Bermain dengan Gibran K menjadi rutinitas baru semenjak aku memutuskan untuk memeliharanya di rumah, Mommy dan Daddy awalnya kurang setuju karena takut Gibran K membawa virus yang akan membahayakan kesehatan kedua cucunya tapi kekuatiran mereka akhirnya hilang saat aku menunjukkan hasil pemeriksaan Gibran K yang bersih dari penyakit berbahaya. Mommy bahkan merelakan salah satu kamar kosong untuk dijadikan kamar bermain Leano dan Leana dengan Gibran K.
"Lebih baik nama kamu kakak ganti saja ya," ujarku sambil menggendong Gibran K yang terlihat manis setelah dimandikan dan dibersihkan dari kotoran, lidah mungilnya menjilat tanganku dengan lembut, "hmmm jangan Gibran, kamu terlalu unyu kalau disamakan dengan dia," sambungku lagi yang masih kesal mengingat pertemuan pertama kami setelah hampir lima tahun hilang komunikasi.
"Sayangnya aunty, kalian mau beri nama apa ya untuk kucing manis ini?" tanyaku kepada Leano dan Leana yang sibuk bermain dengan mainan mereka, Leano melihat ke arahku dan meletakkan jari telunjuknya di keningnya seperti orang dewasa yang sedang berpikir keras, berbeda dengan Leana yang acuh dan lebih memilih bermain dengan boneka Frozen miliknya.
"Apa ya... Ronaldo? Isco? Hames? Bale? Atau Ramos?" ujar Leano dengan antusias, beuh itu sih nama-nama pemain bola kesukaan dia, masa kucing seimut ini dinamakan Cristiano Ronaldo atau nama-nama pemain bola lainnya yang terlalu internasional dan nggak membumi, aku suka nama-nama berbau Indonesia seperti Surya, Satria, Wendra, Gibran.
Oh God! Kenapa nama itu lagi sih yang keluar dari mulutku! Aku menggelengkan kepala agar menghapus nama itu dari benakku, aku nggak mau mengulangi kesalahan yang sama seperti yang dulu aku lakukan lima tahun yang lalu. Susah payah aku melupakan nama Gibran dari otakku tapi kenapa sekarang nama itu muncul lagi dan mengacau hidupku.
"Bagaimana dengan Biyan hehehehe," godaku dengan menyebut nama Papa mereka untuk aku jadikan nama kucing sekaligus mengalihkan otakku.
"Itukan nama Papa aku, ih Aunty jahat. Kasih nama kucing pake nama Papa aku, aku kaduin kakek nih, kakek aunty jahat! Hmpt," aku langsung menutup mulut Leano agar tidak berisik memanggil Daddy, bisa jalan kaki seminggu kalau Daddy tahu aku mengisengi cucu-cucunya.
Semenjak kak Aisha dan kak Biyan kembali ke rumah ini ada satu aturan baru yang nggak boleh dilanggar oleh siapapun yaitu jangan pernah mengganggu atau melakukan hal-hal yang akan membuat dua bocah ini menangis, dua algojo di bawah bisa ngamuk dan nggak akan segan menarik semua fasilitas yang biasa aku gunakan.
Ini baru 2 loh anaknya kak Aisha, nggak tahu deh apa yang akan terjadi kalau muncul bocah ketiga, keempat, kelima dan keenam seperti keinginannya, bisa-bisa aku semakin nggak dianggap oleh Mommy dan Daddy.
"Yah Aunty kan cuma bercanda sama kamu, jangan ngadu ke kakek ya. Nanti aunty jalan kaki lagi," mintaku dengan wajah merana, Leano menepuk bahuku dan menggelengkan kepalanya seakan aku ini teman sebayanya, anak sekarang memang berkembang dengan cepat dan juga pintar, saking pintarnya aku merasa nggak berkutik di depan mereka.
"Makanya aunty jangan nakal sama aku, ntar aku kaduin kakek loh weks," ledeknya sambil memeletkan lidahnya, Leano tetaplah anak-anak saat bertingkah seperti ini, puas membuatku kesal Leano mendekatiku dan memilih duduk di pangkuanku, "ya sudah namanya nggak perlu di ganti... Gibran sudah bagus kok," balasnya seakan nama Gibran itu nama paling bagus di muka bumi ini.
"Jelek, nggak macho, rese, nggak peka, jahat, mentingin ayam daripada Aunty, pokoknya jangan nama Gibran!" balasku sambil menatap mata bulat Leano yang sangat menyerupai kak Biyan, "ahaaaa bagaimana kalau namanya Oblak, unyukan?" sambungku lagi saat nama itu tercetus di benakku.
"Oblak? Itukan nama penjaga gawang Atletico Madrid, katanya nggak suka nama pemain bola," balasnya, masa sih ada orang bernama Oblak tapi kok Leano bisa tahu ya, ah iya aku lupa kalau bocah ini sangat tergila-gila dengan sepak bola, kamarnya saja penuh dengan hiasan dinding berupa poster pemain serta jersey-jersey original yang dibeli Daddy khusus untuk cucunya langsung dari negara asalnya.
"Nggak apa-apa, ada unsur Indonesianya. Oblak dan Opak, ituloh kerupuk Opak hihihi," balasku asal, Leano berdecak kesal dan mendekati Leana lalu mengajak adiknya keluar dari kamar meninggalkan aku sendirian dengan Oblak, aku melihat Oblak sedang bermain dengan mainan tikus yang kemarin aku beli saat mengunjungi Petshop baru yang letaknya tak jauh dari rumah.
"Oblak... Oblak... pus... pus... pus sini dong main sama kakak," panggilku, Oblak mengacuhkan panggilanku dan sibuk dengan mainan barunya.
"Oblak … hey Oblak, ayo mainnya sama kakak saja," panggilku lagi, Oblak tetap acuh dan melenggang santai di depanku.
"Wah kamu nggak suka ya di panggil Oblak? Apa mungkin terlalu kampungan makanya dia nggak datang saat aku panggil?" aku mencoba memanggil dengan nama-nama lain yang lebih kekinian, Steve... Boy... James... Ariel... Giring... Sule... Parto... dan sekalipun kucing ini nggak menoleh.
"Gibran!" panggilku dengan keras.
"Meonggg meongggg," dia mendekatiku dan menggesekkan tubuh mungilnya di kakiku.
"Jadi kamu sukanya dipanggil Gibran?" tanyaku sambil menggendongnya.
"Meonggg," ckckckck bahkan kucing ini memilih nama Gibran untuk disandangnya, apa sih kelebihan nama itu, bagiku orang yang mempunyai nama Gibran itu pasti menyebalkan, tega, rese dan jahat.
"Eh nggak semua deh... Gibran S sepertinya patut diperhitungkan," kataku pelan membayangkan pertemuan pertama dengan Gibran S yang langsung membuatku tersepona eh terpesona pada pandangan pertama.
"Ishhh sayangnya mereka kenal dan teman satu profesi, ckckc kenapa aku bisa bertemu dan jatuh hati selalu sama dokter hewan, kayak nggak ada laki-laki lain," gusarku dengan kesal, aku nemasukkan Gibran K ke dalam kandangnya, baiklah dengan terpaksa nama itu akan terus aku sebut entah sampai kapan.
****
Satu bulan setelah pertemuan.
"Hoekkk hoekkk," aku mendengar kak Aisha memuntahkan semua isi perutnya saat kami sarapan pagi ini, sepertinya program kehamilannya berhasil. Mommy dan Daddy terlihat sumringah saat kak Biyan menjawab pertanyaan kepo mereka apakah kak Aisha hamil atau nggak.
"Mual Pa," rengek kak Aisha manja sambil bergelayut di tangan kak Biyan, oh God! kali ini rasanya aku yang pengen muntah, mual sih mual tapi nggak perlu selebay ini, pokoknya kalau aku hamil nanti nggak bakal mau kayak kak Aisha, lebay!
"Hamil mulu kayak kebo tahu nggak," sindirku yang mulai terancam dengan kehadiran cucu ketiga Daddy.
"Biarin enak sih buatnya, emangnya kamu nggak laku-laku hihihihi," balas kak Aisha sengaja memanas-manasiku, dulu aku memang marah dan ngambek tapi seiring berjalannya waktu aku jadi terbiasa dan membalas dengan juluran lidah.
"Jodoh itu nggak tahu kapan datangnya, kakak bisa ledekin aku sekarang tapi aku yakin hari ini Tuhan akan mengirimkan jodoh baru untukku," balasku asal agar kak Aisha nggak mengejekku lagi dengan status jomblo yang hampir lima tahun ini melekat di diriku.
"Kapan dapat jodoh sih dek kalau kamu belum move on dari dokter hewan itu, lah kata Leano nama kucing saja Gibran... ckckck makanya jangan makan gengsi, masih cinta tapi malu," sindirnya tajam.
"Au ah adek kakak siapa sih sebenarnya, aku atau dia, kok dari dulu kakak selalu belain dia!" geramku dengan bibir manyun mengingat sejak putus kak Aisha selalu sibuk menyuruhku untuk baikan dan kembali bersama.
"Habis kamu ngeyel sih, awalnya kakak juga kesel lihat dia milih ayam daripada kamu tapikan kamu dengar sendiri rekaman terakhir yang dia kirim..."
Ishhh kenapa diungkit lagi sih rekaman itu!
"Nggak usah diungkit!"
"Ocean sayang, mau nggak jadi mamanya anak-anak kakak, ciyeeee dilamar untuk jadi mama ayam, petokkkk petokkkk!"
"Ai, ingat lagi hamil" untungnya ada kak Biyan, bisa-bisa mukaku merah mendengar ledekan kak Aisha tentang rekaman 10 detik yang dulu sempat nggak aku dengarkan, keisengan kak Aisha lah yang akhirnya membuatku tahu ternyata rekaman itu adalah sebuah lamaran meski hanya untuk jadi mama ayam-ayamnya.
"Ishhhh bumil rese!" aku mencubit pipi kak Aisha saking kesalnya.
"Nak Gibran baik kok," ujar Daddy sambil melipat korannya.
" Daddy jangan ikut-ikutan," gerutuku kesal.
"Sebenarnya kalian cocok, ya nggak sayang?" tanya Daddy kepada Mommy.
"Ho oh cocok," balas Mommy.
"Aduh semuanya rese!" aku meninggalkan meja makan dan memilih mengurung diri di kamar, semua keluarga terbahak-bahak melihatku marah dan kesal.
****
Page | 59
59 "Jahat semuanya! Rese!" teriakku dengan keras.
"Huwahahaha mamanya ayam!" ledek kak Aisha lagi.
****