Rafi
Kak Raf? Kenapa dia memanggilku seperti itu? Kenapa pula terdengar akrab? Atau dia mencoba sok akrab? Apakah Suci ini cukup mengenalku? Duh, kenapa kepalaku mendadak pusing mencerna ini semua?
Banyak pertanyaan di kepalaku tentang Suci ini. Tapi aku tidak akan tertipu dengan wajah manisnya! Eeh apakah aku bilang manis? Tapi harus aku akui bahwa Suci ini memang manis.
Make up yang tidak berlebihan, polesan gincu yang natural, perona pipi yang juga tidak berlebihan, membuat kecantikan alaminya menguar. Tapi yang paling menonjol darinya adalah mata bulatnya yang sangat indah. Aku bisa tenggelam dalam indahnya bola mata itu.
“Cium! Cium!”
Apaan sih? Kan aku sudah cium keningnya tadi. Tadinya aku tidak mau mencium pipi Suci tapi sorakan dari tamu yang hadir membuatku mau tidak mau mencium pipinya, walau sangat singkat. Bahkan untuk sungkem kepada papa, mama, eyang, ibunya Suci dan entah siapa lelaki yang ada di sebelah ibunya, aku lakukan sangat singkat sesuai kesepakatan. Terserah saja gosip yang akan beredar setelah ini, aku tidak peduli.
Otak dan hatiku masih mendidih usai tadi membaca pesan yang dikirim tim profesional pencari info. Aku tinggalkan Suci dan ruangan itu.
“Kamu gak makan Raf?” tanya mama dengan senyum lembut dipaksakan karena aku tahu beliau sungguh lelah.
“Enggak mah, masih kenyang. Aku mau ke kamar ya mah dan please jangan paksa aku untuk tetap ada di sini.” Kukecup kening mama kemudian bergegas ke kamarku untuk ganti baju.
“Tapi Raf, kamu dicari Erlan dan Danendra. Temui mereka dulu sebelum kamu istirahat.” Kali ini suara mama terkesan tidak mau dibantah, membuatku mau tidak mau menurutinya.
“Iya mah.” Aku langkahkan kaki dengan malas menuju ke arah dua sepupuku dari mama. Kakak beradik yang sebenarnya bersaing itu lambaikan tangan padaku dengan senyum penuh pertanyaan.
“Ganteng banget elu, Raf!” tepuk Erlan ke pundakku, tapi aku rasa, ada ejekan di suara itu.
“Syialan luh!” jawabku kesal, aku lihat Danedra membawa makanan, segera kuambil dan kumakan.
“Mau gue ambilin lagi? Kayanya elu laper banget.” Tawarnya dengan nada prihatin, aku menggeleng.
“Gimana sih Raf ceritanya bisa jadi elu yang nikah? Harusnya kan Rayan.” Tanya Erlan semakin menambah berat kepalaku. "Mama sama papa nanya terus sampai bingung mau jawab, lah kita aja gak tahu kenapa jadi elu yang nikah."
“Gue aja bingung, apalagi kalian. Lan, tolong ambilin gue teh manis hangat dong.” Pintaku sekaligus perintah.
“Ebuseeet, mentang-mentang jadi raja sehari langsung nyuruh-nyuruh seenak hati. Nggih ndoro…” Tapi tak urung Erlan bangkit dari duduknya dan mencari teh manis hangat entah di mana.
“Mana istrimu?” tanya Danendra, matanya memindai sekeliling mencari keberadaan Suci. Kujawab dengan kedikan bahu.
“Elu kayak bete gitu sih, Raf? Gimana hasil investigasi tim Alpha? Ada kabar tentang Rayan?”
Tanpa ucap sepatah kata, aku berikan gawaiku ke Danendra agar dia bisa membaca sendiri apa hasil dari orang-orang kepercayaann Om Danantya, papa sambungnya. Semalam aku menghubungi Danendra minta kontak siapapun yang bisa membantuku mencari informasi latar belakang Suci, siapa dan apa gadis kampung ini.
Mata Danendra membola, dia melihat ke arahku kemudian ke layar gawaiku berkali-kali.
“Elu yakin ini Raf?” tanyanya, tampak tak yakin dengan apa yang dia lihat.
“Yakin!” jawabku mantap.
“Tapi di sini diinfo bahwa tim Alpha akan menganalisa keaslian foto ini, Raf. Jangan gegabah, jangan asal berprasangka dulu. Kalau gue sih entah kenapa gue gak yakin. Bisa jadi foto ini sudah diedit loh, Raf.” Ucap Danendra, membuat keningku berkerut.
“Maksudnya elu gak percaya pada profesionalitas tim Alpha?” tanyaku.
“Bukan gitu, Rafi! Maksudnya tuh, gue gak yakin kalau Suci mampu lakukan ini. Gue yang cuma lihat wajahnya sekilas aja sepakat sama eyang Malik bahwa Suci adalah perempuan baik-baik. Mungkin ada yang menjebak dia, Raf.” Kata Danendra lagi.
“Jangan tertipu dengan penampilan, Nen! Kadang penampilan itu bisa menipu. Bisa aja dia sengaja pakai gamis dan hijab untuk menutupi kebusukannya kan? Gue gak peduli dia perempuan baik atau bahkan gadis panggilan sekalipun! Lagian gue gak ada rencana pernikahan ini akan berlangsung seumur hidup. At least kalau kami sudah pindah ke Jakarta, gue bisa sesegera mungkin berpisah.” Dengkusku.
“Raf, jangan terbawa emosi. Gue yakin eyang Malik gak akan mau memilih menantu sembarangan buat elu deh.” Masih saja Danendra berusaha menurunkan emosiku. Heei, perempuan itu tidaklah sebersih namanya!
“Sudah gue bilang jangan tertipu dengan kepolosan wajahnya!” desisku kesal karena sepupuku yang berhati lembut ini masih saja membela Suci.
“Nih!,” tiba-tiba sebuah mug dengan uap yang masih mengepul muncul tepat di depan mataku.
“Raf, tadi gue papasan ama bini elu, dia nangis tuh.” Lapor Erlan.
“Biarin aja. Bukan urusan gue.” Jawabku singkat.
“Raf, ingat elu sekarang udah jadi seorang suami. Elu harus bertanggung jawab ke Suci walaupun elu gak ada perasaan ke dia.” Petuah Danendra yang seperti biasa selalu bijak. Tak heran dia jadi panutan sih.
“Iya, bener. Lagian gue lihat bini elu tuh kayanya perempuan baik-baik kok.” Timpal Erlan.
Aku lihat ke arah kakak adik beda ayah ini dengan senyum sinis, “tumben kalian akur. Udah aah jangan bahas Suci lagi. Gue akan secepatnya balik ke Kanada aja biar gak perlu ngeliat dia lagi. Eneg gue."
Erlan dan Danendra menarik nafas panjang kemudian mereka kedikkan bahu bersamaan, "hati-hati kalau berucap, Raf, kena tulah ntar kamu jadi bucin, gak bisa lepas dari Suci." Lagi-lagi Danendra memberi saran.
“Dahlah Raf, buru malam pertama, eeh sore pertama. Belah duren sore gini kan enak tuh.” Goda Erlan padaku.
Aku menatap malas ke arahnya.
“Raf, kami pulang ya. Ingat pesan gue, jangan gegabah bertindak. Elu udah jadi seorang imam sekarang. Pikir yang panjang akibatnya, jangan terbawa emosi." Danendra menepuk pundakku kemudian mereka melangkah pergi.
Aku melangkah gontai menuju kamarku. Tubuhku lelah, kepalaku penuh dengan pemikiran negatif pada Suci. Aku butuh mengistirahatkan tubuh dan pikiranku.
“Eeh Raf, kamu mau ke mana?” tanya mama padaku saat kami berpapasan.
“Kamar mah, mau mandi terus tidur.”
“Boleh, tapi kamarmu gak di situ lagi, Raf,” mama menarik tanganku, kemudian kami berhenti ke sebuah kamar yang dari pintunya saja sudah penuh hiasan bunga dan menguar harum yang luar biasa.
“Bajumu juga sudah ada di sini kok, sudah sana masuk, mandi dan istirahatlah.” Mama mendorong tubuhku masuk ke kamar baru.
Aku abaikan harum bunga mawar dan entah bunga apalagi yang menusuk hidung. Tapi mataku membola saat melihat kasur yang penuh dengan bunga.
“Laah kalau kasur penuh bunga gini terus nanti aku tidur di mana?” keluhku. Mataku melirik kamar luas ini. Di sisi kiri ada sofa bed yang nampak empuk dan nyaman. Baiklah, aku nanti tidur di situ saja.
Kata mama, pakaianku sudah dipindah ke kamar ini. Aku membuang nafas kasar saat melihat koperku yang teronggok di dekat kasur. Artinya mama terburu-buru menarik koper ke kamar ini karena belum sempat memindahkan ke dalam lemari.
“Nanti saja deh ganti bajunya, ini gerah banget pakai baju kayak gini.” Gumamku, membuka kancing baju yang sangat banyak ini, menyisakan t shirt putih saja.
Aku duduk di sofa bed, menyandarkan kepala dan memijit pelipis cukup keras.
“Hufft…” Tapi mataku yang semula terpejam, mendadak terbuka saat mendengar suara pintu kamar mandi yang dibuka.
Eeh ada orang di kamar ini? Kukira aku sendirian sedari tadi.
“Kamu! Kenapa bisa ada di sini?” seruku tertahan saat melihat ternyata itu Suci. Perempuan itu hanya sekejap melihat ke arahku kemudian menunduk dan berjalan mendekatiku tanpa mau menjawab pertanyaanku.
Harum sabun dan sampo menguar cukup tajam hingga menusuk hidungku saat dia sangat dekat denganku.
“Apakah kamu tidak dengar pertanyaanku?” tanyaku dengan nada tajam, tidak hanya nada, tapi mataku juga menatap tajam padanya.
“Saya dengar, saya kan tidak tuli.” Jawabnya singkat.
“Kenapa tidak menjawab?” aku menuntut jawaban.
“Karena saya bingung harus menjawab apa. Saya sudah tidur di kamar ini sejak satu bulan lalu sesuai instruksi eyang Malik. Itulah kenapa baju-baju saya sudah ada di lemari itu.” Dia menunjuk ke lemari kayu jati yang tampak tua tapi tetap anggun.
S-sebulan? “Kamu mau ngapain?” tanyaku saat melihat dia bergegas menuju koperku.
“Mama tadi meminta saya untuk memindahkan baju Kak Rafi ke lemari, sebentar saya pindahkan dulu.” Jawabnya, tanpa mau melihat ke arahku. Dia berjongkok, jilbab yang dia pakai dia sampirkan ke belakang pundaknya.
“Tidak perlu!” bentakku, bergegas ke arahnya, membuatnya berjengit kaget. Kedua tangan di depan dadanya tampak sedikit bergetar.
“Lihat aku!,” sentakku, membalik tubuhnya dengan paksa agar melihatku, “tidak perlu berpura-pura bersikap sok manis!” aku dorong tubuhnya hingga dia terjengkang dan jatuh ke kasur penuh bunga mawar, membuat sebagian bunga itu terbang ke udara.
“Aduh!” aku mendengar lirih dia mengaduh kemudian memegang ibu jari kirinya, ternyata ada sedikit darah karena terkena duri bunga mawar. Tapi apa peduliku?
“Kamu tahu kenapa Rayan tidak jadi menikahimu hah?!” teriakku keras.
Dia menggeleng berkali-kali, wajahnya mulai menunjukkan kecemasan.
“Karena kamu perempuan murahan! p*****r!” teriakku kehilangan kontrol diri.