Part 6. Ini Beneran Kamu?

1489 Words
Rafi Sudah lewat dini hari, tapi mataku masih belum bisa terpejam. Walau tubuhku lelah tapi otakku tidak mau diajak kerjasama untuk segera tidur atau setidaknya beristirahat. “Aaarrgh! Rayan siaalan!!” teriakku tapi sengaja kuredam memakai bantal agar tidak terdengar oleh orang lain. Untuk kesekian kalinya aku menyumpahi Rayan. Pikir Raf, pikir! Apa yang bisa kamu lakukan untuk membatalkan pernikahan ini. Kuketuk kepalaku agar otakku yang terjaga ini mampu berikan ide. Tapi… zonk! Tidak ada, hingga akhirnya aku menyerah, kalah, pasrah. Mungkin karena pasrah pada lelah ini, akhirnya aku tertidur. “Rafii! Bangun! Bangun, mandi, sholat subuh dan segera bersiap! Kamu akan menikah hari ini, Raf.” Aku merasa tidurku baru sebentar tapi tiba-tiba aku tubuhku berguncang dan suara mama yang berteriak di telingaku, memaksaku untuk bangun. “Rafi!” bentak mama sambil menarik selimutku. “Apa sih mah?” kataku malas, kembali menarik selimut hingga d**a dan berniat melanjutkan tidur. “Bangun! Kalau gak bangun mama siram loh!” ancam mama, membuatku mau tidak mau mengikuti perintahnya. “Iya… iya.” Aku melangkah malas ke kamar mandi, mandi secepat kilat kemudian berwudhu. Saat keluar dari kamar mandi, aku melihat mama sibuk merapikan kasur. “Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,” ucapan salamku membuat mama menoleh ke arahku. “Kamu sholat subuhnya kilat khusus gitu sih, Raf? Bukannya dinikmati, yang khusyu gitu.” Keluh mama. “Pakai yang mode instan mah,” jawabku asal, padahal juga bukan yang kilat banget kok, hampir lima menit untuk dua rakaat menurutku termasuk lama. “Mah, aku tuh masih mau tidur lagi, kenapa kasurku udah dirapihin?” protesku. “Gak ada acara tidur lagi setelah subuh! Kita sarapan dan segera bersiap untuk pernikahanmu!” tarik paksa mama membuatku mengurungkan niat kembali tidur. Malas-malasan aku ikuti langkah mama ke ruang makan. Ternyata semua sudah ada di meja makan dan kami sarapan kepagian dalam keheningan. “Eyang, aku ada pertanyaan.” Ucapku memecah kesunyian, membuat semua menoleh ke arahku. Mungkin mereka khawatir aku masih akan menolak pernikahan ini. “Apa itu?” eyang letakkan sendok garpu dan melihat ke arahku dengan senyum kecil yang membuat kerutan di wajahnya muncul. “Karena ini mendadak, aku yakin pernikahan nanti hanya di bawah tangan kan? Pernikahan ini tidak tercatat secara negara kan?” tanyaku, tidak hanya memastikan, tapi juga memaksa. Pakde Taysir dan papa hela nafas kemudian mereka berpandangan, membuatku curiga. “Kemarin eyang sudah menghubungi petugas KUA dan mereka janji akan membawa dokumen sesuai KTPmu. Itulah kenapa akad nikah akan diundur dua jam jadi jam sepuluh.” Jawab eyang tenang, kembali berikan senyum. Aku menelan ludah, aku lupa betapa berkuasanya eyang di sini hingga akan mudah bagi eyang mendapatkan apa yang dia inginkan. Benar-benar deh, money talks! Hanya dalam waktu beberapa jam saja, semua bisa diselesaikan! “Kalau begitu, aku punya permintaan.” Aku lihat papa melotot padaku. “Raf,” mama menyentuh punggung tanganku. “Kalian memaksakan kehendak kepadaku, jadi aku juga ingin setidaknya ada keinginanku yang dituruti." "Apa itu, Raf?" tanya eyang "Aku tidak mau ada salam-salaman di kursi pelaminan setelah akad. Juga tidak mau foto-foto. Kalau kalian mau foto-foto, silakan berfoto sendiri dan yang paling penting, aku tidak mau ada sungkem-sungkeman.” Tekanku, masih saja menyuarakan keenggananku. Eyang menghela nafas, aku tahu beliau ingin menyanggah tapi tentu aku tidak mau terus menerus menjadi b***k memenuhi keinginan mereka, walaupun mereka adalah orang tuaku dan keluarga intiku. “Kenapa, Raf? Bukankah itu bisa menjadi dokumentasi kenangan kita?” tanya pakde Taysir. “Justru itu Pakde, aku tidak mau ada kenangan buruk untukku. Jika eyang dan yang lainnya setuju, aku akan ikuti permintaan eyang menjadi pengantin pengganti Rayan. Tapi jika kalian tidak setuju, silakan cari lelaki lain yang bersedia menjadi pengantin pengganti Rayan!” jawabku, sedikit ketus. “Baiklah,” akhirnya eyang bersuara, “jika itu maumu, nanti kursi pengantin akan diturunkan. Tapi dokumentasi foto saat akad dan acara sungkem, harus tetap ada.” Titah eyang, tidak mau dibantah. Aku tidak mau lagi mendebat eyang jadi hanya bisa mengangguk pasrah tanda setuju. * Aku duduk termangu di teras rumah utama, memerhatikan para pekerja yang sibuk mengatur ulang dekorasi tempat pelaminan. Sesungguhnya aku mendengar bisik-bisik yang menyatakan keheranan kenapa tempat pelaminan dibongkar. Aku yakin, sebentar lagi gosip ini akan menyebar luas bak virus. “Huuftt, gerimis mulai turun, membuat perasaanku tambah mendung dan kelam.” Gumamku. Aku mendongak, tapi lupa bahwa langit di atasku sudah tertutup oleh tenda putih mewah. Aku meringis saat menyadari tidak bisa menikmati indahnya jingga langit pagi yang menghangat bak menampilkan cahaya emas layaknya magis! Seharusnya hatiku bisa ikut menghangat, namun nyatanya tidak. “Raf, boleh eyang temani?” suara eyang yang tumben terdengar lunak dan lembut, membuatku menoleh ke arah beliau. Aku mengangguk, menggeser pantatku agar eyang bisa duduk di sebelahku. “Eyang tahu kamu tidak ingin dengar atau tidak ingin tahu kenapa eyang menginginkan Suci menjadi menantu di keluarga Malik. Tapi kamu tetap harus tahu akan hal ini.” Tutur eyang tiba-tiba. “Apa itu eyang?” tanyaku pura-pura tertarik, walau sesungguhnya aku tidak peduli lagi apa alasannya, toh tidak akan mengubah apa yang akan terjadi hari ini kan? “Eyangnya Suci dan almarhum eyangmu bersahabat, bahkan mungkin melebihi saudara sedarah. Singkat cerita, waktu itu eyangmu dijebak saingan bisnis hingga mengalami kebangkrutan bahkan masuk penjara hingga hampir depresi. Apalagi waktu itu Taysir dan Wirya masih kecil. Tidak ada saudara yang mau membantu malahan mereka menutup pintu jika eyang datang minta bantuan. Hanya eyangnya Suci yang bersedia menolong bahkan menjadi tameng hingga eyangmu bisa keluar penjara dan kembali merintis usaha. Tapi ini berimbas saingan eyang malah membabi buta menghabisi eyangnya Suci. Sejak saat itu, eyangmu berjanji akan menjaga anak keturunannya bahkan akan menikahkan keturunannya. Setidaknya, itu yang bisa kami lakukan yang tidak sebanding dengan nyawa eyangnya Suci.” Cerita eyang panjang lebar. Aku mencerna baik-baik, “berarti ini sebuah pernikahan karena balas budi? Kalau seperti itu, apakah kami akan bahagia eyang? Tidak ada cinta pada pernikahan ini.” Entah kenapa aku masih saja berharap tidak menjadi korban! Aku lihat eyang menghela nafas panjang, “Suci gadis yang baik. Eyang tahu dia. Insya Allah dia akan bisa membahagiakanmu. Mungkin kamu lupa padanya Raf, tapi dulu kalian sangat akrab bahkan kamu yang saat itu masih kecil yang ingin menjadikan Suci sebagai pengantinmu." Kemudian eyang bercerita masa lalu, ini membuatku sedikit tertarik karena aku lupa sama sekali. "Raf, terima kasih karena mau menjadi pengantin pengganti Rayan.” Eyang bangkit dari duduknya, menepuk pundakku kemudian melangkah ke dalam. Mendadak aku mendapatkan ide untuk mencari informasi pada seseorang. Segera aku menggulir gawai pintarku kemudian mengirim pesan ke orang yang aku tuju. Tidak berapa lama, pesanku berbalas. Om Danantya - papanya Renatta - memberikan nomor kontak yang bisa aku hubungi. Aku langsung mengirim pesan pada orang tersebut Aku jelaskan panjang lebar agar informasi yang bisa didapatkan adalah informasi yang valid. * “Raf, buruan pakai baju akad nikahmu!” mama menarikku agar menghadapnya. Dengan malas aku ikuti keinginan mama. Sekali lagi, sialnya, karena postur tubuhku dan Rayan hampir sama, hingga baju yang sudah disiapkan juga pas di tubuhku. “Alhamdulilah pas.” Ucap mama lega, membalik tubuhku agar bisa memandangiku dengan teliti. “Dik Ambar, eyang memanggil Rafi, kalau sudah siap bisa segera bertemu penghulu.” Bude Taysir memanggilku dan mama. “Gantengnya anak mama. Raf, walaupun mendadak tapi mama tetap berdoa yang terbaik untukmu.” Mama menarik kedua lenganku untuk bisa mencium keningku. Jika menyangkut mama, aku akan menyerah kalah. Aku bukanlah lelaki alim yang mungkin bisa dibanggakan akhlaknya, tapi aku ingin menjadi seperti Uwais Al Qarni yang sangat mencintai ibunya dan langkah kakinya terdengar di surga. Aku tidak menghapal kalimat akad nikahku, nama lengkap Suci saja aku tidak tahu. Mama bilang akan ada ‘contekan’ yang akan aku ucapkan, jadi ya untuk apa dihapal? Lagian mau nikah aja ada contekan loh, hebat kan? Aku mendengar bisik-bisik dari tamu saat mellihat bahwa aku yang duduk berhadapan penghulu, bukan Rayan. "Saya terima nikah dan kawinnya dengan mahar yang telah disebutkan, dan saya rela dengan hal itu. Dan semoga Allah selalu memberikan anugerah". Aku baru menyadari bukan ayahnya Suci yang berjabat tangan denganku, melainkan wali hakim. Ke mana ayahnya? Tidak lama setelah itu, muncullah sosok pengantin perempuan yang memakai kebaya putih, berkerudung, duduk di sebelahku. Mama menyampirkan selendang putih di atas kepalaku dan kepalanya. Sungguh, aku tergoda untuk melihat wajahnya, tapi aku tetapkan hati untuk bergeming. Toh setelah ini aku akan bisa melihat wajahnya karena dian akan mencium tanganku sebagai tanda bakti kan? Usai tanda tangan buku nikah, kami berdiri berhadapan. Perempuan itu, Suci, masih menunduk. Mama mendekatkan kami, kemudian gadis itu mengambil punggung tanganku untuk dicium. Hanya beberapa detik saja karena aku segera menarik tanganku. Tapi sekarang, saatnya aku harus mencium kening Suci. Huh, siapa sih yang membuat prosesi seperti ini? Dengan napas tertahan, aku mencium kilat kening Suci. Tak dinyana, wajah itu mendongak, membuatku sekilas terpesona oleh indahnya mata bulat nan jernih. Sepertinya aku pernah melihat mata bulat seindah ini, tapi di mana? “Kak Raf, ini beneran kamu?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD