Di rumah, Ardy sudah menunggu sambil berkacak pinggang di depan pintu.
"Enak ya habis kencan dari taman?!" Ledek Ardy sinis.
"Hum?" Gaya cuek manyun masuk ke dalam rumah.
"Akh apaan sih?!" Keluh Jihan kesal gara-gara Ardy menarik kaos Jihan naik ke lantai dua.
"Duk! Akh!" Merintih. Kaki Jihan terantuk tangga. Darahnya kembali mengalir.
"Sesakit itu kah?" Tanya Ardy sambil risau memijat keningnya sendiri.
"Harus cepat pergi, atau darahku akan berceceran di mana-mana." Berkata dalam hati.
"Tuan Ardy, anda kok repot banget ngepoin saya? saya kan cuma pembantu di sini, sikap anda ini sungguh berada di luar batas kewajaran, saya permisi dulu mau masak. Dan tidak sepantasnya saya berada di dalam kamar majikan!" Menyeret kaki berjalan terseok-seok.
Menarik lengan Jihan meraih dalam pelukan.
"Apakah kamu sangat membenciku?" Tanya Ardy sedih.
"Pria ini kenapa lagi sih, latihan akting apa?!" Bisiknya pada diri sendiri, kemudian melepas pelukan tangannya. Kembali berjalan keluar.
Ardy segera mengejar, mendorong tubuh Jihan ke dinding.
"Bruuk! Akh! kamu kenapa sih?" Bertanya pada Ardy, merasa bingung dengan sikap majikannya itu.
Tanpa menunggu lagi.
"Hup..." Ardy melahap, mencium bibir Jihan, melumatnya dengan buas. Gadis itu melotot kaget, berontak namun Ardy lebih kuat menahan tubuh Jihan.
Jihan memukuli bahu dan lengan Ardy, agar melepaskannya tapi pria itu tidak peduli. Terus memagut menikmati bibir tipisnya.
"Seandainya kakiku tidak terluka sudah kutendang sampai berkeping-keping kaki pria c***l ini! Sekarang bahkan aku sendiri kesulitan menopang tubuhku!" Ujarnya lagi dalam hati.
Sepuluh menit kemudian Ardy melepaskan ciumannya.
"Plaaakkk!" Jihan penuh amarah menampar pipi majikannya.
"Mentang-mentang kamu pria kaya, sedang aku rakyat jelata seenaknya kamu menindasku!!"
Ardy mengusap bibirnya yang berdarah kembali menghimpit tubuh Jihan.
"Akh, bodohnya aku kembali memprovokasi pria gila ini, akhirnya jadi makin gila!!" Berbisik pelan.
"Kamu bicara apa barusan?" Tanya Ardy dengan tatapan liar, membuat gadis itu sangat terkejut.
Jihan segera merubah sikapnya, berura-pura lembut, mengalungkan kedua tangan di leher Ardy.
"Ah, tidak ada. Emm.. aku turun dulu ya?" Berusaha tersenyum manis, perlahan mendorong tubuh Ardy menjauh dengan dua jari telunjuknya.
Ardy tahu kalau Jihan sedang berpura-pura lembut.
"Ha ha ha ha, kamu tidak cocok bergaya menggoda begitu!" Ardy tertawa kencang.
Jihan sangat malu sekali memalingkan wajahnya ke samping. Mengalihkan pembicaraan.
"Oh iya aku mau mengangkat jemuran kayaknya lagi hujan di luar!" Ngibrit kabur.
Belum sampai ke pintu, Ardy menutup pintunya lalu mengantongi kuncinya.
"Wuahh, kenapa malah dikunci?" Berlagak pilon.
"Kemarau gini gak ada hujan, Linaaaa!" Ardy tertawa lebar melihat wajah Jihan gugup setengah mati.
"Lalu aku ngapain, di, di sini?!" Menjauh dari pintu melangkah ke tengah ruangan, khawatir kalau sandaran di pintu bisa di himpit lagi olehnya.
Ardy berjalan mendekat, Jihan menjauhinya.
"Aduh aku tidak bisa berdiri lagi, kakiku kram karena nyeri." Berbisik dalam hati, lalu terpaksa duduk di tepi tempat tidur.
Ardy tersenyum lebar.
"Kamu menyerah?!"
"Aku tidak sedang bermain, jadi kenapa harus menyerah?" Dengan berani membalas lontaran ucapan Ardy.
Pria itu berjalan mendekat merebahkan diri, secara tiba-tiba meletakkan kepalanya di pangkuan Jihan memeluk erat pinggangnya.
"Kamu! bangun cepat! lepas pinggangku!"
"Ogah ah males!"
"Kamu itu majikaaaaaaaaankuuuu!" Berteriak memaksa melepas tangan Ardy dari pinggulnya.
"Aduuuh! Bruk!" Ardy mendorong jatuh tubuhnya hingga rebahan.
Gadis itu ingin bangkit tapi kakinya sangat nyeri. Jihan dengan susah payah menahan punggungnya sendiri dengan kedua sikunya.
Tapi Ardy malah merangkak mengurung dengan lengannya.
"Sepertinya ada yang salah dengan posisi ini? ha ha ha ha!" Pura-pura tertawa menepuk bahu Ardy.
"Tolong ampuni aku, aku ngaku salah sudah bicara kasar sudah mengolok-olok, juga sudah menendangmu." Memohon merajuk pada Ardy.
"Memangnya aku ngapain kamu?" Tanya Ardy tertawa.
"Menahanku di sini?!" jawab Jihan dia segera menahan d**a Ardy agar tidak menimpa tubuhnya.
"Selain itu?" Tanyanya lagi.
"Men, menciumku!"
"Apa lagi?"
"Tidak ada lagi."
"Lalu kenapa kamu memohon-mohon?"
"Aku sendiri juga bingung kenapa kamu berada di atas tubuhku seakan hendak."
"Hendak apa?" Ardy mengerling nakal.
Jihan memutar otak, pura-pura memeluk pinggang Ardy seakan-akan menyambutnya. Meraba mencari kunci.
"Di mana kamu menyentuh?!" Tanya Ardy terkejut ketika Jihan meraba bagian bawah tubuhnya.
"Bukankah kamu menyukainya?" Menggamit leher Ardy, mencium bibirnya. Melumatnya dengan lembut, bagi pemula sepertinya terlihat sangat kaku dan canggung. Gadis itu berkonsentrasi mengambil kunci.
"Yes! dapat!" Bisik Jihan dalam hati.
Ardy menyambut ciuman Jihan, pria itu menahan bibirnya dengan ciuman lebih memanas, dia tahu itu siasat Jihan untuk mengambil kunci.
"Oke! ikuti permainannya!" Ujar Ardy dalam hatinya.
Kemudian tangannya merayap menggenggam tangan Jihan, meraih kuncinya lalu membuangnya entah kemana.
Jihan kwalahan mencakar punggung Ardy. Pria itu terus menciumnya tanpa peduli. Darah mengalir dari kaki Jihan ketika kaki Ardy menindih kakinya, membasahi sprei.
Jihan menjambak rambut Ardy dengan keras, tapi tetap saja Ardy tidak menyerah.
"Emmmhhh..mmmhh..mhh.." Gadis itu melenguh, merasakan jemari tangan Ardy mulai merayapi dadanya, meremas-remas bongkahan kenyal miliknya.
Jihan terus memukuli punggungnya, tubuhnya terasa lemas hingga akhirnya berhenti meronta. Beberapa menit kemudian akhirnya Ardy melepaskan ciumannya.
"Whuahahhhahhhaa!" Ardy tertawa terpingkal-pingkal, melihat bibir Jihan berubah menjadi tebal.
"Keterlaluan kamu!" Dengan wajah kesal menimpuk kepala Ardy.
Sampai pandangan mata Ardy jatuh ke bawah melihat darah di sana.
"Darah ini, aku tidak tahu jika dengan ciuman bisa merenggut kegadisanmu?" Melongo merasa bersalah.
"Dasar pria bodoh!" Umpat Jihan kesal. Turun dari tempat tidur melangkah menyeret kaki.
Jihan tidak mencoba mencari kunci, namun langsung mengambil kawat jepit rambutnya mengotak-atik kunci.
"Klak!" Kunci terbuka Jihan keluar dari kamar Ardy.
"Kamu bukan gadis biasa!" Ujar Ardy sambil tersenyum menatap kepergian Jihan.
***
Ardy mulai mengingat sesuatu, bagaimana Jihan masuk ke dalam kamarnya, padahal gerbang besi mengitari rumah tersebut memiliki pengaman, dan orang biasa tidak akan dengan mudah menerobos begitu saja.
Ardy tahu luka di kaki Jihan, dengan sengaja tidak ingin menyinggungnya. Dia tidak ingin Jihan mencurigainya.
Ardy adalah seorang Jenderal kepolisian, dia sengaja menerima Jihan sebagai bawahannya. Itu semua dia lakukan tanpa sepengetahuan gadis itu.*
Jihan kembali membalut lukanya di kamar. Setelah selesai berjalan keluar menuju kolam ikan di taman belakang.
Jihan duduk di atas batu kecil sekitar kolam. Matanya tanpa sengaja tertuju pada Ardy yang sedang serius bekerja.
"Pria itu kalau sedang serius bekerja wajahnya menawan sekali." Melamun mengagumi.
Tatapan mata Jihan tertangkap oleh Ardy.
"Kamu ngapain di sini?" Berbisik di telinga Jihan.
"Ah, ah, ah!" Terkejut hampir jatuh ke dalam kolam, Ardy menahan pinggangnya dengan segera.
"Deg! deg! deg!" Jihan menatap tanpa berkedip wajah Ardy yang sedang menahan tubuhnya.
Ardy mengangkat tubuh Jihan, membawanya masuk ke dalam kamarnya.
"Jangan lagi." Sergah Jihan memecah keheningan.
Ardy tersenyum, menutup kaki Jihan dengan selimut.
"Tumben pria c***l ini waras?!" Ujarnya lagi.
Ardy melangkah keluar dari kamar Jihan kembali melanjutkan pekerjaannya.
Pagi itu Jihan hendak ke kampus. Ardy melihatnya sambil menikmati roti di ruang tengah untuk sarapannya. Jihan melangkah mengambil air minum lalu meneguknya sambil berdiri di belakang Ardy.
Ardy menarik tasnya agar gadis itu duduk di sebelahnya.
"Makanlah." Mengolesi roti dengan krim jeruk memberikan pada gadis itu.
Menatap masker yang tergantung di leher Jihan.
"Kenapa memakai itu?" tanyanya pada Jihan.
"Nih!" menunjukkan bibirnya yang terluka karena ulahnya.