Pertemuan

1103 Words
Seorang pria tampan berlari memasuki sebuah gedung perkantoran. Sesekali diliriknya benda bulat yang melingkar di pergelangan tangannya. Ini adalah hari pertamanya masuk kerja, jangan sampai ia terlambat, begitu pikirnya. Begitu sampai di sebuah ruangan, pria itu terkejut saat melihat orientasi karyawan baru telah di mulai. "Permisi," ucapnya sopan, kemudian ikut berbaris bersama beberapa orang yang telah lebih dulu sampai di sana. "Hei! Kamu karyawan baru?" seorang gadis muda maju ke depan. Tingkahnya begitu arogan, layaknya bos pada umumnya. "Iya, Bu." "Siapa namamu?" "Sakti, Sakti Candra Pradipta," jawab pria berkemeja biru itu. "Ini hari pertama kamu masuk kerja kan? Sebelumnya sudah tahu peraturan di sini belum?" "Sudah Bu." "Lalu kenapa kamu terlambat?" "Saya tidak terlambat. Kantor ini mulai beroperasi di jam delapan, sedangkan saat ini baru jam delapan kurang sepuluh menit," sanggahnya. "Hm, jadi kau mau mengajariku tentang kedisiplinan, begitu?" menatap Sakti lekat. 'Lumayan juga nih cowok, badannya bagus, wajahnya tampan mirip Jackson Wang. Oh my God.' "Saya tidak bilang begitu." "Contoh rekan sesamamu itu! Mereka niat bekerja, mereka datang pagi-pagi sekali. Tidak banyak alasan sepertimu." Pria bernama Sakti itu baru saja hendak membuka mulutnya saat tiba-tiba seorang gadis memasuki ruangan itu. "Selamat pagi, maaf saya terlambat," ujarnya ketakutan. "Kamu pikir ini kantor milik bapakmu apa?" 'Dia ini pura-pura atau bagaimana, kan perusahaan ini memang milik ayahku,' batin Flora. "Maaf, tapi kan saya memang ..." "Alah, nggak usah banyak bicara kamu!" sambar Agni. "Maaf sebelumnya, Bu, tapi ini kan memang masih belum masuk jam kerja," Sakti menyela, menunjukkan arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. "Benar-benar pasangan yang sempurna. Sudah sama-sama terlambat, tapi masih saja berkelit," ketus Agni. "Saya tidak berkelit," Sakti menyanggahnya. "Sudah tahu salah masih saja menjawab." "Saya akan mengakui kesalahan saya jika memang saya bersalah." "Baiklah, keputusan sudah dibuat." Agni menatap Sakti untuk beberapa saat, bibir berpulas warna merah itu tersenyum menawan. "Kamu saya maafkan, jangan pernah mengulanginya lagi, tapi tidak dengannya. Dia harus dihukum!" "Tapi kan Ag ..." "Yang sopan kamu, di sini saya atasanmu!" potong Agni. "Maaf Bu, tapi kan saya ..." "Push up dua puluh lima kali," cetus Agni. "Apa?" Flora membeliak tak percaya. "Kau tinggal pilih, mau melakukannya atau mau saya pecat detik ini juga!" 'Dasar perempuan jahat! Rupanya masih belum puas juga dia setelah merebut semua milikku,' maki Flora dalam hati. "Tunggu apa lagi? Cepat lakukan!" "Bu, mohon maaf tapi ini kan bukan merupakan bagian dari peraturan perusahaan," ucap Bunga, HRD di perusahaan itu. "Kamu lebih baik diam kalau nggak mau saya pecat!" kembali menatap Flora. "Lakukan sekarang, saya akan melihatnya langsung. Atau kalau kau berubah pikiran, kau bisa pergi dari sini. Kau tahu di mana letak pintu keluarnya kan?" Flora menelan ludahnya kelat. Ada saja kelakuan Agni yang membuatnya kesulitan. Gadis itu selalu menganggapnya seperti musuh, padahal selama ini Flora selalu bersikap baik padanya. "Aku hitung sekarang! Dalam hitungan ke tiga kamu belum juga menjalani hukumanmu. Silakan pergi dari sini!" "Satu." "Dua." "Iya ... iya, akan saya lakukan." Flora bersiap mengambil posisi, tapi gerakannya terhenti saat seseorang mencekal lengannya. "Biar saya saja yang menggantikannya menjalani hukuman ini," kata Sakti. Pria itu menyodorkan tas kerjanya untuk Flora pegang, sementara gadis itu masih setia menatapnya penuh tanda tanya. "Jangan," cicit Flora. "Tidak apa-apa. Saya ini pria, push up dua puluh lima kali tidak berarti apa-apa bagiku." Agni kesal bukan main melihat interaksi keduanya. Agni tahu betul kalau ini adalah kali pertama Flora bertemu dengan Sakti, sama seperti dirinya akan tetapi melihat ketulusan yang terpancar dari mata Sakti membuatnya jengkel. *** Sesi perkenalan berlangsung dengan kondusif hingga acara orientasi karyawan baru berakhir. Setelah semua karyawan yang baru saja direkrut itu menjalani office tour, kini mereka berpisah karena masing-masing bekerja di bawah naungan divisi yang berbeda. Namun, secara kebetulan, Flora dan Sakti berada dalam satu divisi yang sama. Seringkali orang bilang hari pertama bekerja itu menyenangkan, tapi tidak berlaku bagi Flora. Gadis itu dapat merasakan adanya jebakan yang sengaja disiapkan oleh saudara tirinya dan sepertinya, Flora masih akan mendapatkan banyak masalah. "Hai." Flora menoleh saat seseorang menyapanya. "Oh, hai. Saya belum sempat mengucapkan terima kasih padamu," ucapnya tulus. "Nggak usah ngomong formal, lagi pula sudah jam istirahat." Sakti mengulurkan tangannya. "Aku Sakti, kamu?" "Flora." menjabat tangan pria yang telah menjadi pahlawannya. "Nama yang cantik, sesuai dengan orangnya," puji Sakti. "Kamu berlebihan," tersipu, rona merah yang menyembul di kedua tulang pipinya tak dapat Flora sembunyikan. "Mau makan siang bareng?" "Boleh," Flora menyahut. Keduanya berjalan berdampingan sambil berbincang-bincang. "Hei Bro! Duduk sini!" lelaki bernama Evan itu melambaikan tangannya. Sakti menatap Flora sesaat meminta persetujuan, hingga akhirnya keduanya berjalan menuju meja itu setelah Flora mengangguk, tanda setuju. Seperti reuni saja, di sana sudah berkumpul sesama karyawan baru. "Gimana kerjaan kamu? Hari pertama kerja saja sudah ada insiden. Gila sih kamu, mana berani melawan, lagi," lanjut Evan. "Ya lagian tuh orang bar-bar banget. Kayak bukan orang berpendidikan saja, jelas-jelas aku sama Flora nggak telat tadi karena waktu kami sampai kan memang belum jam delapan, kenapa dia mempermasalahkannya," timpal Sakti. "Seumur-umur, aku baru pernah liat HRD macam tuh orang. Ganasnya mengalahkan anjing herder," celetuk Romy. "Eh, tapi yang aku denger sih dia bukan HRD nya, HRD kita kan Ibu Bunga, yang tadi pakai blazer warna mocca," Rosi menyahut. "Oh ya? Jadi yang tadi mencak-mencak mirip orang kesurupan itu siapa?" tanya Evan. "Hust! Sembarangan kalau ngomong!" Evan mengelak saat Vita melemparinya dengan tisu bekas. "Lha aku kan bicara fakta. Cewek pakai baju merah yang marah-marah tadi itu kan emang beneran kayak orang kesurupan," ulang Evan. "Jangan keras-keras kalau ngomong! Takut ada yang dengar nanti malah gawat urusannya," Vita sibuk memperhatikan keadaan sekitarnya, takut ada seseorang yang mendengar percakapan mereka. "Emang gawat kenapa?" "Sini deh!" Vita mengkode supaya mereka lebih mendekat lagi. "Ya ampun Vit ... Vit, orang mau ngomong aja ribet banget deh!" "Tuh mulut ya ampun, mulut laki tapi udah kayak mulut ibu-ibu sales panci tahu nggak sih?" "Ya lagian mau ngomong apaan sih?" "Udah! Cukup, kok malah ribut sih. Udah cepetan kamu mau ngomong apa Vita!" lerai Sakti. "Yang tadi mencak-mencak itu sebenarnya yang punya perusahaan ini," ucap Vita setengah berbisik. "Apa!' Vita berjengit saat rekannya kompak berteriak. "Kamu tahu dari mana?" tanya Sakti. "Aku denger dari Oomku, Oom Burhan sudah lama bekerja di sini. Dia bilang pimpinan perusahaan, Pak Panji sudah lama jatuh sakit dan puncaknya kemarin, beliau jatuh di kamar mandi katanya kena stroke. Jadi katanya lagi, anaknya yang gantiin posisinya mulai hari ini," beber Vita. Sementara yang lain masih sibuk dengan obrolan mereka, Sakti nampak sangat terkejut. Pria itu mematung dengan pikiran yang terus mengembara. 'Mungkinkah gadis yang berdebat denganku adalah dia? Aku harus mencari tahu kebenarannya,' Sakti membatin. Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD