Rafi
Dia, gadis bernama Suci itu, menutup telinganya dan menggeleng-geleng. Matanya terpejam, tidak mau melihat ke arahku, sudah kuduga dia mulai menangis, terisak! Membuatku tambah kesal mendengar isakan palsunya. Aku yakin itu hanyalah akal-akalan dia saja untuk membuatku terenyuh. Tapi, tidak akan mungkin aku tertipu!
“Tidak! Saya tidak seperti itu! Tolong, jangan memfitnah saya,” desisnya, sambil tetap menggeleng.
“Kalau begitu, ini apa?!” aku lempar gawai canggihku ke kasur. Dengan tangan gemetar dia melihat layar gawaiku. Matanya menyipit, seperti ingin memastikan apa yang dilihatnya.
“I… ini apa?” cicitnya, kemudian mendongak melihatku. Hei, berani juga dia.
“Jangan pura-pura innocent! Itu kamu kan?” bentakku.
“Iya ini saya, tapi…”
“Tidak ada tapi-tapian! Bagus kamu mengakui itu kamu.”
Jadi, tadi pagi aku dikirim tangkapan layar percakapan antara seseorang yang aku tidak kenal nama dan nomor ponselnya - siapa dia -, dengan Rayan, sepupuku yang aku gantikan menikah hari ini.
Di tangkapan layar itu ada foto seorang gadis, yang tadi sudah diakui Suci bahwa itu adalah dia, saat itu belum berjilbab, sedang ada di sebuah klab malam. Dia duduk diapit lelaki-lelaki dengan tangan menggerayangi tubuh Suci. Foto itu bukan buram, tapi pencahayaan klab malam yang temaram, membuat foto itu tampak kabur.
Sebenarnya tim Alpha berjanji akan mencari tahu keaslian foto itu karena mereka curiga itu foto asli yang tidak asli. Entahlah, aku tidak paham apa maksudnya. Tapi untuk apa dicari tahu lagi? Toh Suci sudah mengakui itu fotonya.
Di situ ada caption yang menanyakan apakah Rayan masih tetap nekat ingin menikahi perempuan murahan seperti Suci?
“Apakah Kak Raf sudah mencari info yang sebenarnya tentang foto ini?” Aku tidak menyangka gadis ini berani tanyakan hal itu.
“Maksudmu?” tanyaku dengan nada sinis.
“Itu memang saya, tapi…”
“Kamu mau menyanggah? Mau membela diri? Tidak perlu! Sekali murahan, tetap saja sampai kapanpun akan tetap murahan, walau kamu memakai hijab sekalipun! Jangan munafik dengan bersembunyi di balik hijabmu.” desisku tajam.
Perempuan itu, sungguh, bahkan untuk menyebut namanya pun aku tidak mau! Aku tidak mau mengotori lidahku! Dia menatapku tajam walau ada linangan air mata.
Tiba-tiba dia tersenyum kecil, walau aku merasa itu sebuah keterpaksaan, dia berucap, “percuma saya membela diri karena Kak Raf sudah mempunyai penilaian tentang saya. Di mata Kak Raf, saya kotor dan hina. Tidak ada yang bisa mengubah itu kan?” dia berucap hal itu dengan nada getir.
“Bagus kalau kamu tahu diri! Ingat, kamu harus jauh- jauh dariku! Kita memang suami istri tapi aku pastikan tidak akan bertahan lama. Kita akan bercerai setelah eyang meninggal!”
“Maksud Kak Rafi apa? Kakak mendoakan eyang cepat meninggal gitu?” mendadak gadis itu bangkit, suaranya terdengar gusar dan marah dengan pernyataanku baru saja.
Aku mendelik marah! Tapi tidak kugubris.
“Itu kan kamu yang menyimpulkan!” kepala dan hatiku semakin mendidih. Aku harus segera menjauh dari perempuan ini sebelum semakin lepas kendali. Lebih baik aku segera mandi saja. Keluar dari kamar mandi, aku lihat kasur yang sudah bersih dari bunga. Mataku melirik ke plastik keresek transparan yang berisi sampah bunga-bunga.
Tiba-tiba aku mendengar suara derit pintu lemari. Aku melihat Suci sedang merapikan pakaianku dari koper dia masukkan ke dalam lemari.
“Sudah kubilang jangan sentuh barang-barangku! Aku tidak mau barang-barangku terkena najis!” desisku marah, aku menarik tangannya agar menjauh dari lemari.
Aku dengar dia mendesah, “sehina itukah saya di mata Kak Raf?” tanyanya, terdengar pilu dan sedih.
“Iya! Jangan pula berharap aku mau menyentuhmu! Aku tidak akan mau menyentuh barang bekasan banyak lelaki lain!” aku tegaskan kembali.
Dia mendesah lelah, tapi sebuah senyum dia paksakan terbit di bibirnya, “baiklah Kak Raf, jika itu sudah menjadi keputusan Kakak. Tapi sebagai seorang istri, saya berkewajiban untuk melayani Kakak, apakah Kakak suka atau tidak. Surga seorang istri ada pada keridhaan suami.”
Aku bisa mendengar suaranya agak berat saat berucap ridha suami. Heh, mana mungkin aku berikan keridhaan sebagai suami untuk seorang istri murahan seperti dia?
“Terserah! Yang pasti, jangan dekat-dekat aku. Jijik!” aku rebahkan tubuh ke kasur dan pejamkan mata. Kepalaku sangat pusing, tidak cuma tubuh tapi hatiku juga panas dan lelah. Aku butuh tidur.
*
Kami sudah beberapa hari ada di rumah ini. Rumah eyang sudah sepi. Saudara-saudara sudah pulang, meninggalkan kami yang keluarga inti.
Suasana hening menyergap meja makan. Suci masih bolak balik menyiapkan makanan untuk terhidang di meja, dibantu mama dan bude Izzah. Saat sudah siap, semua duduk. Mama mengambilkan nasi untuk papa dan eyang, pun bude Izzah mengambilkan nasi untuk pakde dan Hanif.
Aku yang ingin mengambil piring, tidak jadi setelah Suci dengan sigap menuangkan satu centong nasi.
“Mau sekalian dengan sayur dan lauknya, Kak?” tanyanya dengan lembut. Aku menggeleng kemudian kuambil saja piring itu dari tangannya dan menuang sendiri sayur asem, ayam goreng dan sambal. Aku tahu mama, eyang juga Suci mendesah, tanda tidak suka.
“Eyang, besok kami akan kembali ke Jakarta nggih.” Ucap papa dengan lembut.
Wajah eyang berubah mendung tapi dipaksakan untuk tersenyum kecil, mengangguk kemudian menjawab, “iya. Kalian punya tanggung jawab masing-masing.”
“Aku juga pulang eyang. Bila perlu balik ke Kanada sekalian.” Timpalku, ikuti papa.
Suci hentikan makannya dan melirikku, aku tahu dia mengambil nafas tapi hembuskannya perlahan mungkin agar yang lain tidak menyadari hal itu.
“Eyang kira kamu bisa lebih lama di sini, Raf. Eyang kangen kamu. Rayan dan Hanif sering ke sini. Malah kamu yang paling jarang.”
“Maaf eyang, tapi aku juga ada tanggung jawab yang harus kupenuhi. Aku kan harus kembali ke Kanada lagi dan selesaikan kuliah,” mendadak hatiku merasa tercubit atas pengakuan jujur eyang, “agar eyang, papa dan mama bangga padaku.” Lanjutku lagi.
“Huuft, rumah ini akan kembali sepi setelah kalian semua tinggalkan aku.” Eyang berucap itu dengan sedih.
“Aku akan temani eyang di sini,” tiba-tiba Suci bersuara, “tentu saja jika Kak Rafi berikan izin.” Cicitnya di kalimat kedua.
Aku menoleh ke arahnya, kenapa pula aku tidak akan berikan izin? Bagiku akan lebih baik jika kami terus berjauhan, tidak tinggal satu atap.
Baru juga aku membuka mulut hendak menanggapi Suci, eyang sudah menyahut mendahuluiku, “tidak boleh Uci. Statusmu sekarang adalah istri Rafi, kemanapun suamimu pergi, kalian harus tetap bersama. Lagipula masih ada ibumu yang temani eyang kan?”
Aku lihat Suci sekali lagi paksakan sebuah senyum terbit di bibirnya dan mengangguk tipis. Padahal tadi, dalam hatiku sudah bersorak jika Suci akan tetap di sini bersama eyang.
“Nggih eyang.”
*
Kami pamit pulang kembali ke Jakarta siang ini. Pakde dan bude Taysir putuskan keesokan hari karena rumah mereka yang hanya di kota Solo.
“Raf, eyang titip Suci ya. Perlakukan dia dengan baik seperti kamu perlakukan eyang dan mamamu.” Bisik eyang padaku saat aku berpamitan.
Aku tidak menjawab, tidak pula mengangguk, hanya sebuah senyum tipis terbit di bibirku.
Maaf eyang, aku tidak mampu berjanji untuk hal yang tidak bisa aku tepati. Aku sudah berencana akan menceraikan dia secepat yang aku bisa!
Tapi tentu saja hal ini hanya kuucapkan dalam hati saja. Bisa-bisa aku disumpahi mama kalau sampai mama tahu.
*
“Raf, untuk malam ini, kamu dan Suci tidur di rumah utama. Tapi besok kalian sudah bisa pindah ke rumah di jalan Antasari. Papa sudah minta untuk dibereskan agar siap kalian tinggali.” Kata papa usai kami tiba di Jakarta.
“Papa dan mama sepertinya sudah mempersiapkan semua ini dengan sangat baik.” Sebuah pernyataan satir yang tidak membutuhkan jawaban. Aku curiga papa dan mama sejak awal memang menyodorkanku sebagai pengganti Rayan untuk menikahi Suci.
“Sejujurnya, papa dan mama lega jika kamu akhirnya menikah, apalagi menikahi Suci, yang gadis baik-baik pilihan eyang. Jika saat ini kamu belum mencintainya, seiring berjalannya waktu, cinta itu akan datang.” Kata papa, menepuk pundakku.
Tuh benar kan, papa dan mama ada andil!
“Pah, jangan tertipu dengan penampilan Suci! Bisa jadi, dia sengaja berkerudung untuk menutupi kebobrokannya kan?”
“Maksudmu apa, Raf? Jangan menuduh loh. Eyang menjamin bahwa Suci adalah perempuan baik-baik. Papa dan mama suka padanya, dia memang layak jadi mantu di keluarga Wiryawan, di keluarga besar Malik,” papa ngotot, "lagipula ingat Raf, kalau fitnahmu tidak terbukti, kamu bisa didera delapan puluh kali."
“Huh,” dengkusku semakin kesal karena Suci berhasil menipu papa dan mama, “kita lihat saja pah. Tapi kemasan tidaklah menjamin isi yang bagus. Sudah aku ingatkan agar kalian tidak tertipu dengan keluguan dan kepolosan Suci!”
Aku berjanji akan membongkar keburukan seorang Suci! Bening Syalia Suci, seorang perempuan yang ternyata tidaklah sesuci seperti namanya!
Lihat saja! Akan kubongkar siapa kamu sebenarnya!