Ardy terkekeh-kekeh melihatnya.
"Kita ke kampus sama-sama saja." Tawarnya pada Jihan.
"Gak deh, aku naik bus saja! ketimbang dicekik mati sama para perempuanmu itu!" Meringis, lalu pergi mendahuluinya.
"Kamu menolakku lagi???!" Teriaknya pada Jihan yang sudah berlalu tanpa menoleh lagi.
Jihan menghubungi Erico, duduk di taman dekat rumah Ardy.
"Ric, aku pakai motor itu untuk pergi ke kampus boleh kan?"
"Gak boleh, itu kan untuk penyelidikan!" Tandas Erico.
"Tapi kakiku sakit sekarang!" Ujarnya mencari alasan.
"Aku parkir di luar nanti." Tambahnya lagi.
"Tetep gak boleh, bahaya!"
"Eh Ric, si bos kok gak pernah ke kantor? apa jelek banget ya mukanya?? ha ha ha!"
Dalam bayangan Jihan si bos berbadan gemuk, pendek, dan berkumis.
"Gak tuh, si bos ganteng gak ketulungan kok!" Ujar Erico di seberang.
"Ric, ini berkasnya semua kamu rapikan, lalu taruh di rak paling atas!" Terdengar suara seseorang di telepon.
"Udah dulu ya, Si bos kasih perintah." Erico menutup teleponnya.
"Kayak familiar dengan suara si bos, tapi aku lupa di mana pernah mendengarnya" bisik Jihan sambil menggaruk jidatnya.
Sesampainya di kampus Jihan melihat Ardy duduk di kantin, dia ingin minum jus jeruk namun kemudian membatalkannya.
Ardy melihat Jihan berbalik, langsung berteriak memanggilnya.
"Woi Lina!"
Jihan berlagak tidak mendengar apapun.
"Woi pembantu ku?!" Jihan masih terus berjalan
"Woi pacar!" Jihan buru-buru berlari, menutup mulut Ardy menyumpalnya dengan keripik.
"Makan yang banyak ya!" Ucap Jihan dari balik masker sambil terus menyuapinya tanpa henti.
Ardy mencekal kedua tangan Jihan.
"Apa kamu gila?!" bisik Jihan marah pada Ardy.
"Minum jusmu dulu, baru pergi."
Buru-buru melepas masker kemudian menenggak minumannya sampai habis.
"Hoeeggg!" Jihan bersendawa sambil mengelus perutnya.
"Kamu tidak malu bersendawa di depanku?" Tanyanya pada Jihan.
"Tidak sama sekali, lagi pula aku tidak pernah memandangmu sebagai pria!" Berdiri pergi meninggalkan Ardy melongo karena tidak bisa mencerna ucapannya yang terakhir.
Jihan berjalan ke perpustakaan, dia melihat Herman duduk di ujung ruangan. Mengetuk meja lalu duduk di sebelahnya.
Herman terkejut melihat mata di balik masker itu.
"Mata itu adalah mata orang yang beberapa waktu lalu menyelinap di rumahku." Bisiknya dalam hati.
Lebih terkejut lagi ketika Jihan membuka maskernya.
"Kenapa pak?" Tanya Jihan padanya.
"Oh gak papa, aku hanya teringat pada seseorang yang mirip denganmu ketika memakai masker!"
"Deg!" Jihan teringat misinya, wajahnya mendadak menjadi pucat.
"Eh, kemarin anda menemuiku ingin membicarakan tentang apa?" Segera mengubah topik pembicaraan.
"Aku hanya ingin mengembalikan ini." Mendadak wajah Herman berubah, pria itu segera berdiri meninggalkan Jihan di sana.
"Secepat inikah identitas diriku terungkap?" Tanyanya pada diri sendiri seraya meremas kartu mahasiswi dalam genggaman tangannya.
"Jika dia mencurigaiku, akan sedikit sulit untuk mendapatkan informasi darinya, akh sialnya akuuuuuu!" Berteriak putus asa, mengaduk rambutnya sampai berantakan.
Arloji Jihan tiba-tiba bergetar. Jihan segera berlari ke dalam toilet.
"Misi selanjutnya akan dilaksanakan malam ini!" perintah dari seberang.
"Siap laksanakan!"
"Aiiissshhh.. padahal kakiku masih sedikit nyeri." Keluh gadis itu.
Ketika masuk ke dalam kelas Jihan sudah melihat Herman berada di sana.
Dia mengacuhkannya. Jihan merasa nyaman karena terbebas dari gangguan hari itu.
Setelah selesai pelajaran Herman melihat Jihan tertidur pulas.
Semua mahasiswa sudah keluar kelas, Herman berjalan mendekat ke arah Jihan, dia hendak memeriksa apakah ada luka di kakinya.
Jihan merasakan seseorang meraba ujung celananya.
"Hup Brak!" Dengan gesit Jihan meraih tangan Herman membanting ke lantai.
"Akh punggungku..." Herman merasakan sakit di punggungnya.
"Maaf pak saya spontan! he he he!"
"Kamu waspada sekali ya?!"
"Oh tadi kenapa anda menyentuh kakiku?" Tanya Jihan menyelidik mengangkat kedua alisnya. Sembari mengulurkan tangan kepada Herman untuk membantu berdiri.
"Ah tidak, itu tadi aku melihat tikus di kolong mejamu, jadi aku berusaha mengusirnya agar tidak menggigit kakimu." Ujar Herman berbohong.
"Apa tikusnya mirip dengan ini???!" Melemparnya ke muka Herman.
"Astaga!" Herman spontan melompat ke atas meja. Raut mukanya terlihat jijik.
Dengan santainya Jihan mengambil tikusnya kembali, lalu menciumnya di depan wajah Herman.
"Muaacch! Uh tikus sayangkuuuu." Menenteng tasnya pergi meninggalkan Herman yang masih berdiri di atas meja.
Sungguh kebetulan Jihan membawa boneka tikusnya di dalam tasnya, sengaja supaya orang ketakutan ketika sedang menggeledah barang miliknya.
"Hua haa hahah hhaaa, Dosen kok begitu?! kasian amat!!" Tertawa ngakak terpingkal-pingkal sambil geleng-geleng kepala sesampainya di luar pintu.
Ardy tidak sengaja lewat di depan kelas Jihan, melongok ke dalam melihat Herman berdiri di atas meja.
"Astaga! ngapain di situ?!" Tanyanya sambil tertawa terkekeh. Pergi meninggalkannya.
"Dasar Linaaaaaa!" Teriak Herman kesal menahan malu.
Jihan masih terus menjimpit ekor tikusnya memainkannya di depan muka sambil berjalan ke luar halaman kampus.
"Naik gih!" Ajak Ardy membuka pintu mobilnya. Berhenti di samping Jihan berdiri.
"Oh aku masih harus mampir ke suatu tempat mungkin balik agak malam, bye!" Gadis itu berlari kecil ke jalan menuju trotoar.
"Aku tidak tahu apa yang akan dia lakukan ketika tahu bahwa aku adalah bosnya. Apakah dia akan menimpuk kepalaku dengan palu?!!!" Pikir Ardy bertanya-tanya karena melihat segitu menderitanya Herman.
Sampainya di kantor polisi. Jihan menunggu berkas misinya. Kepalanya direbahkan di atas meja.
"Mana?" Ujarnya ketika melihat Erico keluar ruangan.
"Sebentar lagi." Ujarnya kembali memeriksa komputer.
"Nih." menyodorkan ke meja Jihan. Jihan membaca sebentar.
Di dalam berkas itu tertulis bahwa dia harus menyelinap kembali ke rumah Herman. Karena akan ada penyerangan dadakan dari pihak musuh. Misinya adalah melindungi Katamso, karena dia merupakan saksi penting.
"Ini perlengkapanmu untuk misi malam ini." Erico menyodorkan koper besar kepada Jihan.
Jihan membuka untuk memeriksa, koper tersebut berisi baju baru, beserta senjata lengkap.
Jihan segera menyiapkan segala sesuatunya yang harus di bawanya malam itu.
Di dalam rumahnya, Ardy memencet tombol di bawah tangga. Membuat tangga itu bergeser ke samping. Membuka pintu ke arah ruang bawah tanah.
Ardy yang hanya mengenakan kaos tipis menampakkan kekar otot-otot yang mengukir indah di sekujur tubuhnya. Kemudian memakai baju serba hitam dan menyiapkan peralatan untuk misinya.
Malam itu Jihan menyelinap ke rumah Herman sekitar pukul sebelas malam. Namun belum ada tanda-tanda penyerbuan.
Ardy menaiki motornya, melihat dari kejauhan menggunakan teropongnya.
Satu jam kemudian nampak sekitar sepuluh orang mengendap-endap membawa senjata memasuki rumah Herman.
Jihan mengikuti dari belakang dan memukul tengkuk para penjahat satu persatu dengan tangannya. Membuat mereka pingsan.
Tiga orang sudah berada di dalam rumah. Jihan melempar tali lalu naik ke lantai dua.
Herman mendengar langkah kaki lalu segera bangun, berjalan perlahan keluar kamar.
Seorang penjahat sudah menodongkan senjata api siap menembakkan peluru ke arah Herman.
Melihat itu Jihan segera menorobos melalui kaca jendela dalam sekali lompat.
"Praaang!" Kaca Jendela pecah, bersamaan dengan sebuah bidikan.
"Duus! Clark!" Jihan menembakkan pistolnya tepat mengenai leher penjahat tersebut. Membuatnya tumbang seketika.
Namun suara kaca pecah daun jendela, membuat para penjahat lain menyerbu ke arah suara berasal.