Part 6

1057 Words
Ardy menoleh masakan yang dibuat oleh Jihan. Mengenakan hem dan celana mendekat ke meja. "Kelihatannya lumayan enak." Mengambil sendok ingin mencicipi sesuap. Lalu tiba-tiba berhenti menyendok makanannya. "Eh tapi.. gadis jelek itu gak masukin racun kan ke makanan ini? atau obat pencahar?!" Curiga pada Jihan. "Dia tidak akan berani!" Melanjutkan makannya lagi sampai suapan terakhir. Di kamar Jihan menyiapkan peralatan yang akan digunakan menyelinap ke rumah Herman nanti malam. Memasukkan semuanya ke dalam ransel hitam. "Tok, tok, tok!" Suara ketukan pintu kamar. Jihan segera menendang ranselnya ke kolong kasur. Untuk menyembunyikannya. Membuka daun pintu sedikit, lalu melongokkan kepala keluar pintu. "Ada apa?" "Kamu ngapain mengurung diri di kamar?" tanya Ardy. "Bukan urusanmu! kalau tidak ada yang penting aku masuk dulu, braaakkk!" Menghempaskan daun pintu, menutup dengan kasar. "Duk! Duk! Duk! aoowhhh sakit.." Tiga kali Ardy menjedotkan keningnya di dinding dengan sengaja. "Aduuuh jidatku!" Teriak Ardy pura-pura mengelus kening menahan sakit. Jihan terkejut mendengar Ardy berteriak di luar pintu kamarnya. Kemudian ia segera berlari membuka pintu. "Anda kenapa?" Tanya Jihan mengamati wajah Ardy. "Ini, sakit sekali." Menunjuk jidatnya yang merah. "Sekeras itu kah? ah maaf saya tidak sengaja tadi." mencoba tersenyum garing. "Kamu harus bertanggung jawab!" Gertak Ardy. "Iya saya akan mengambilkan obat, tunggulah di sini." ujar Jihan sembari menuntun duduk di kursi ruang tengah. "Aku tidak mau di sini, pergilah ke kamarku lantai atas. Aku tunggu di sana saja! kepalaku pusing aku ingin berbaring! Jangan suruh bi Sumi untuk menggantikanmu! ini ulahmu jadi kamu yang harus mengobatinya!" Cerocosnya dengan mimik wajah pura-pura cemberut. Melangkah naik ke lantai atas. Jihan menelan ludah sambil berkacak pinggang melihat perilaku Ardy. "Makin hari dia makin tambah tidak waras! apa yang ingin dia lakukan denganku di kamarnya? tapi luka memar di keningnya terlihat nyata sekali." "Ah mungkin aku yang terlalu banyak berpikir." Mengambil kotak obat lalu membawanya naik ke lantai atas. "Tok! tok! tok!" "Masuklah, aduh keningku sakiiiiiit sekali, cepat obati. Kepalaku juga pusing mau pingsan rasanya." Pura-pura merintih. Jihan membawa kotak obat lalu duduk di tepi ranjang di samping Ardy berbaring. Jihan membersihkan luka dengan antiseptik, dilihatnya Ardy sekilas yang terus-menerus menatapnya tanpa berkedip. "Kenapa melihat seperti akan menelanku?" tanya Jihan datar pada Ardy, seolah itu tidak membuat dadanya berdebar sama sekali. "Kenapa kamu memilih bekerja di sini? apa sebelumnya kamu sudah mengenalku? lalu sengaja mendekatiku untuk mengambil hatiku? atau untuk merayuku karena aku sangat tampan?" Tanyanya memecah keheningan. "Seandainya bisa memilih, aku lebih memilih tidak tinggal di sini!" jawab Jihan dalam hatinya. "Anda terlalu berlebihan sekali. Bukan itu, tetapi karena lebih dekat untuk pergi ke kampus, dan gaji yang tertera lumayan besar!" itu yang terlontar dari bibir gadis itu. "Apakah kamu benar-benar tidak tertarik denganku?" meneliti wajah Jihan dengan jarak dekat untuk mendapatkan jawaban. "Mana mungkin saya berani, anda majikan saya. Bukankah jika begitu saya ini tidak tahu berterima kasih?" Memaksa tersenyum sambil beringsut mundur, karena Ardy tiba-tiba duduk sedekat itu. "Apakah kamu tidak berdebar sama sekali jika kita dekat seperti ini?" Tanyanya lagi sambil menarik pinggang Jihan, menahannya agar tidak beringsut menjauh. "Tidak sama sekali, ini membuat saya berfikir bahwa anda adalah pria m***m, saya rasa sudah selesai dan besok pasti lukanya akan membaik. Permisi." Dengan suara terbata-bata, melangkah keluar menutup pintu perlahan. "Astaga jantungku hampir melompat keluar!" Bisiknya ketika sudah berada di luar pintu. "Mukanya merah begitu, masih saja mengelak!" Ujar Ardy melihat kaki gadis itu bergetar ketika melangkah keluar dari kamar. Ardy melangkah keluar kamarnya, berpesan kepada bi Sumi kalau dia akan kembali agak malam. "Bi nanti saya mau keluar sebentar karena ada urusan sedikit." Kata Jihan pada bi Sumi. Berjaga-jaga jika nanti Ardy bertanya pada Bu Sumi tentang keberadaan dirinya. "Iya neng, tapi jangan terlalu malam ya pulangnya. Karena Tuan Ardy tidak suka jika pekerja di sini keluyuran malam-malam neng." "Tenang saja bi, gak malem banget kok." Ujarnya lagi dengan tersenyum. Jihan menuruni tangga, lalu masuk ke kamarnya untuk bersiap-siap. Mengenakan pakaian serba hitam dan masker. Kemudian melakukan panggilan dari arlojinya. "Halo! misi siap dilaksanakan!" Ujar Jihan menunggu perintah selanjutnya. "Sepeda motor sudah siap sepuluh meter dari sana!" Jawaban dari seberang. Jihan segera mengunci pintu kamarnya dari dalam, kemudian melompat keluar dari jendela kamarnya. Sepeda motor Jihan melaju di jalanan raya hitam pekat, pada pukul dua belas malam. Jihan kembali mengingat kasus dalam misinya. Menurut berkas yang ia terima, kepala keluarga Katamso memiliki hubungan terselubung dengan para kalangan atas, mengenai hilangnya dana amal dari perusahaan Erient. Jihan ditugaskan untuk mencari bukti-bukti mengenai hal tersebut. Herman adalah Presiden Direktur di perusahaan Erient. Keluarga Herman juga memiliki saham terbesar di kampus tempat Jihan kuliah. Sesampainya di rumah Herman Jihan mengendap-endap masuk melalui pintu samping. Karena keahliannya dia tidak kesulitan untuk membuka pintu. Berdasarkan petunjuk di dalam rumah Herman, terdapat tempat rahasia yang akan digunakan untuk berdiskusi dan pertemuan penting para pemuka perusahaan. Ruangan tersebut terletak di lantai bawah. Jihan tidak menemukan kunci masuk, lalu tanpa sengaja menyentuh lukisan di dinding. Jihan menggeser lukisan ke samping lalu pintu pun terbuka. Di dalam kamarnya Herman mendapatkan sinyal pada ponselnya bahwa ada penyusup masuk ke ruang rahasia. Jihan mencoba mengamati sekitar, menerka di mana berkas penting tersebut tersimpan. Di tengah ruangan besar itu terdapat meja oval besar, dan banyak kursi mengelilinginya. Tiba-tiba matanya tertuju pada sebuah vas bunga di sudut ruangan sebagai hiasan. Jihan menggesernya ke kiri dan menidurkan vas-nya. Di bawah vas tersebut ada kotak kecil, Jihan mencongkel menggunakan pisau saku, sehingga bisa mengambilnya. Setelah mendapatkan chip tersebut, Jihan mengembalikan pada keadaan semula. Beberapa saat kemudian Jihan mendengar suara langkah kaki memasuki ruangan. Jihan segera mengendap-endap untuk bersembunyi di dinding dekat pintu masuk. Nampak seorang masuk, lalu Jihan segera menyelinap keluar. Orang tersebut adalah Herman. Dia melihat bayangan hitam keluar di belakang punggungnya, lalu mengambil potongan kayu di belakang pintu dan dilemparnya tepat mengenai kaki Jihan. "Akh! Bruk!" Jihan memekik jatuh terhuyung. "Siapa kamu?!" Tanya Herman menggertak sambil menodongkan senjata. "Duaaaak! Bruuuk!" Dengan sigap Jihan menjegal kaki Herman hingga pria itu jatuh tersungkur dan senjatanya terlempar agak jauh. Jihan segera bangkit berdiri namun Herman menarik kakinya dan membuatnya jatuh kembali. Jihan jatuh, dia berada dalam tahanan Herman. Herman melihat ada bekas memar di kaki Jihan akibat lemparan kayu tadi. Herman tertegun sejenak menatap mata Jihan. "Matanya serasa tidak asing.." Bisiknya dalam hati. Kemudian Herman hendak membuka masker yang menutupi wajah Jihan. Pada saat itu bersamaan Jihan menendang perut Herman. Membuat pria itu jatuh kebelakang. Jihan tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk kabur.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD