Part 13. Belah Duren?

1697 Words
Rafi “Euum apakah Kak Raf mau pergi?” tanya Suci saat melihatku memakai sneakers. “Bukan urusanmu! Aku juga tidak perlu minta izin padamu jika aku akan keluar rumah.” Jawabku ketus. Entah kenapa sejak tahu betapa Dandy sangat mengagumi Suci, bahkan kekagumannya tidak berubah walau aku sudah berikan kode masa lalu Suci yang tidaklah suci. Tapi berhubung dia tahu bahwa kami suami istri, dia menyatakan mundur berjuang walau dengan senyum isengnya dia berkata, “gue lihat, kalian tidak saling mencintai. Kalau elu udah gak mau ama Suci, beri talak dia, buat gue aja.” “Iya, saya tahu itu. Tapi sempatkan makan malam di rumah ya. Mama bilang kalau Kak Raf suka banget makan nasi uduk, lele goreng dan sambal. Saya akan masak itu untuk makan malam kita.” Ucapnya dengan manis. “Kita?,” dengkusku kesal, “jangan panggil aku kak raf - kak raf! Aku gak suka!” Entah kenapa, rasanya aku pernah mendengar panggilan kak Raf seperti ini. Tapi siapa yang memanggilku seperti itu? Kenapa pula Suci sepertinya sangat akrab dan biasa saja memanggilku seperti itu? Aaagh, memikirkan ini membuat kepalaku pusing. Lebih baik aku segera pergi bertemu Danendra, mumpung dia masih di Jakarta. “Hati-hati di jalan.” Ucap Suci saat mengantarku keluar rumah sebelum aku masuk mobil. Dia mengulurkan tangannya padaku, keningku mengernyit heran, tidak tahu apa maksudnya. “Apaan sih?” tapi bagai dihipnotis, aku sambut uluran tangannya. Yang terjadi kemudian adalah dia mencium punggung tanganku! Cepat kutarik dan kuusap ke kaos yang aku pakai, “jangan lagi lakukan hal ini! Aku tidak suka! Bukankah sudah kubilang, haram untukmu mendekatiku!” ucapku, mengambil tisu untuk melap bekas ciumannya di punggung tanganku. Aku lihat ada keterkejutan di matanya saat mendengarku katakan itu, tapi aah apa peduliku. “Baiklah, jika itu maunya Kak Rafi.” Aku tahu dia paksakan sebuah senyum terbit di bibirnya. Heuum, dia memanggil namaku tapi kenapa terasa lebih menyenangkan saat dia memanggilku kak Raf dibanding kak Rafi? Sepertinya, hanya Suci yang cocok memanggilku kak Raf. Sore ini, aku janji bertemu Danendra di sebuah kafe kecil. “Gimana kabarnya yang udah jadi suami?” tanyanya, menggodaku. Aku melirik kesal tanpa mau menjawabnya. “Masih marah aja sih, Raf?” kali ini nadanya berubah serius, “gimana kabar Suci? Kamu udah belah duren?” Danendra semakin bersemangat menggodaku. “Belah duren apaan sih?” “Jangan bilang kalau kamu minta Suci untuk tidur di kamar terpisah layaknya di novel, Raf!” serunya kesal. “Gak usah teriak gitu dong, Nen, kita jadi pusat perhatian nih.” Aku mendelik. Danendra geleng-geleng kepala, mungkin dia kesal padaku. Heii, ini hidupku! Aku berhak untuk tentukan hidupku sendiri kan? “Elu kebangetan, Raf! Tega ama Suci. Menurut gue, dia gadis baik-baik kok.” Mulailah Danendra memberikan nasehat. Yaah, dia memang dewasa dan bijaksana. Keadaan menjadikannya seperti itu. “Elu mau ama dia, Nen?” kali ini ganti aku yang menggoda dia. Danendra menggeleng, “gila lu, istri sendiri ditawarin ke lelaki lain! Otak elu itu harus diruqyah emang! Lagian gue kan masih berusaha deketin Renatta.” “Heuum, beda banget Nen, antara Natta versus Suci ini. Renatta itu paket lengkap, sempurna, idaman semua lelaki untuk dijadiin istri. Lah Suci? Itu yang gue dapetin cuma sisa-sisa udah dijamah entah berapa banyak lelaki hidung belang!” aku tetap saja kesal. “Elu udah dapat kabar keaslian foto dari tim Alpha?” tanya Danendra. “Suci sendiri sudah mengakui kalau perempuan yang ada di foto itu adalah dia. Titik,” kataku, "jadi buat apa aku menunggu konfirmasi mereka?" Danendra membuang nafas, melihat ke arahku dengan tajam, “jangan sampai kelak elu menyesal ya, Raf! Sepertinya elu jatuh pas kecil dulu tidak hanya meninggalkan bekas luka di kaki dan perut elu tapi juga di otak ya?” sindirnya. Aku meringis mendengar sindiran itu, “kadangkala pas gue berenang, perut dan kaki gue suka mendadak kram sih. Makanya sekarang ragu kalau berenang di pantai, kalau di kolam renang kan masih aman.” “Elu tahu kalau kepala elu tuh dulu sempat terantuk batu? Kata yang nemuin elu sih, tapi pasti tante udah cerita lah yaa.” “Tahu, mama pernah cerita, sampai sekarang gue belum ketemu lagi ama yang nolong gue sih, Nen. Bapak petani dan anaknya. Udahlah gak usah membahas masa lalu. Gue mau pulang, Nen, mama nanyain Suci nih.” Aku berdiri, pamit, padahal baru beberapa jam saja pergi tapi mama sudah berisik menanyakan Suci. “Menantu kesayangan ya?” ledek Danendra lagi, kujawab dengan senyum masam. "Mama mau mampir ke rumah, sebelum mama datang, gue udah harus berperan jadi suami sempurna." “Raf, tapi gue ada satu pertanyaan penting buat elu,” Danendra menarik lenganku hingga menghentikan langkahku. “Apa tuh?” “Apa yang akan elu lakukan jika suatu hari nanti Rayan kembali?” “Itu udah pernah gue tanya ke mama dan papa, mereka tidak menjawab. Karena yang penting saat itu keluarga besar Malik terbebas dari rasa malu!” Jawabku, kedikkan bahu. “Kalau elu sendiri gimana? Mempertahankan pernikahan dengan Suci atau elu bakal persilakan Rayan mengambil Suci?” “Kamu nanya?” tanyaku ikuti meme yang ada, “tentu elu udah bisa menduga apa pilihan gue dong! Gue bahkan akan berikan Suci saat itu juga secara sukarela ke Rayan tanpa dia minta!” kutepuk pundak Danendra dengan sangat yakin hal itu akan terjadi. “Hati-hati dengan omongan elu, Raf! Awas kena tulah ntar, elu gak bakalan bisa hidup tanpa Suci.” Ucap Danendra, mimiknya serius. “Gak mungkin!” desisku, kesal. Mana mungkin sih aku tidak bisa hidup tanpa perempuan kampung itu? * Setibanya di rumah, aku ingin sekali berenang untuk renggangkan otot. Kulirik meja makan yang sudah tertata rapi makanan dengan aroma menarik cacing-cacing di perutku untuk menyantapnya. Eyang pernah beritahu aku kalau Suci itu memang cewek sejati : bisa masak, bisa menjahit, bisa membereskan rumah dan kebisaan lainnya. Saat melewati ruang tivi, aku lihat Suci yang tertidur di sofa. Sepertinya pulas. Aku sengaja meletakkan kunci mobil dan rumah cukup keras agar dia terbangun. “Eeeh euum… Kak Rafi sudah pulang ternyata. Kak Rafi mau makan malam? Biar saya siapkan.” Ternyata dia sigap, berdiri dan membetulkan posisi jilbabnya. Tidak butuh waktu lama baginya untuk mengumpulkan nyawa. Dia kucek matanya kemudian bergegas menuju meja makan. "Ntar aja, mama mau mampir sebentar lagi." Kataku. "Euum sama papa atau sendiri?" "Sendiri, kenapa memangnya?" tanyaku, penuh curiga. "Euum itu Kak, kalau mama datang sendiri, gimana dengan kerudung saya?" tanyanya ragu-ragu. "Gimana apanya sih?" tanyaku balik sambil menandaskan air mineral dingin. "Saya harus lepas kerudung dong ya, agar mama gak curiga pada kita." Katanya dengan menggosokkan dua tangan dan menunduk. Seketika mataku membola menyadari hal ini, "eeh, itu terserah kamu saja." Kataku berpura cuek, padahal entah kenapa hatiku berdebar, tak sabar ingin melihat Suci tanpa hijabnya itu. Duuh, aku ini kenapa sih? Kok labil gini? "Euum baik Kak, saya permisi mandi dulu dan menunggu mama." Kemudian dia beranjak meninggalkanku yang terpaku sambil memegang gelas kosong. Aku yang akhirnya kembali menjejak bumi, juga memutuskan untuk mandi. Dari dalam kamar, aku bisa mendengar suara heboh mama entah mengobrol apa dengan Suci hingga bisa seramai itu. Mungkin suara handle pintu membuat mama menyadari aku keluar kamar, "nah tuh akhirnya Rafi nongol juga. Kamu mandi apa luluran sih, Raf? Lama banget. Biasanya mandi bebek juga." Aku melangkah menuju ke arah mama yang ada di dapur bersama seseorang. Eh, siapa itu? Keningku berkerut saat melihat satu sosok tubuh mungil dengan rambu hitam panjang melewati pundak yang berdiri di sebelah mama, membelakangiku. "Mama udah lama?" tanyaku, mengambil punggung tangannya untuk aku cium dan seketika tubuhku membeku saat mengetahui siapa sosok itu, Suci! "Udah sepuluh menit lebih nungguin kamu. Ini mama bawa cemilan buat temani minum teh...," entah apalagi yang mama katakan aku bagai tidak mendengar karena mataku terpaku pada Suci yang tampak sangat... memesona! Suci berbalik hingga mata kami bersirobok. Sesaat aku merasa dunia di antara kami membeku, bahkan suara mama pun tidak lagi kudengar, hanya merasakan debaran jantungku yang berdetak lebih cepat. Aku merasa, keindahan alami yang terpancar dari wajahnya begitu memikat, dengan mata bulat indahnya yang bersinar penuh makna dan senyumnya yang tulus, malu-malu dia berikan padaku. Suci kembali menunduk karena aku yang tidak berkedip. Tak ada yang berlebihan, hanya pesona alami yang menenangkan hatiku. "Raf... kamu dengar apa kata mama gak? Raf, halooo. Rafiii!!!" "Astagfirullah, mama kenapa teriak pas banget di sebelah telingaku sih?" aku sampai melonjak kaget karena mama. "Lah kamu, Suci juga, pakai melamun, berasa mama gak ada di sini. Eeh, sebentar deh, ini hari masih sore tapi Suci sudah keramas, kamu juga keramas. Hah..!" mama menepuk tangan dengan keras membuat Suci yang disebelahnya jadi kaget, "apakah kalian sudah melakukan apa yang mama pikirkan, heuum heuum...?" alis mama naik turun dengan kocak. "Emang mama mikir apa sih? Aku kan gak bisa tahu." Jawabku berpura acuh kemudian duduk di meja makan berseberangan mama. Suci duduk di sebelahku, kami terpisah jarak hanya sejengkal saja. Membuat mataku kembali tersihir oleh wajah Suci yang cantik alami dengan rambut hitam tergerai. Demi apa coba, ternyata dia secantik ini! Leher Suci yang berkulit kuning langsat, tampak sungguh menggodaku untuk mencicipinya. Berkali-kali aku mencuri pandang menatap ke arahnya. Siluet wajahnya dari samping, dengan hidung bangir, bibir penuh dengan warna pink dan leher yang haaah... Dudukku jadi tidak nyaman karena mendadak celanaku jadi sempit. Otongku meronta ingin dilepaskan! "Ci coba deh ini, es teler langganan mama. Uenaak banget." Mama menyodorkan mangkuk es teler kepada Suci. Dia menunduk hendak menyuap es teler itu tapi..., ada helai rambut yang jatuh di sisi kirinya, membuatku sigap membawa helai rambut itu ke belakang telinganya. Tanganku membeku dengan Suci yang juga membeku menatapku. Tapi kemudian mama membuyarkan semua kebekuan itu dengan celetukannya, "mama mau pulang dulu ya, biar kalian berdua bisa lanjutin di kamar. Raf, mama tahu kamu udah gak tahan, udah dilepasin aja dan berikan mama Rafi kecil atau Suci kecil secepatnya! Ingat, di kamar Raf, jangan di meja makan atau sofa!” Mataku lekat pada wajah Suci dengan pipi kemerahan, mata yang bulat indah dan bibir yang menggoda. Susah payah kutelan ludahku, saat pikiran nakalku berkelana, ingin sekali melumat bibir itu. Reflek, aku mendekatinya, kuulurkan tangan ingin menahan leher belakangnya agar aku puas labuhkan ciuman padanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD