Rafi
Waktu terus berjalan, tapi kehidupan kami bagai orang asing. Karena mama dan papa melarangku kembali ke Kanada, akhirnya aku bergabung di kantor yang digawangi Erlan. Sepupuku itu tidak memiliki usaha ini, dia hanya dipercaya untuk memimpinnya dan aku akan menjadi COO atau chief operating officer.
Aku tidak betah jika berlama-lama di rumah hanya berdua saja dengan Suci. Akhir pekan merupakan hal yang menyengsarakan untukku. Malas ke luar rumah juga malas ada di rumah! Aah aku ada ide. Aku akan undang teman-temanku saja ke rumah, yang penting aku tidak berdua saja sama Suci yang tak suci itu.
“Hey kamu,” astaga bahkan untuk memanggil namanya pun aku masih saja malas, “nanti teman-temanku akan datang. Beresin rumah yang rapih, siapkan cemilan dan minuman kaleng dingin. Bir kalengan juga.” Kataku dengan nada perintah.
“Eeum baik. Jam berapa mereka datang? Apakah saya perlu memasak?” tanyanya lagi dengan sopan.
“Satu atau dua jam lagi. Tidak perlu masak, pesan online saja. Kamu siapkan cemilan. Dan ingat, jangan pernah mengaku bahwa kita suami istri. Hanya Erlan yang tahu bahwa kita menikah, tapi yang lain tidak tahu dan tidak perlu tahu.” Lanjutku lagi. Ada perubahan pada raut wajahnya tapi hanya sesaat saja karena dia berhasil menguasai emosinya.
“Baik.” Jawabnya singkat kemudia segera pergi dari hadapanku.
Entah kenapa aku tidak suka saat Suci menjadi sangat penurut seperti saat ini. Biasanya dia akan menjawab apapun yang aku katakan, entah bercanda atau serius, entah aku menghinanya atau tidak.
Saat keluar kamar selesai mandi, aku lihat sudah banyak cemilan tersedia di meja di depan televisi juga di meja makan. Aku buka lemari es untuk mencek stok minuman yang dia beli.
Heeuum ada banyak minuman kaleng. Tapi kok cuma soft drink? Mana birnya?
“Suci!!” teriakku, akhirnya aku panggil juga namanya, “ke sini cepat! Suciii!” titahku.
Selang beberapa menit dia terbirit keluar dari kamarnya dengan memakai mukena, “ada apa Kak Rafi?”
Jam segini pakai mukena? Adzan dhuhur belum juga berkumandang.
“Kenapa lama? Dipanggil berkali-kali juga!” tanyaku ketus.
“Maaf, tadi saya sedang mengaji. Kak Rafi butuh apa?” tanyanya, masih saja senyum itu ada di bibirnya padahal kan aku sudah mengomel berkali-kali. Apakah dia tidak lelah dengan segala kepura-puraannya? Huh, dia memang tipikal perempuan yang pandai dusta!
“Kenapa minuman kalengnya hanya soft drink? Birnya mana?” tanyaku sambil menunjuk lemari es.
“Aah gak cuma soft drink kok, ada juga s**u kaleng cap mama beruang yang terkenal itu, terus ada vitamin C, ada juga larutan penyegar kalengan, ada kopi kalengan berbagai merk. Saya beli sesuai yang Kak Rafi minta loh, berbagai macam minuman kaleng. Saya juga beli sirup cocopandan.” Jawabnya kalem.
Mataku mengerjap beberapa kali mendengar penjelasannya. Apakah dia sedang bercanda? Atau memang aku yang bodoh? Aku memang minta dia untuk beli minuman kaleng tanpa sebutkan merk apa. Maksudku dia harusnya kreatif, kan bisa beli bir juga seperti yang aku minta tadi.
“Aargh dasar perempuan kampung! Kamu gak beli wine atau bir kalengan?” tanyaku akhirnya.
“Haram Kak, kenapa harus minum bir jika ada banyak minuman lain yang halal sih?” tanyanya, membuatku semakin emosi.
“Kan ada juga bir kalengan yang non alkohol!” aku menggeram.
“Laah mendingan juga minum itu soft drink yang botol transparan kan? Yang labelnya hijau itu. Sama-sama ada soda tapi nol alkohol.”
“Spriteee??” pekikku tidak percaya.
“Iya.” Dia kembali tersenyum, tapi kali ini lebih ke senyum yang menandakan kemenangan. Hah!
“Astaganaga… aku titip Dandy saja kalau begitu.” Kataku.
“Euum Kak Rafi mau bir tanpa alkohol ya? Gak perlu khawatir, saya bisa siapkan. Tanpa alkohol dan malah menyehatkan loh. Tunggu saya buat dulu, sebentar saja kok.”
“Huhh, ya sudah segera kamu siapkan. Sebentar lagi teman-temanku datang.” Mungkin karena sedang kesal, aku tidak memahami perkataan Suci. Aku tidak tahu apa yang dia lakukan di dapur setelah dia bilang akan siapkan bir tanpa alkohol, tapi kenapa perasaanku tidak enak ya? Suci tidak mungkin siapkan yang aneh-aneh kan? Aah sudahlah, yang penting aku dan sahabatku bisa bersenang-senang.
Tidak berapa lama ketiga sahabatku, Erlan, Angkasa dan Dandy datang bersamaan dengan turunnya hujan. Hanya Erlan yang tahu status pernikahanku dengan Suci, tapi dia bukan tipe yang suka ember, jadi aku tidak perlu khawatir dia akan membocorkan ada hubungan apa antara aku dan Suci.
“Karena hujan, kita di dalam rumah aja ya, gak jadi berenang deh. Kita main PS, gue punya konsol terbarunya loh.” Ajakanku langsung disambut hangat oleh yang lain. Boys will always be boys, walau sudah dewasa semua tapi tetap saja kami akan heboh jika main game.
Padahal kami hanya berempat tapi ramai sekali, menyaingi penggemar sepak bola jika sedang menonton pertandingan secara live. Selang beberapa menit, mereka sudah berisik minta minuman dan cemilan.
“Raf, gak ada cemilan atau minum nih?” tanya Dandy dengan mata yang tetap fokus ke layar televisi datar berukuran super besar itu.
“Kalau makanan gue pesen online tadi, pizza tuh, bentar lagi sampai kok. Tapi kalau minuman ntar gue minta disiapin dulu.” Jawabku, meluncur ke kamar Suci.
“Disiapin? Sama siapa, Lan? Rafi tinggal sama siapa di rumah mewah sebesar ini?” aku masih bisa mendengar Dandy bertanya pada Erlan. (Kisah empat sekawan ini bisa dibaca di Tantangan 100 Hari (Tidak Boleh) Jatuh Cinta.
“Ntar kalian bakalan lihat siapanya kok, sekalian aja kenalan.” Jawab Erlan sok diplomatis. Aku mendengkus mendengar itu.
“Suci,” aku mengetuk pintu kamarnya, hanya butuh dua kali ketukan dia sudah munculkan wajahnya membuatku kaget, “kamu bikin aku kaget! Buru keluar dan hidangkan minuman untuk teman-temanku.” Titahku padanya.
Seperti biasa, terbit senyum di bibirnya, “baik Kak, tunggu sebentar saya berpakaian yang pantas dulu.” Eeh apa maksudnya berpakaian yang pantas? Apakah dia ingin tampil centil di hadapan teman-temanku? Huuh, harusnya mama lihat ini. Menantu kesayangannya ingin menggoda lelaki lain!
Sebentar, sebentar, kenapa aku terdengar cemburu? Tapi untuk apa aku cemburu?
Aku kembali duduk di sofa lanjutkan permainan tapi entah kenapa tidak bisa berkonsentrasi penuh. Bayangan ucapan Suci untuk berpakaian pantas membuatku penasaran, hingga…
“Eeh Suci, aku bantu ya. Dasar Rafi ini emang, gak guna banget sih elu jadi lakik, cuma nyuruh-nyuruh doang tapi gak bantu, tega nyuruh Suci bawa cemilan dan minuman sendirian.” Erlan, sepupuku itu, segera menghambur ke arah Suci kemudian mengambil alih nampan yang berisi piring-piring penuh dengan kacang kulit.
“Terima kasih Mas Erlan.” Jawab Suci tentu dengan senyumnya, entah kenapa aku tidak suka saat dia memberikan embel-embel mas pada Erlan. Entahlah, terdengar sok akrab dan menggoda! Huh, memang dasar perempuan penggoda!
Aku melihat ke arah keduanya dengan tatapan tidak suka. Aku tahu baik Suci dan Erlan menjaga jarak agar mereka tidak bersentuhan fisik, tapi tetap saja aku merasa Suci terlihat malu-malu di sebelah Erlan. Kenapa juga dia malu-malu sih?
Aku perhatikan penampilan Suci. Dia memang berganti baju, memakai rok panjang dipadu dengan kemeja yang oversized untuk tubuhnya, juga jilbab warna senada kemejanya, peach. Sebenarnya tidak berlebihan kok, toh biasanya dia juga berpenampilan seperti itu, hanya saja kali ini ada polesan bedak dan lipstik walau tipis.
Itu membuatku tidak suka! Artinya dia berdandan untuk lelaki selain suaminya kan?
Suami? Memang siapa suaminya? Kamu heh? Baru merasa kalau statusmu ini suami Suci?Aku menggeleng, berusaha mengusir suara hati yang mendadak muncul entah dari mana dia selama ini.
“Silakan, ini cemilan dan minumannya.” Kata Suci setelah meletakkan nampan di meja. Asa dan Dandy mengamati Suci dengan intens plus penasaran, membuatku kesal. Terutama Dandy yang memang flamboyan dan pandai merayu kaum hawa. Matanya bagai mau lepas dari rongga saat melihat Suci.
Perhatianku teralih pada gelas yang diletakkan di meja. Ada empat gelas tipe dimple mug juga empat gelas tipe nonic pint, delapan gelas kaca itu berisi dua pertiga penuh. Di gelas dimple mug kenapa nampak uap yang mengepul? Ini bir macam apa yang mengeluarkan uap panas seperti teh panas baru diseduh?
“Apa ini?” tanyaku setelah menghidu aroma dari dimple mug, kenapa seperti rempah-rempah? Gelasnya terasa hangat. Jangan bilang kalau ini adalah…
“Tadi Kak Rafi kan minta disiapkan bir, tapi kenapa harus pakai alkohol jika ada yang tanpa alkohol? Jadi saya siapkan bir pletok khas Betawi. Selain segar juga menyehatkan, apalagi di cuaca hujan seperti sekarang.” Jawab Suci dengan polosnya.
Erlan dan Dandy terbahak, Asa tersenyum simpul melihat mataku yang hampir saja keluar dari rongga. Pantas saja terasa pedas, ternyata karena jahe merah!
“Terus kalau yang di gelas itu apa? Bir pletok juga tapi pakai es gitu? Warnanya sama.” Aku bertanya dengan curiga, mengambil satu gelas nonic pint, sedikit mencicipnya, demi Tuhan, ini kaaan… Aku melotot ke arah Suci.
“Ooh bukan Kak, kalau yang pakai es itu bukan bir pletok karena bir pletok lebih nikmat diminum hangat. Itu sirup cocopandan terus saya kasih es, kan jadinya seperti wine seperti di film-film Hollywood itu. Warna sama kan, merah-merah juga.” Jawabnya tanpa rasa bersalah. Andai saja nampan tidak dipegangnya dengan dua tangan di depan rok panjang, mungkin akan ada flying nampan karena aku yang melemparnya!
Kali ini ketiga sahabatku tidak mampu lagi menahan tawa, mereka terbahak, Erlan terbungkuk-bungkuk, Dandy sampai keluarkan air mata, hanya Asa yang tertawa normal saja.
“Astagaaaa Suciii!!” teriakku putus asa.
“Ya, Kak Raf, ada apa?” ebuset dia masih bisa bertanya ada apa?
"Kamu serius ini minumannya ngasih ini?" tanyaku tak habis pikir.
“Kan Kak Rafi tahu kalau khamr itu haram dan bisa membuat mata buta atau kena penyakit lainnya. Kenapa masih nekat minta alkohol sih?”
“Suci! Gak usah kasih tausiyah deh. Ini beneran minumannya gini doang? Beli online saja minuman beralkohol atau yang ada anggurnya!” seruku ketus. Dia menatapku dengan kening berkerut seperti berpikir sesuatu.
“Baik, Kak, tunggu sebentar, ada kok.” Suci balik badan dan bergegas ke dapur membuka kulkas. Tak lama kemudian dia sudah kembali tapi kali ini mataku benar-benar akan keluar dari rongga saat melihat dua barang yang dia bawa!
“Ini, silakan. Sesuai permintaan Kak Rafi barusan.” Katanya super manis.
“I-Itu apa?” aku sampai tergagap bertanya padanya. Dia membawa botol berwarna putih yang sering ada di tukang bakso.
“Kak Rafi kan bisa lihat sendiri saya bawa sesuai permintaan. Ini anggur, jenis moon drops dan shine muscat. Kalau botol ini, cuka dengan asam asetat gasal dua puluh lima persen! Kak Rafi silakan minum ini sebotol langsung, kalau mau tuh kerongkongan terbakar. Kalau kurang, nanti saya beli lagi bisa kok, wong murah ini gak sampai sepuluh ribu sebotol.” Katanya.
Ketiga sohibku itu terbahak lagi bahkan sampai menangis dengan jawaban polos Suci yang membuatku naik pitam. Dia membawa anggur dan alkohol dalam artian yang sebenarnya!
“Kamuuu…. aargh!!”
“Sudahlah Raf, ini enak kok, terutama yang bir menyehatkan ini, kapan lagi kan kita bisa minum ginian? Kamu bikin sendiri ya Suci?” tanya Erlan dengan nada super manis pada Suci. Dijawab anggukan olehnya..
“Nanti aku minta ya, mama dan papa suka sekali bir pletok.”
“Baik Mas Erlan, nanti saya siapkan di tumblr untuk dibawa pulang.” Suci hendak beranjak tapi pertanyaan Asa mencegahnya pergi.
“By the way, kamu siapa? Apanya Rafi? Kenapa kalian tinggal berdua saja di rumah ini? Status kalian apa?” runtutan pertanyaan Asa sambil melihat ke arahku dan Suci, bergantian. Apakah dia curiga? Asa adalah lelaki kalem, tidak neko-neko, kami sering panggil dia pak ustad karena yang paling lempeng di antara kami. Aku takut dia bisa menduga siapa dan apa Suci di rumah ini.
“Saya…” Suci hendak menjawab, tapi segera kupotong.
“Namanya Suci, iya kami tinggal bersama di rumah ini.” Aku sengaja tidak memberi tahu status Suci pada mereka.
“Suci ya? Oiya kenalkan, saya, Dandy, sahabatnya Kak Rafi.” Dandy mengulurkan tangan untuk berkenalan dengan Suci. Gadis itu, jika dia masih gadis, melihat ke arahku tapi aku melengos saja hingga akhirnya Suci membalas uluran tangan Dandy, walau hanya ujung tangannya yang menyentuh membuat kening Dandy berkerut karena secepat kilat, kulihat dia segera menarik tangannya lagi.
“Kamu lucu banget sih, baru lulus SMA ya?” Dandy bahkan sampai membungkukkan tubuh jangkungnya untuk bisa mensejajarkan dengan wajah Suci.
Heii…, kenapa dia berdiri begitu dekat dengan Suci sih? Aku bangkit dari dudukku tapi ditarik Erlan. Erlan menggeleng, tanda aku harus hentikan diri.
“Euum enggak kok Pak Dandy, umur saya sudah dua puluh empat tahun loh.” Suci sampai mundur dua langkah untuk sedikit menjauh dari Dandy.
“Pak Dandy? Jangan panggil aku pak, dong. Berasa tua banget kalau dipanggil pak sama kamu. Kamu panggil Rafi, Kak Rafi, panggil Erlan, Mas Erlan, kenapa aku dipanggil Pak? Panggil Mas Dandy saja biar lebih akrab. Tapi, kamu apanya Rafi? Kok saya baru melihatmu hari ini.” Kejar Dandy, bertanya dengan senyum mautnya, mulai mengeluarkan jurus untuk menaklukkan gadis.
“Euum sa… saya…” Suci terbata menjawab pertanyaan itu. Dia bahkan melihat ke arahku seperti minta bantuan.
“Suci tuuh…”