Rafi
Aku menyemburkan air yang kuminum ke arah papa yang duduk tepat di depanku. Walhasil aku diomeli papa dan mama. Sedangkan Suci hampir saja menjatuhkan piring yang dia cuci, untung dia sigap memegang lagi.
“Rafi jorok! Kenapa kamu semburin air ke arah Papa?” teriak papa sambil melap wajah dengan lengan kemejanya.
“Aku kaget pah, maaf banget. Mama apa-apaan sih?” aku melihat ke arah mama yang balik menatapku dengan tajam.
“Loh emangnya mama salah apa? Itu kan ciri bagi perempuan yang sedang hamil muda. Mual, muntah, pusing. Suci mengalami itu semua. Wajar kan mama bilang kalau Suci hamil.” Tutur mama, seperti biasa tidak mau kalah.
“Pah, kita akan segera punya cucu! Akhirnya aku bisa pamer cucu ke teman-teman arisan!” pekik mama dengan gembira.
Ya Tuhan, demi apa coba? Ingin punya cucu agar bisa dipamerkan ke teman-teman arisan? Sebuah alasan yang tidak masuk akal bagiku.
“Suci, mama ingin cucu perempuan!” teriak mama dengan gembira, mengambil dua tangan Suci dan dihentak berkali-kali bak anak kecil mendapatkan es krim satu friser!
Aku tidak tega hancurkan kebahagiaan semu mama, tapi mama harus tahu bahwa, “Suci gak mungkin hamil mah!” jawabku, gak mungkin dia hamil anakku kan, entah kalau anak lelaki lain, tapi aku tidak bisa utarakan hal itu di depan mama papa atau aku bakalan diomeli tujuh hari tujuh malam tanpa henti.
Bagaimana bisa hamil kalau aku saja tidak menyentuhnya. Malas aku menyentuhnya. Hiiy... membayangkan dirinya bekas dijamah banyak lelaki membuatku illfeel.
“Kenapa tidak mungkin? Kalian suami istri yang sah kan?” kembali mama menatapku tajam, duuh sepertinya aku salah bicara, gawat ini.
“Kecuali Raf, kalian belum gituan dari semenjak sah menikah?!” tebak mama, semakin mengejar karena tidak puas dengan jawaban yang aku berikan, “kenapa kalian diam saja? Apa yang mama katakan tadi benar, Raf?” kali ini nada mama super tajam dengan ekspresi mendelik.
Bahkan mama melangkah ke arahku. Aku merasa bagai domba yang didekati serigala untuk dimangsa, terpojok tanpa tahu harus melarikan diri ke mana.
“Jawab mama, Rafi Wiryawan!” tegas mama padaku membuat nyaliku semakin menciut. Aku melihat ke arah papa, minta bantuan, tapi papa malah kedikkan bahu. Akhirnya aku melirik ke arah Suci, hanya dia yang bisa selamatkan aku dari amukan mama cantikku ini.
“Mah,” suara lembut Suci membuat mama menoleh ke arahnya, “saat ini Suci tidak mungkin hamil karena sedang datang bulan.” Katanya dengan senyum selebar lima jari. Aku tidak tahu alasannya itu benar atau dia sengaja mengarangnya, toh bukankah dia terbiasa berbohong bukan? Tapi yang penting aku terbebas dari amukan mama.
“Ooh gituuu,” suara mama terdengar kecewa, “hufft mama kira akan segera dapat cucu dari kalian. Berarti kita harus lebih sabar menunggu ya pah?”
Kali ini aku menjaga agar mulutku tidak berucap diksi apapun daripada salah bicara lagi. Hanya saja saat aku melihat ke arah mama, ada tatapan curiga, tidak percaya padaku. Aku kedikkan bahu saja.
“Raf, mama dan papa ke sini tuh mau jemput kalian.” Kali ini papa yang bersuara, aku mendongak dan melihat ke arah papa.
“Jemput? Memangnya kita mau ke mana?” tanyaku dengan polosnya.
“Besok pagi, saudara mama dari Auckland akan datang, mereka ingin berikan selamat padamu dan Suci. Setelah itu ada acara makan siang di rumah.” Mama menjelaskan.
“Ya sudah, kami akan datang besok pagi-pagi jadi tidak perlu menginap kan mah?”
“Kenapa kamu tidak mau menginap?” mama semakin curiga padaku, “nanti malam mama mau ajak Suci makan malam dengan Oma Markis dan teman arisan mama. Jadi kami harus bersiap dari sore hari.”
Aku tidak tahu apa yang membuat mama sangat menyukai bahkan tersihir oleh Suci. Apakah mama perlu tahu siapa Suci sebenarnya jadi tidak akan tertipu lagi oleh penampilan alimnya?
“Nanti aku antarkan Suci ke restoran tempat mama bertemu teman-teman mama ya.” Aku tetap mencari alasan agar kami tidak tidur di rumah mama malam ini. Bisa gawat!
“Enggak! Mama sudah pesan make up artist untuk datang ke rumah. Pokoknya setelah istirahat siang, kalian ikut mama ke rumah. Titik!” akhirnya mama menyudahi tarik urat di antara kami dengan hasil tentu saja aku yang kalah.
“Iya mah.” Jawabku pasrah. Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. Pada akhirnya aku pasti akan mengalah demi mama.
“Nah gitu dong. Suci, kamu istirahatlah dulu. Mama dan papa masih ada yang harus dibicarakan dengan Rafi.” Entah kenapa saat berbicara pada Suci, mama bisa sangat lembut, rasanya seperti aku yang jadi anak tiri.
“Iya mah.” Jawab patuh Suci.
“Raf, kita ke taman belakang saja.” Mama berjalan mendahului aku dan papa. Aku hela nafas dan segera ikuti mama sebelum disemprot omelan.
“Rafi Wiryawan Malik ,” keningku berkerut saat mendengar mama memanggil namaku dengan lengkap, perasaanku jadi tidak enak, pasti setelah ini akan ada ocehan dan omelan atau interogasi, “mama ingin bertanya dan kamu harus menjawab jujur.”
“Apa mah? Memangnya Rafi pernah bohong ke mama?” tanyaku dengan cengiran khasku.
“Kamu gak bilang yang sesungguhnya ke kami, itu kan sama saja bohong, Rafi!” tegas mama lagi. Aku meringis, padahal maksudku itu kan untuk menjaga perasaan mama.
“Apakah kamu dan Suci belum pernah gituan sejak kalian menikah?” tanya mama to the point.
“Gituan? Maksud mama apa sih?” tanyaku berpura tidak paham.
“Kamu jangan pura-pura tidak paham apa maksud mama!” mama mencubiti lenganku, walau tidak terasa sakit aku berpura mengaduh kesakitan.
“Aduuh, sakit mah! KDRT ini ke anak. Papa gak menolongku?” tanyaku minta pertolongan papaku yang memang irit bicara.
“Salahmu sendiri! Makanya yang bener kalau menjawab pertanyaan.” Bukannya menolong, papa malah ikut memojokkanku. Ini bagai anak domba yang disergap oleh dua serigala.
“Iya iya. Ini yang gituan itu ya, mah? Jika yang mama maksudkan adalah dengan hubungan badan atau hubungan suami istri, ya, kami memang belum lakukan itu.” Aku bertutur pelan agar mama tidak melemparkan kursi ke wajahku. Jangan salah, kalau sedang emosi, tenaga wanita itu bisa seperti Hulk!
Mata mama melotot, sesuai perkiraanku, “kenapa belum? Jangan-jangan kamu kebanyakan baca novel online ya, gak mau menyentuh istri karena pernikahan yang terpaksa? Kamu menganggap Suci hina, gitu? Najis? Hingga kamu tidak mau menyentuhnya?”
“Hah? Itu kan mama sendiri yang bilang loh ya. Alasanku ya karena aku memang tidak berselera pada Suci.” Jawabku asal. Kurasa itu jawaban paling aman untuk sekarang ini.
“Biar mama tebak, seleramu tuh perempuan berpakaian seikhlasnya ya? Yang hanya mengutamakan kecantikan semu tapi aslinya nol besar!” kata mama.
“Berpakaian seikhlasnya tuh apa sih mah?” kali ini aku dan papa bertanya bersamaan.
“Pakai baju keponakannya loh pah, yang cuma seuprit gitu, kebuka dimana-mana. Terus dandan pakai make up dempulan untuk menutupi kepalsuannya.” Mama semakin berapi-api.
“Memangnya ada yang salah dengan itu mah?” tanyaku, nekat membuka konfrontasi dengan mama, padahal aku jujur bertanya kenapa itu jadi masalah.
“Rafi!” papa mendelik.
Mama menghela nafas, matanya mendelik dan nampak sangat marah padaku.
“Raf, berpakaian itu juga mencerminkan seseorang. Jika pakaiannya saja tidak pantas, lalu bagaimana dia bisa menjaga dirinya? Menjaga marwahnya sebagai perempuan? Sebagai seorang istri, seorang ibu, sebagai menantu?” desis mama.
For your info mamaku bukalah perempuan yang sangat agamis, baju yang dipakai mama juga bukanlah gamis syar’i atau jilbab super besar. Tapi mama selalu berpenampilan sopan. Sedangkan Suci lebih sering memakai kaos yang kebesaran untuk ukuran tubuhnya yang relatif mungil. Rok lebar, kaos berukuran besar dan jilbab yang menutupi hingga dadanya.
“Pantas atau tidak itu kan relatif untuk ukuran subyektif seseorang mah. Untuk mama mungkin itu tidaklah pantas, tapi bagi orang lain bisa jadi itu wajar dan pantas kan? Lagipula, jangan tertipu dengan penampilan mah. Kulit pembungkus bisa jadi bagus, indah, membungkus rapi isi di dalamnya tapi nyatanya itu hanya untuk menutupi isi yang rusak dan kotor.” Jawabku panjang lebar.
“Maksudmu apa Raf? Mbok ya langsung to the point!”
“Bisa jadi yang pakai baju seikhlasnya itu punya moral dan kualitas yang lebih baik daripada perempuan munafik yang menutupi kebusukannya dengan memakai baju serba tertutup.” Akhirnya keluar juga kalimat itu dari bibirku.
“Raf, maksudmu Suci itu munafik? Apa ada yang kamu ketahui tapi tidak kami ketahui? Katakan pada kami.” Kali ini suara mama meninggi.
“Rafi,” papa menepuk pundakku, “untuk kesekian kalinya papa ingatkan, jangan sembarangan menuduh. Dosa itu, apalagi jika yang kamu tuduh adalah perempuan baik-baik.”
“Aku tidak sembarangan menuduh pah. Papa dan mama tahu pasti aku kan?”
“Mana buktinya, Raf? Jika tidak ada bukti, mama hanya akan anggap ini alasanmu saja karena kamu tidak mencintai Suci.”
Aku tersenyum miris, tidak mungkin aku tunjukkan foto itu pada mama dan papa. Bisa-bisa keduanya kena serangan jantung karena selama ini salah menganggap menantunya itu adalah gadis baik-baik.
“Tunggu sampai aku bisa buktikan siapa sesungguhnya Suci itu. Yang pasti dia tidaklah sesempurna dan sesuci seperti yang kalian kira.”