apa yang harus gue lakuin?"   °°°   Aku bermimpi lagi. Kali ini mimpi yang amat berbeda. Jauh berbeda dari mimpi-mimpiku sebelumnya. Dalam mimpiku ini, aku bertemu dengan sosok paruh baya yang sudah lemah tak berdaya. Di kursi rodanya, ia menatapku dengan penuh kasih sayang. Lalu menyiapkan makan untukku. Di mimpiku, aku tertawa menanggapinya. Lalu bercanda tawa dengan sosok itu. Aku tidak tahu siapa wanita tua di depanku ini, tampak asing. Namun mengapa aku bisa dengan lancar mengobrol dengannya?   "Makan yang banyak ya, Jasmin."   Tunggu! Jasmin?   Aku mengangguk. Di mimpiku, entah mengapa aku mengangguk ketika dipanggil dengan nama itu. Apakah wanita di depanku ini adalah ibu Jasmin?   "Iya, Bu."   Tunggu dulu! Mengapa tiba-tiba aku malah memanggilnya ibu? Ada apa sih dengan mimpiku kali ini?   Tiba-tiba semuanya putih. Sinar putih itu menyelimuti mimpiku. Lalu adegan dalam mimpiku berganti. Dapur yang tadi kutempati dengan ibu Jasmin, berubah menjadi taman yang amat cantik. Di sana ada seorang lelaki. Lelaki itu sedang duduk di bangku panjang dalam taman. Kakiku mendekatinya lalu kutepuk pundak lelaki itu. Aku tidak bisa melihat jelas wajah lelaki itu. Samar. Benar-benar seperti tidak boleh kuingat wajah itu.   "Sini, Jasmin. Aku benar-benar kangen sama kamu."   Lagi-lagi aku dipanggil Jasmin. Mimpi macam apa sih ini?   "Iya, No."   No? Keano? Apa lelaki di depanku ini adalah Keano? Mengapa mimpi ini sangat membuatku bingung? Dan ... mengapa bisa aku bermimpi seperti ini? Setelah bertahun-tahun lamanya, aku baru mimpi begini. Apa artinya, sekarang aku sedang diyakinkan kalau aku benar-benar reinkarnasi Jasmin?   Kami tertawa dalam mimpi itu. Aku ingat jelas lelaki itu tertawa dengan wajah yang sangat tampan. Tapi aku tidak bisa mengingat betul wajahnya. Semuanya samar, namun tidak bisa kuingat. Duh, apa sih sebenarnya ini?   Kemudian tiba-tiba semuanya hilang. Taman itu dan Keano semuanya hilang. Aku kini berganti berada di ruangan putih yang sangat luas. Ruangan itu sepi. Hanya ada aku sendirian di sana.   Lalu pundakku terasa ditepuk dari belakang, dan begitu aku membalik badan, ada seseorang yang membuatku sangat terkejut. Aku melihat diriku sendiri di depanku. Ia tersenyum. Senyuman yang sama seperti milikku. Senyum yang juga berada di wajah yang sama denganku.   "Hai." Ia menyapaku.   Aku hanya bisa terdiam membeku di tempat. Ia masih tersenyum santai. Sedangkan aku sudah terguncang dahsyat.   "Kamu pasti Alana," katanya.   Bahkan suaranya pun sama persis denganku. Ia benar-benar seperti kembaranku. Aku mengangguk mengiyakan.   "Jangan bingung dan takut. Aku dan kamu adalah orang yang sama." Perkataannya membuatku mengerut dahi.   "Kamu siapa?" tanyaku.   "Aku Jasmin."   "Hah? Jasmin?" Aku tercengang. Benarkah yang di depanku ini adalah Jasmin? Gadis dengan wajah dan tubuh yang sama denganku ini adalah Jasmin?   "Iya. Aku terlahir kembali menjadi dirimu saat ini." Ia masih betah menyungging senyum. Lalu setelah menarik napas, ia melanjutkan, "Aku tahu kamu pasti bingung dengan semua ini, Alana. Namun yang harus kamu tahu, niatku tidak buruk. Justru aku ingin membantumu."   "Membantuku?"   Ia mengangguk. "Ada yang harus diselesaikan. Kamu harus bertemu Keano. Kamu harus melindungi dia."   "Tunggu! Maksudnya? Kenapa tadi kamu bilang ingin membantuku, tapi tiba-tiba aku harus melindungi Keano. Apa maksudnya?" Aku bingung. Sedangkan ia malah tersenyum tenang.   "Kamu akan tahu nanti."   Setelah mendengar kalimat itu, sosok itu menghilang. Cahaya putih menyeruak. Aku terbangun. Lagi-lagi terengah. Keringatku mengucur sedari tadi. Mataku mengedar. Aku menghembuskan napas lega saat menyadari kini berada di kamarku. Kulirik jam dindingku, lagi-lagi tengah malam. Aku selalu bangun tengah malam setelah memimpikan itu.   Mataku kini memandang cermin dalam lemari besar di kamarku. Aku menatap pantulan bayangan diriku.   "Aku Jasmin?"     °°°     Aku merasa jika harus mencari sosok bernama Keano itu. Kalau tidak salah hitung, seharusnya Keano sekarang sudah berusia matang dan jauh lebih tua dariku. Mungkin sekitar tiga puluhan? Aku berjalan dengan pikiran yang terus berkecamuk. Di sebelahku ada Deon yang terus berceloteh hal yang samar kudengar. Seperti PR yang belum selesai, ada tanding basket dengan tim sekolah lain lusa besok, juga tentang mantan pacarnya yang mengajak balikan. Itu semua samar-samar tertangkap di pendengaranku.   "Oke, gue ke kelas dulu, Na."   Aku tersentak saat cowok itu menepuk bahuku. Lalu ia melambai dan melangkah menjauh ke kelasnya. Dengan canggung aku melihat ke samping kiriku, dan ternyata aku sudah berada tepat di ambang pintu kelasku. Jadi sejak tadi aku melamun dan tidak sadar kalau sudah berjalan cukup jauh?   "Na, ayo masuk, bentar lagi ada guru baru."   Aku mengangguk begitu tanganku ditarik masuk ke dalam kelas oleh Lita. Cewek itu mendudukanku di bangkuku yang biasanya. Sedangkan aku kini bagai orang linglung yang tidak tahu siapa dan di mana keberadaanku.   Benar yang dibilang Lita. Sesaat setelah aku memasuki kelas, seorang guru datang. Ia mengedarkan tatapan ke penjuru kelas. Lalu kami bersitatap. Tatapan yang hanya sepersekian detik itu entah mengapa membuatku terguncang. Lelaki itu, em, guru baru itu maksudku, entah mengapa terasa sangat familiar di mataku.   Guru baru itu berdehem kecil sebelum memperkenalkan dirinya di depan papan tulis. Menarik napas, suara baritonenya terdengar saat ia membuka bibirnya dan berucap, "Perkenalkan, saya Keano Pradipta Hardiansyah, guru baru mata pelajaran Sosiologi."   Aku menganga dan memandangnya nanar. "Keano?" lirihku.     °°°°      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD