Part 9. Jadi Ratu? You wish!

1350 Words
Rafi “Bukankah sudah kubilang kalau aku tidak mau tidur sekamar denganmu! Ini kamarku! Aku tidak suka ada orang asing masuk ke kamarku!” aku menunjuk kamar utama yang super luas di rumah ini, “yang itu kamarmu!” aku tunjuk sebuah kamar dengan ukuran kecil di belakang, dekat dapur. Memang bukan kamar untuk asisten rumah tangga, tapi tetap saja ukurannya tidaklah seluas kamar utama ini. Resmi per hari ini, Suci tinggal bersamaku di rumahku yang home sweet home. Padahal sungguh aku berharap agar Suci tidak ikut denganku ke Jakarta, biar saja dia tinggal bersama eyang di kampung sono, tempat asalnya. Toh yang penting aku sudah berperan menggantikan Rayan dan keluarga besar tidak menanggung malu. “Aku yakin kamar itu jauh lebih bagus dibanding rumahmu di kampung sana!” bentakku, “aah satu lagi. Seperti yang pernah aku katakan, jangan harap kamu akan menjadi ratu di rumah ini. Semua harus kamu lakukan sendiri karena aku tidak mau ada asisten.” Aku menyeringai penuh kepuasan. Lihat saja, akan kubuat hidupmu menderita karena telah mempermainkanku. Suci mengangguk dan terbitkan senyum kecil, “baik, kak Raf, saya akan ke kamar dulu untuk istirahat.” Dia menggeret kopernya yang cukup besar dibanding tubuh mungilnya. Aku heran, kenapa dia tetap bisa tersenyum sih? Bukankah seharusnya dia menangis meraung-raung terus minta pulang? Apakah dia bebal? Atau sudah tidak punya rasa malu? Hah, pasti saja dia tidak punya malu karena sudah habis di klub malam. Setelah tidur siang dua jam, aku putuskan untuk keluar rumah dan bertemu teman-teman. Saat keluar dari kamar, aku lihat Suci sibuk beberes dapur, entah apa yang dia lakukan, aku tidak tahu dan tidak mau tahu. Bukan urusanku. * Sudah dua pekan kami tinggal bersama, satu atap tapi beda kamar. Tidak seperti pengantin baru lainnya yang seharusnya menikmati hangatnya ranjang, aku dan Suci bagai orang asing yang tinggal di satu rumah. Mungkin juga bisa disebut kami bagai anak kos tapi tanpa perlu membayar, lebih tepatnya dia yang tinggal gratis di sini. Apakah aku menyentuhnya? Jika definisi menyentuh adalah kami bersenggolan tapi tanpa sengaja, iya, sesekali kami bersenggolan. Tapi jika definisi untuk aku menikmati hangatnya tubuh Suci di ranjang, tidak, aku tidak lakukan itu. Aku tidak mau mendapatkan tubuh bekas dijamah banyak lelaki! Aah, andai saja eyang tahu siapa dan kelakuan Suci, pasti eyang menyesal karena menjadikannya sebagai mantu di keluarga Malik. Yang aku heran, dia selalu bisa tersenyum walaupun aku bentak atau omeli. Padahal biasanya aku tidak seperti ini, aku bukanlah lelaki yang jahat pada perempuan. Tapi mengapa sejak melihat foto Suci digerayangi banyak tangan lelaki di klub, otakku sudah memberi cap buruk padanya! Murahan! Mungkin saja sampai sekarang dia masih lakukan profesi itu saat aku di kantor. Buktinya, dia tidak pernah kehabisan uang padahal aku sengaja memberinya sangat terbatas. Dia tidak pernah meminta tambahan padaku. Jika aku ada di rumah, dan ini sangat jarang kecuali mama dan papa datang, dia pasti ada di kamarnya, entah melakukan apa. Baru keluar jelang jam makan untuk siapkan makanan. “Kak Raf, maaf, saya minta tolong,” kata Suci di suatu pagi. “Jadi orang tuh jangan merepotkan!” bentakku kesal saat dia meminta tolong diambilkan penggorengan yang ada di kabinet atas. Tubuh mungilnya membuatnya tidak bisa meraih alat masak itu. Aku seringkali mengomelinya untuk tidak merepotkanku. “Iya, maaf. Tapi saya tidak sampai ke lemari kabinet yang paling atas,” jawabnya sambil meringis, “mama bilang nanti mau mampir untuk makan siang bersama kita. Jadi saya mau masak untuk mama dan papa juga.” Saat berkata itu, wajahnya sedikit berseri. Mama sangat menyayangi Suci dan hal itu membuatku tambah kesal. “Jam berapa mama dan papa mau datang?” tanyaku. Kenapa mama tidak menghubungiku, malah menghubungi Suci sih? Ini sebenarnya yang jadi anak siapa? “Kata mama Insya Allah jam sebelas sih. Masih ada banyak waktu untuk saya masak dan beberes rumah.” Usai berkata itu, Suci bergegas mengambil sapu dan alat pel. “Tunggu,” cegahku, membuatnya berhenti dengan tatapan mata bingung, “jika mama papa atau ada saudara kita yang datang, kita harus berpura sebagai suami istri beneran. Pindahkan beberapa bajumu ke lemariku agar mama tidak curiga.” Titahku sekaligus pemberitahuan untuk usir kebingungannya. “Kenapa harus berpura-pura Kak? Kita kan memang suami istri beneran. Buku nikahnya ada loh, nih cincin juga saya pakai.” Dia malah menjawab dengan nada menggoda. Senyum tetap terbit di bibirnya. Huh, dasar murahan! “Jangan berharap terlalu tinggi! Kita akan terikat pernikahan hanya saat eyang masih hidup. Setelah itu, jangan khawatir, aku akan menceraikanmu! Aku tidak mau direpotkan oleh perempuan sepertimu!” Kalimat yang aku ucapkan tadi mampu pudarkan senyum di wajah manis Suci. Kodrat seorang perempuan yang sepaket dengan air mata, aku lihat tadi matanya sudah berkolam. Tapi, aku sudah memutuskan bahwa pernikahan ini hanya selama eyang masih hidup! “Baiklah, jika itu keinginan Kak Rafi, saya bisa apa?” jawabnya lirih kemudian berlalu dari hadapanku. Ternyata belum jam sebelas siang mama dan papa sudah datang. “Assalamualaikuuum…., mana mantu mama?” mata mama mencari keberadaan Suci. Aaah aku lupa melarang Suci mandi di kamarnya! “Raf, mana istrimu?” selidik mama, memindai dapur mencari keberadaan Suci. “Euum tadi sih beberes kamar itu mah,” tunjukku ke kamar yang biasa dipakai Suci. Mama bergegas menuju kamar itu tapi aku bersyukur dalam hati, semesta masih berpihak padaku karena tepat saat itu juga Suci keluar kamar. Wajahnya sedikit terkejut melihat keberadaan mama. “Eeh mama sudah datang? Sudah lama mah? Maaf, saya baru man…” aku berdehem agar Suci tidak jadi lanjutkan kalimatnya, seharusnya dia paham kodeku, “eeh baru membereskan kamar ini mah.” Fiyuuuh, aku mendesah lega mendengar itu. Mama juga segera terdistraksi dan heboh membantu Suci menyiapkan makanan untuk makan siang kami. “Wah ini kamu masak sendiri? Sup ayam, bihun goreng, tempe goreng dan sambal kecap. Uuuh mama langsung lapaaarrr. Pah, ayuk kita segera makan.” Usai makan siang yang berlangsung lancar tapi penuh kepura-puraan dariku dan Suci, mama mulai menginterogasiku. “Raf, rumah ini luas, ada kolam renang juga. Mama tidak tega jika Suci harus lakukan semua sendiri, kasian istrimu. Besok mama akan kirim satu asisten untuk membantu pekerjaan rumah, biar Suci tidak kelelahan jadi mama dan papa bisa segera momong cucu.” Tanpa babibu, mama langsung saja menembak. Wajah mama berbinar saat berkata ‘momong cucu’. “Tapi mah...,” tentu saja aku menolak. Aku yakin orang itu akan menjadi mata dan telinga, melaporkan apa yang terjadi di rumah ini pada mama! Aku melirik ke arah Suci untuk minta bantuannya. “Kenapa kamu menolak? Ada yang kalian sembunyikan dari mama?” kami kompak menggeleng, “berarti tidak usah ditolak! Kecuali kamu mau membantu istrimu beberes rumah.” Kejar mama lagi. “Tidak apa-apa mah, saya masih bisa lakukan semua sendiri kok.” Aku bersyukur Suci paham maksudku. “Suci, kamu tuh jadi istrinya Rafi baru dua mingguan loh, tapi tubuhmu sudah kurus kering begini. Mama curiga Rafi tidak memperlakukanmu dengan baik ya?” tanya mama lagi, di depanku dan Suci. Aku mendelik mendengarnya. Bisa-bisanya mama bertanya itu seakan aku tidak ada di sini? Suci melirik ke arahku, awas saja jika dia berani berkata jujur. Eeh tapi kenapa bicara jujur malah gak boleh sih? “Alhamdulilah Kak Rafi baik kok mah. Akhir-akhir ini nafsu makan saya memang berkurang, mungkin karena penyesuian dengan udara Jakarta yang panas dan kangen dengan ibu di kampung.” Jawabnya diplomatis. Aku tidak menyangka ternyata dia pandai juga menyembunyikan perasaannya selain pandai berbohong. Huh, dasar manipulatif. “Aaah, apakah kamu juga merasa mual? Pusing?” tanya mama dengan antusias. “Iya, beberapa hari ini. Mungkin saya masuk angin karena tidur kemalaman terus.” Jawab Suci. “Kemalaman? Raf, kamu semangat banget ya, mentang-mentang pengantin baru. Uuh, mama bersyukur banget. Eh tapi Raf, tahu hal ini?” lonjak mama dengan gembira. Wajah mama berseri, bertepuk tangan seperti anak kecil mendapat es krim. Heh, tahu apa? Kami kan beda kamar! Dia ngapain aja di kamar, tidur jam berapa aku tidak tahu dan tidak mau tahu! Aku melihat mama dengan bingung. “Tahu apa mah?” akhirnya aku bertanya dengan bodohnya. Kerongkonganku kering, aku butuh minum. “Kalau Suci hamil?!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD