Kebencian Adel

1240 Words
Flora masih sibuk meneliti tumpukan kertas di depannya. Dia mulai mengerti tujuan Agni menyuruhnya untuk bekerja di kantor, apalagi jika bukan untuk menyiksanya? Dia yang seharusnya duduk di kursi direktur, tapi malah wanita ular itu dengan liciknya membalik keadaan. Bisa saja Flora menolak semua perintah ibu tirinya, tapi dia tak bisa bertindak lebih jauh lagi mengingat ayahnya yang selalu dijadikan senjata agar Flora tunduk padanya. "Flo, udah kelar belum? Pak Adit minta laporan itu harus sudah ada di mejanya sepuluh menit lagi." Sakti melongokkan kepala dari kubikelnya. "Aduh, gimana ini Kak? Mana belum kelar lagi." Flora menggaruk kepalanya. Ya, sejak makan siang tadi memang keduanya sudah lumayan akrab, itulah kenapa dia memanggil Sakti dengan sebutan 'kak'. "Coba mana, sini lihat!" menatap lembaran di tangannya. "Aku bingung yang ini, Kak." menunjuk barisan angka yang membuatnya sakit kepala. "Nggak ngerti aku karena hasilnya selisih terus, padahal udah aku cek berulang-ulang," adunya. Sakti terlihat serius membaca satu per satu deretan angka yang berpadu dengan tulisan di sana. "Kamu duduk aja dulu, biar aku bantu selesaikan." "Kakak bisa?" "Nggak yakin sih, tapi sepertinya bisa." "Aku boleh duduk di sini? Sekalian ajarin bagaimana menyelesaikan masalah ini." Sakti mengangguk, tersenyum sekilas lalu menarik satu kursi putar untuk Flora duduki. Gadis itu memperhatikan dengan seksama setiap penjelasan dari Sakti. Masalah rumit yang sempat membuatnya pening itu telah berhasil diatasi dengan baik hanya dalam waktu lima menit. "Wah, ternyata Kakak hebat juga ya? Aku sampai pusing Kak, cari tahu biar hasilnya tuh ketemunya sama." "Yang penting itu kamu nggak boleh panik, dalam hal apapun. Kalau kamu bisa berpikir dengan jernih, tenang, kamu pasti bisa memecahkan masalahnya," Sakti menyahut. "Tetap aja beda Kak, aku kok ngrasa Kakak kayak udah profesional gitu," puji Flora. Sakti terkekeh. "Ada-ada aja kamu. Udah sana, langsung setorkan aja ke ruangannya Pak Adit. "Ya, Kak. Makasih ya." "OK." mengacungkan jempol. Kedua insan itu tak tahu jika di belakang mereka tengah berdiri seorang gadis yang sejak tadi mengawasi mereka. "Audy!" Yang dipanggil mendekat. "ya Bu, ada apa?" "Saya minta CV orang itu." menunjuk Sakti dengan dagunya. "Saya tunggu di ruangan saya, secepatnya." "Baik Bu." Agni duduk dengan anggun di kursi kebesarannya. Matanya tak lepas dari barisan huruf yang tersusun rapi di sana. Dibacanya sampai berulang-ulang, dan hasilnya tetap sama. Tertera nama pria yang telah mengusiknya pagi tadi. Saking penasarannya, dia sampai mengorek informasi tentang Sakti, pada Bunga. "Aneh, kenapa feelingku mengatakan kalau dia itu istimewa ya?" monolognya. "Auranya sangat berkarisma, dan dia seperti bukan dari masyarakat kelas menengah ke bawah. Feelingku nggak mungkin salah," gumamnya lagi. "Permisi Bu, rapat umum pemegang saham akan segera dilaksanakan, Ibu sudah ditunggu di ruang rapat." Audy, selaku sekretaris Agni muncul, membuyarkan lamunan gadis itu. "Ok. Kita ke sana sekarang." *** Flora melirik benda bulat yang melingkar manis di pergelangan tangan kirinya, hadiah dari sang ayah di hari ulang tahunnya yang ke 23, beberapa bulan lalu. 'Aku bahkan belum sempat menghubungi Ayah seharian ini,' batinnya. Ke luar dari lobi kantor, Flora harus melihat pemandangan yang membuat dadanya sesak. Agni leluasa membawa mobil mewah yang seharusnya menjadi miliknya. Ayahnya selalu berusaha bersikap adil terhadap kedua putrinya sekalipun Agni bukan anak kandungnya, tapi gadis itu sangat tamak. Apapun yang menjadi milik Flora, Agni selalu merebutnya. Segala cara dia lakukan, tak peduli jika harus dengan cara kekerasan sekalipun. Suara klakson yang berbunyi cukup mengagetkan Flora. Dia menoleh, bersamaan dengan itu nampak seraut wajah tampan tengah tersenyum ramah padanya. "Mau bareng nggak?" tawar Sakti. "Eh, nggak usah Kak. Takut merepotkan," tolaknya, halus. "Nggak apa-apa lagi, kayak sama siapa aja deh!" "Nggak usah, beneran. Kebetulan aku juga mau mampir ke rumah sakit," ujar Flora. "Siapa yang sakit?" "Ayahku," jawab Flora. "Ya udah ayo aku anterin!" "Nggak usah Kak, beneran. Lagian masih sore juga, masih banyak angkutan umum yang lewat." "Ya udah deh. Aku duluan ya." "Ya Kak, hati-hati!" Percakapan keduanya terputus setelah Sakti melambaikan tangannya, kemudian melajukan motor sportnya menembus jalanan yang mulai padat sore itu. Flora hanya perlu berjalan kaki lima menit menuju halte bus. Dengan lesu dia menghempaskan tubuhnya di kursi penumpang, kebetulan suasana dalam bus itu tidak terlalu ramai. Perjalanan dari kantor menuju rumah sakit memakan waktu sekitar tiga puluh menit. Turun dari halte, Flora menyempatkan diri untuk mampir membeli buah. Satu kilo sawo telah ia pilih dengan kualitas terbaik, Flora pergi begitu selesai membayarnya. Dengan senyum riang gadis itu berjalan menyusuri lorong panjang yang membawanya menuju bangsal pesakitan ayahnya. "Tega-teganya kau melakukan itu pada putriku, Adel!" seru Panji. "Udahlah Mas, nggak usah kebanyakan omong kamu! Mau Flora ataupun Agni yang memimpin perusahaan, tidak akan ada bedanya." "Kurang apa aku? Selama ini aku selalu berusaha adil terhadap kedua putriku. Aku tidak pernah membeda-bedakan antara Flora dengan Agni, tapi lihatlah ... apa yang kau lakukan sekarang adalah suatu kesalahan." nada tinggi masih terdengar. "Kau akan berhenti menyalahkan aku setelah melihat bagaimana cara anakku memegang perusahaan. Perusahaan berada di tangan orang yang tepat, Sayang. Agni pasti mampu mengembangkan perusahaan dengan baik," Adel terus membanggakan putrinya. "Orang yang tepat katamu! Bisa apa dia? Agni hanya tahu bersenang-senang. Kuliahnya berantakan, dia suka sekali menghambur-hamburkan uang, hobi dandan, dia malas dan selalu membuat onar. Orang seperti itu yang kau anggap dapat memajukan perusahaan?" "Ooh, jadi kamu mulai berani mengkritik anakku Mas? Mentang-mentang dia bukan darah dagingmu, tapi kamu tidak berhak mengata-ngatai anakku!" teriak Adel tak terima. "Memang begitulah kenyataannya, lalu apa yang harus aku katakan? Apa kau ingin aku memuji putri kesayangnmu itu! Caramu mendidiknya selama ini salah, aku sudah sering mengingatkanmu tapi apa yang kau lakukan? Kau selalu keras kepala dan tidak pernah mau mendengarkanku." Panji mengepalkan tangannya. Kobaran amarah mulai memuncak dan dia tak lagi dapat mengendalikannya. "Cukup! Apapun yang akan Mas katakan tidak akan merubah apapun. Kau sudah lumpuh sekarang, kau sudah tidak berguna lagi. Lihat apa yang akan aku lakukan pada anak kesayangnmu itu, aku pastikan kau akan menderita karena ketidakberdayaanmu," ancam Adel. "Jangan kurang ajar kamu! Kamu pikir selama ini siapa yang menghidupimu! Belum ada sebulan aku sakit, kau sudah berani mengatakan hal itu. Aku bahkan masih bisa memberikan nafkah untukmu Adel." Panji mengutuk dirinya yang tak bisa bergerak. Stroke yang menggerogotinya membuat hidupnya bergantung pada kursi roda. Jika saja gerakannya tak terbatas, ingin sekali dia hadiahkan sebuah tamparan untuk menghentikan mulut pedas istrinya. "Terserah! Tapi asal kamu tahu, semua aset berharga milikmu, sudah berganti menjadi atas namaku. Mulai sekarang kaulah yang bergantung padaku, jadi jangan sembarangan bicara. Aku bisa saja membuangmu ke tempat yang jauh di mana kau tak bisa lagi melihat putrimu," lagi, Adel mengancam. Panji berteriak. Antara geram, marah dan muak membuatnya putus asa. Dadanya naik turun dengan nafas tersengal menahan emosi. "Nggak usah teriak-teriak, kamu masih ingin hidup kan?" "Kamu mau nyumpahin aku cepat mati?" "Jika itu yang terbaik? Why not," sahut Adel. Sudut bibirnya terangkat, tertawa mengejek kebodohan suaminya yang begitu mudah ia kelabuhi. "Jangan macam-macam Adel!" "Itu yang seharusnya aku katakan padamu! Jangan pernah macam-macam denganku, aku bisa saja melenyapkanmu beserta putri sialanmu itu." Adel meraih tasnya, berjalan cepat meninggalkan Panji dengan amarah yang menggunung. Membanting pintu dengan sangat keras, membuat seseorang yang sejak tadi berdiri di luar, berjengit kaget. Tubuh Flora luruh di lantai, dia tak memiliki kekuatan untuk sekedar menopang tubuhnya. Ya, gadis itu mendengarkan pembicaraan sengit yang terjadi antara kedua orang tuanya. Sebegitu dalamkah Adel membencinya hingga ibu tirinya itu memperlakukan dia dan ayahnya sedemikian rupa? Flora tak habis pikir, kesalahan apa yang telah dia perbuat sampai Adel begitu ingin menyingkirkannya. Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD