Rafi
“Raf…” sebuah suara lembut menyapaku, aku menoleh kemudian tergesa ke sumber suara yang menuju ke arahku, “ternyata kamu di sini. Mama mencarimu dari tadi loh.”
“Aku butuh udara dingin untuk dinginkan hati dan otakku, mah. Panas!,” jawabku dengan nada sedikit ketus pada mama, “maaf, aku tidak bermaksud membentak mama.” Susulku kemudian saat melihat wajah mama yang jadi sedih. Sungguh aku sangat menyayangi dan menghormati wanita yang sudah bertaruh nyawa melahirkanku.
“Sini duduk sebelah mama,” mama menunjuk kursi taman kosong di sebelahnya, aku duduk manis dan membuang asap rokok ke udara membentuk lingkaran-lingkaran kecil. Aku tahu mama pasti pasti kesal melihatku merokok. Papa saja tidak berani merokok, setidaknya di depan mama sih.
“Sejak kapan kamu merokok lagi?” tanya mama dengan nada super tajam padaku.
Aku meringis, “sejak lima menit lalu, ma. Suntuk kepalaku. Boleh ya mah, sekali-sekali doang kok."
“Jadi maksudmu, kalau merasa suntuk terus boleh gitu merusak paru-parumu, mengirim asap ke lingkungan sekitar, ke mama juga?” jawaban mama terdengar menusuk, membuatku mau tidak mau mematikan batang rokok itu daripada dibilang anak durhaka kan?
“Iya iya, maaf ya, mamaku yang cantik.” Pintaku sambil memeluk manja mama tercinta. Terlahir sebagai anak tunggal membuatku sangat dimanja papa mama. Prinsipku satu, tidak boleh ada air mata mengalir di pipi mama.
Suasana hening sejenak, aku menyandarkan kepala ke pundak mama, seperti yang biasa aku lakukan jika ingin dimanja olehnya, dan dibalas dengan kecupan dan belaian lembut di kepalaku, walau hanya sebentar saja karena setelah itu mama mengomel dan menyingkirkan kepalaku.
“Raf, kamu sudah bujang lapuk loh, bukan anak kecil lagi, berat ini.”
“Mah, nanti kalau aku sudah menikah, aku tidak bisa lagi bermanja ke mama seperti ini loh.” Jawabku lirih, menahan sedih dan marah.
“Maafkan mama ya Raf, tidak bisa bantu banyak. Papamu juga dalam keadaan terjepit. Tapi memang tidak ada lagi orang yang cocok yang bisa menggantikan Rayan selain kamu sih. Dari tiga cucu lelaki eyang, hanya kamu dan Rayan yang selisih umurnya tidak jauh. Tidak mungkin Hanif yang menikah karena dia masih sekolah." Sekali lagi mama menjelaskan, mungkin bermaksud agar aku lebih menerima keputusan mereka.
“Tahu gini aku gak akan pulang ke Indonesia, mah, lebih baik aku habiskan musim dingin di Kanada sana bersama teman-teman. Nyesel aku pulang." Aaah teman-teman! Siaaal! Aku baru ingat! Apa yang harus aku katakan pada mereka? Bahwa aku yang seharusnya menghadiri pernikahan sepupuku, malah jadi pengantin pengganti sepupuku itu? Hah, apa kata dunia?
Aku usap kasar wajahku dan mendesah keras, “aargh!! Mah, beneran ini aku harus jadi pengantin gantiin Rayan?” tanyaku ke mama, siapa tahu mama iba padaku dan bisa merayu eyang untuk batalkan rencana gila ini.
“Apakah kamu punya pacar?” tanya mama tiba-tiba, di luar perkiraanku.
“Enggak juga sih mah, kenapa mama malah nanya itu sih?”
“Lalu masalahnya apa Raf? Kamu pacar gak punya, calon pengantin perempuan juga sudah dijamin kualitasnya oleh eyang kan?” kenapa mama malah jadi mengompori?
“Aku belum ingin terikat pada pernikahan mah, lagipula tentu aku ingin menikah hanya satu kali saja, dan itu dengan perempuan yang aku cintai.” Tolakku, mencari alasan.
“Kamu masih ingin bersenang-senang maksudnya?” walau di temaram lampu tapi aku bisa lihat mata mama menatapku tajam.
Aku meringis saja, tidak mau menjawab tapi pasti mama tahu apa jawabannya.
"Tapi mah, memangnya mama mau punya mantu yang namanya Suci itu? Dia gadis kampungan loh, mah. Aku kan juga ingin seorang istri yang gak malu-maluin kalau dibawa ke kondangan atau ketemu teman." Aku ganti strategi, siapa tahu dengan mengulik dari sisi mama akan berhasil memengaruhinya.
"Mau. Mau banget. Justru mama dari dulu berharap gadis seperti Suci yang akan jadi mantu mama. Mama suka dia, Raf. Bahkan kalau budemu bercerita yang membanggakan Suci, kadang mama berdoa dalam hati agar Suci yang nanti jadi jodohmu."
Aku melihat ke arah mama dengan mulut terbuka, "mah, apa yang diucapkan seorang ibu untuk anaknya itu doa loh! Jangan-jangan ini semua karena doa mama juga nih, ada andilnya jadi aku yang nikah gantiin Rayan." Terus terang suaraku terdengar kesal mendengar cerita mama.
“Bisa jadi," jawab mama tanpa rasa bersalah, membuat mataku berputar ke atas. Pasrahlah aku pada keputusan ini, aku yakin langit mendengar doa mamaku ini dan somehow mengabulkannya. "Kamu tahu, Raf, jika langit sudah mencatatkan namamu dan Suci untuk berjodoh, sekeras apapun kamu menolaknya, ya gak akan bisa berhasil."
"Mama kenapa bisa setega itu sih?" sesalku.
"Tapi Raf, kalau dipikir-pikir, apa yang eyang katakan tentang kriteria seorang istri ideal itu benar adanya. Suci itu gadis yang sopan, pandai, manis pribadi dan tingkah lakunya dan yang paling penting, dia sholeha! Gadis baik-baik.” Kata mama dengan nada yang terdengar bersemangat. Wajahnya semringah, membuatku tak tega untuk terus memintanya menolak ide eyang.
“Mama yakin dia bisa membahagiakanmu!” lanjut mama lagi, entah dapat insight dari mana mama tiba-tiba mendapatkan pikiran seperti itu.
“Justru karena aku juga lelaki baik-baik, aku menolak ide gila ini mah. Let’s say, mungkin saja dia bisa membahagiakanku, menjadi istri dan ibu yang ideal. Tapi, apakah aku bisa membahagiakan dia mah? Bukankah malah akan merugikan gadis itu? Lagipula, hari gini mah, jarang banget ada gadis baik-baik yang masih suci seperti namanya itu. Atau gini aja deh mah, as a win win solution, aku akan tetap menjadi pengantin pengganti Rayan tapi hanya untuk beberapa hari saja setelah itu aku akan berikan talak. Toh yang penting, keluarga besar kita sudah tidak malu lagi kan?” jawabku tidak kalah mantap. Tapi aku salah berhadapan, aku lupa wanita ini adalah mamaku yang tegas.
Aku bocorkan ideku yang tak kalah gila ke mama, kukira mama bisa diajak kerjasama, tapi…
“Hah? Apa? Jadi kamu berencana untuk menikah hanya berapa hari saja? Rafi Wiryaman Malik bin Wiryaman Malik!! Kenapa kamu bisa punya ide picik seperti itu?!” bentak mama, marah. Bahkan sampai berdiri dan berkacak pinggang.
Jikalau mama sudah memanggil namaku dengan lengkap artinya mama sudah sangat marah! Aku tidak boleh lagi main-main dengan hal itu, aku tidak mau dikutuk jadi batu seperti hikayat Malin Kundang.
“Ya sudah kalau begitu mah, aku akan ikuti permintaan kalian dan kita lihat saja apa yang terjadi. Mungkin aku akan segera kembali ke Kanada, tidak jadi habiskan liburanku di Indonesia.” Ancamku. "Tapi aku kembali sendirian saja, Suci-suci itu tetap tinggal di sini bersama kalian. Malu aku harus bawa dia ke Kanada dan ketemu teman-temanku."
“Tapi mama kan masih kangen kamu, Raf! Habiskan masa liburmu sekalian bulan madu ya, sebagai hadiah dari mama dan papa.” Entah kenapa mama malah lebih fokus ke bulan maduku daripada perasaanku.
Bulan madu? Hah, yang ada bulan pahit!
“Ma,” tanyaku saat mendapat pikiran mendadak, “bagaimana jika tiba-tiba Rayan kembali?”