Chapter 3

1158 Words
Peristiwa Tragis Penculikan dan Pembunuhan Seorang Gadis Kecil Berusia 8 Tahun Jakarta, 1998- Seorang gadis kecil berusia 8 tahun ditemukan tewas setelah mengalami pembunuhan sadis dalam hutan. Gadis kecil itu ditemukan dalam hutan dengan bersimbah darah dan luka tusukan juga pukulan benda tumpul di kepalanya. Sebelumnya gadis kecil itu dikabarkan hilang beberapa jam sebelum dibunuh. Gadis kecil berinisial J itu diculik dengan seorang temannya yang sebaya dengannya yang berinisial K. Sang penculik sekaligus pembunuh dijatuhi hukuman 22 tahun penjara. Keluarga meminta penambahan hukuman.     Ini apa maksudnya? Apakah benar adanya berita ini? Aku memandang layar ponselku berulang kali, bahkan sesampainya di rumah sepulang sekolah. Jika memang semua mimpi itu hanya halusinasi atau khayalanku, bagaimana bisa ada berita sungguhan seperti ini? Bagaimana bisa persis kronologi kejadiannya seperti yang ada dalam mimpiku?   Tiba-tiba kepalaku pusing. Aku lempar ponselku ke atas kasur, lalu beranjak dari dudukku di atas kasur. Masih dengan seragam OSIS-ku, aku melangkah ke depan lemari besar dengan cermin besar di sana. Aku memandang sosok yang terpantul di sana. Mataku menelisik jauh ke dalam pantulan bayangan mata gadis berusia tujuh belas tahun di sana.   "Sebenarnya kamu siapa?"   °°°   "DOOORRR!!"   Aku terperanjat. Jantungku berdetak kencang sekali setelah dikagetkan seperti itu. Di depanku ada Deon yang terlihat puas setelah mengagetkanku, cowok itu tertawa dengan menyebalkan. Ingin kugetok rasanya.   "Nyebelin!"   "Lagian lo dari tadi ngelamun bae." Deon berkata setelah meredakan tawanya.   Bibirku mencebik. "Seneng ya, kalo temennya lagi kesusahan?" sindirku.   Deon mengangkat sebelah alisnya. "Maksudnya?" tanyanya. "Lo kesusahan kenapa?"   Aku berdecih. "Tauk, ah!"   Saat ini aku tengah berada di kamar Deon. Seperti biasa, bermain PS dengan teman dari kecilku itu. Aku dan Deon sudah berteman sejak masih TK. Waktu itu aku yang murid baru tiba-tiba diajak bicara oleh Deon kecil, dan begitulah akhirnya, hingga lama-lama kami akrab. Selain itu, sekolah kami mulai dari SD sampai SMA-pun selalu sama. Entah mengapa Ibunya Deon begitu menurut sewaktu Mamaku berkata jika aku dan Deon harus selalu satu sekolah. Bisa jadi, sampai kuliah nanti pun, aku dan Deon akan berada di kampus yang sama. Sejak kecil, atau karena kebiasaan, aku dan Deon selalu menghabiskan waktu bersama. Istilahnya, kami sudah menghadapi masa kecil sampai masa remaja dengan bersama-sama. Bahkan aku sampai hapal apa kesukaan Deon, apa yang tidak ia suka, bahkan mantan pacarnya pun dulu selalu akrab denganku. Dulu. Tapi, semenjak putus, mereka semua menghilang, dan ikut-ikutan membenciku karena Deon. Seperti aku yang terlalu 'paham' tentang Deon, begitu juga dengan cowok itu. Ia selalu tahu apa yang menimpaku, apa yang kurasa, bahkan apa yang kupikirkan. Pernah suatu waktu aku dan Deon tidak perlu berbicara, tapi tiba-tiba kami tahu maksud satu sama lain.   Kami akan main bersama, entah di rumahku, atau di rumahnya. Bermain di kamarku, atau di kamarnya. Sampai mamanya Deon sudah tidak asing lagi saat aku sering ketiduran di kamar Deon. Sangkin aku dan Deon yang selalu bersama. Ya, seerat itu pertemanan kami.   "Kenapa, Na?" tanya Deon lagi.   Sepertinya sejak tadi aku benar-benar hanya melamun. Buktinya aku tidak sadar kalau permainan sudah berakhir. Deon menang, dan sudah jelas aku kalah.   "Lo akhir-akhir ini aneh." Deon merebut stik PS dari genggaman tanganku. "Lo emang selalu aneh sih, tapi beneran ini jauh lebih. Aneh kuadrat."   Aku memutar bola mataku. "Apaan, sih!"   "Cerita, Na. Lo gak biasanya galau kek gini."   Aku menatap Deon sekali lagi. Apa harus kucari jalan keluar dengan Deon? "De, lo ... percaya reinkarnasi?"   Deon mengerutkan kening sedari tadi, dan begitu mendengar pertanyaanku, ia berdecak. "Pertanyaan itu lagi," sergahnya. Ia mengambil ponselnya, lalu memainkannya.   "Iya, karena gue emang lagi galauin itu." Aku menatapnya. Sialnya ia malah fokus pada ponselnya.   "Galau tugas?"   "Si Dodol bukan tugas, ih!"   Sekarang cowok itu malah sibuk bermain ponselnya daripada mendengar ceritaku. "Terus?"   "Gue rasa, gue ini reinkarnasi dari orang di masa lalu."   Deon seketika menghentikan aktivitasnya mengotak-atik ponselnya. Ia sontak menatapku. Namun sedetik kemudian-   "Buahahaha!"   -ia tertawa.   Aku memutar bola mataku. Sudah kuduga ini respon yang kudapat. "Gue serius!"   "Lo gila."   "Deon!"   "Lo pikir aja siapa yang bakal percaya kalau diceritain kek gitu?" Deon masih tertawa. Pandangannya kini kembali beralih pada ponsel. Lagi-lagi mengabaikanku.   "Gue serius, De!"   "Na, are you kidding me? Tahun dua-rebu-dua-puluh dan masih ada kek gituan? Ini bukan zamannya Mahabharata atau kisah-kisah reinkarnasi dari jaman Pandawa, Na. Mana bisa zaman sekarang ada kisah seperti itu?" Deon yang tadi menganggap pertanyaanku lelucon, kini memasang wajah serius.   Benar. Memang ini hal yang sangat tidak masuk akal. Tapi-   "Terus siapa sosok yang sekarang terlahir kembali jadi lo itu?" Deon tiba-tiba bertanya. Ia menelisik.   "Jasmin."   "Jasmin? Tunggu- Gue gak salah denger?"   Aku menggeleng.   "Jangan bilang kalau itu sosok yang sejak kecil sering muncul dalam mimpi lo?"   "Iya, De. Itu dia. Jasmin. Anak kecil itu." Aku mengangguk. Entah mengapa kini aku benar-benar meyakini kalau diriku adalah sosok Jasmin yang terlahir kembali.   Respon Deon sudah bisa kutebak. Tentu saja cowok itu tertawa. Kalau aku jadi Deon, tentu aku juga akan tertawa, namun kini posisiku tidak bisa ditertawakan. Ini serius. "Gue rasa, gue Jasmin."   "Gue gak mau tahu, Na. Kalau lo masih bicara ngaco. Lebih baik lo pulang sekarang," usirnya.  Cih, barusan dia mengusirku? "De." Aku menarik lengan bajunya.   "Na, plis. Itu cuma mimpi, okay? Lo ... just realistic! Itu semua hanya halusinasi lo. Khayalan sejak kita kecil."   Aku menggeleng. "Enggak, De."   "Gini, kita mungkin pas kecil pernah ketemu anak kecil dengan nama sama. Atau lo pernah denger cerita dari Mama lo. Atau-"   "Deon!" Aku membentaknya. Napasku naik turun. Sudah waktunya untuk menjelaskan semua ini pada Deon. Aku menyerahkan ponselku padanya. Lalu menyuruhnya membaca artikel yang kuperoleh tadi pagi.   "Apaan? Artikel apaan? Ini- What!" Mata Deon terbelalak. Ekspresinya sama persis sepertiku ketika pertama kali membacanya.   Bukankah sudah kukatakan kalau Deon tahu semua yang terjadi padaku? Begitu pun dengan mimpi itu. Aku rutin mendapatkan mimpi itu, dan sesering itu pula aku menceritakannya pada Deon. Lalu respon cowok itu seperti biasa akan santai dan menganggap kalau mimpiku itu hanya angin lalu. Ia selalu menganggap kalau mimpi burukku hanya bunga tidur, sama seperti reaksi keluargaku. Namun, setelah artikel itu dibacanya, ekspresi Deon yang semula menganggap enteng, kini tampak serius. Ia tampaknya sedikit mulai percaya.   "Semuanya aneh. Bunga matahari, Keano, bahkan penculik itu, semuanya gue hapal. Karena setiap malam hanya mimpi itu yang muncul." Aku berkata di depan Deon. Cowok itu kini masih membaca artikel di ponsel dengan mata mendelik. Seperti yang kulakukan, Deon juga membaca berulang kali. Bahkan nama, kronologi , dan tempat kejadian pun sama. Semuanya persis yang terdapat di mimpiku.   "Ini ... gue gak salah baca, 'kan?"   "Lo udah tanya berapa kali coba. Gue selalu jawab, kalo lo gak salah baca."   Lagi, Deon kembali memelototi layar ponselku. Jika itu sinar laser, sudah pasti berlubang ponselku. Dengan geram kurebut ponselku. "Sekarang lo percaya?" tanyaku. Aku memandang Deon yang masih melongo di tempatnya.   "Gue gak mimpi, 'kan?"  Eh? Deon menarik tanganku dan ditampar-tamparkan ke pipinya. "Plis, gue pengen bangun!"   "Deon!" Aku menarik tanganku dengan susah payah. "Lo gak mimpi, enggak!"   Dengan wajahnya yang tiba-tiba pias, Deon memandangku. "Alana temen masa kecil gue ternyata reinkarnasi orang!" Deon meraba pipiku. Ia menatapku dengan tatapan iba. "Kenapa nasib lo kasihan banget, Na," sambungnya. Ia sekarang malah lebay memasang raut sedih.   "Ih, apaan sih!"   "Hueeeeeee!!"     °°°°          
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD