Pagi ini, Meira sudah bangun pagi -pagi sekali. Ia menatap cermin dan bergerak maju mundur untuk memastikan bahwa penampilannya sangat baik dan sempurna.
Jangan sampai, Meira terlihat norak dan tidak modis atau malah salah kostum berada di Kantor bonafit itu.
Ya, Perusahaan Bonafit dari Setya Group. Meira bekerja di salah satu Perusahaan raksasa Setya Group yang bergerak di bidang ekspor impor.
Senyum Meira melebar menatap dirinya yang bisa dibilang cukup cantik. Hanya saja, ia bukan perawan lagi, hanya gadis biasa yang mahkotanya sudah terenggut oleh seorang pria tak dikenal.
Awalnya, Meira tidak bisa menerima takdirnya. Bahkan ia tidak bicara soal ini pada siapa pun termasuk kepada Renata, Bundanya. Satu -satunya orang yang ia percaya adalah Melisa, sahabatnya sejak duduk di bangku SMA.
Rok span hitam di padukan dengan kemeja salur tipis berwarna biru muda. Bagian depannya ada aksen pita yang Meira ganti bentuknya menjadi sebuah dasi. Wajahnya hanya dipoles dengan sunscreen lalu di timpa dengan bedak padat agar kulitnya lebih sedikit glowing dan terang. Tidak lupa, lipstik andalan Meira yang berwaran pink matte.
Meira merasa sudah pas dan terlihat cukup sempurna. Meira mengambil tas dan menggantungkannya di bahu. Lalu, Meira keluar dari kamarnya dan langung bisa mencium aroma wangi dari arah dapur. Kakinya melangkah ke meja makan setelah berbelok dari lorong yang sedikit gelap.
Meira sempat menoelh ke belakang ke arah kamar yang ada di pojok dan ke arah pintu kamar yang ada di depannya.
Griya Ayu ini cukup misterius dan membuat Mira seidkit penasaran. Tapi, semalam ia tidur sangat nyenyak dan sama sekali tidak ada yang aneh. Apa mungkin hanya perasaannya saja.
Meira berdiri di depan meja makan dan melihat ada beberapa menu di atas meja. Ada nasi goreng dan ada nasi putih serta roti tawar dengan beberapa toping yang bisa di cicipi.
"Non Meira kenapa diam saja? Ayo dimakan dulu. Ini menu arapan pagi di Griya Ayu," jelas Ismi dengan senyum.
Wanita paruh baya itu meletakkan satu toples besar berisi kerupuk udang.
"Ehh ... Iya Bu," jawab Meira masih bingung. Kenapa makanan di meja makan begitu banyak sekali. Padahal dirumah ini hanay ada Meira, Bu Ismi dan Pak Darto, tukang kebun di Griya ini.
"Mau teh manis? Atau s**u? Atau mungkin kopi?" tanya Bu Ismi lembut.
"Kopi s**u, boleh Bu," pinta Meira sedikit segan.
Ia orang baru di Griya ini. Sangat memalukan kalau terlalu banyak permintaan.
"Boleh. Kan saya yang nawarin," jelas Ismi sambil tersenyum senang.
Ismi kembali lagi ke belakang untuk membuat kopi suu peanan Meira.
Meira memilih duduk dan mengambil satu lembar roti lalu mengambil selai cokelat dan kacang yang ia oleskan di sisi roti yang bersebelahan.
Meira memang kurang suka sarapan pagi dengan makanan berat seperti nasi. Ia lebih suka makan roti atau biskuit sambil minum kopi. Sepertinya kebiasaan Meira dari kos dulu terbawa sampai sekarang. Perutnya akan terasa sakit kalau harus makan berat.
Ismi kembali lagi ke ruang makan dengan secangkir kopi s**u yang di letakkan di dekat Meira.
"Silakan di nikmati, Non," jelas Ismi lagi.
"Makasih Bu Ismi," jawab Meira singkat.
Seusai sarapan pagi, Meira pun berangkat menuju Setyadi Group. Jantungnya mulai berdebar kencang dan napasnya agak sesak sedikit.
Hari ini adalah wawancara terakhir dengan HRD Setyadi Group. Walaupun kalau kata orang kemungkinan besar untuk diteriam sudah sangat besar sekali. ahap terahir hanya tahap negosiasi gaji dan informasi pekerjaan saja.
Sepatu pantopel dengan hak tak terlalu tinggi. Meira sejak dulu sangat tidak menyukai high heels. Ia pernah punya cerita menyebalkan di balik high heels dan sejak saat itu ia menyumpah serapahi dirinya sendiri untuk tidak lagi menggunakan sepatu lancip yang membuatnya malu seumur hidup.
Meira sudah berdiri di depan ruangan HRD. Ia mengontrol napasnya agar bisa kembai tenang. Ia memang tidak buru -buru. Saat ini juga masih pukul setengah delapan pagi. Jadwal wawancaranya dimulai pukul delapan pagi. Masih ada waktu setengah jam untuk bisa mempersiapkan diri.
Meira duduk di kursi tunggu sambil mengedarkan pandangannya di loronga yang cukup sibuk dengan lalu lalang para karyawan yang terlihat emanagt bekerja. Walaupun ada beberapa yang melihat ke arahnya. Ada yang tersenyum ramah, ada juga yang menatap sinis penuh ketidak sukaan.
***
Mobil sport berwarna hitam sudah berhenti di depan Griya Ayu. Seorang lelaki muda tampan dengan wajah campuran cina dan jawa semakin membuat terlihat sangat mempesona. Wajahnya di penuhi brewok yang tercukur rapi. Sepertinya brewok itu memang di rawat dengan baik.
Bu Ismi mendekati tuan mudanya dan mengangguk hormat lalu menyapa dengan ramah dan sopan.
"Mas Igo? Sudah kembali?" tanya Bu Ismi begitu kaget.
Igo menatap Bu Ismi lalu tersenyum ramah. Wanita paruh baya itu adalah wanita baik yang sudah mengabdi puluhan tahun pada keluarganya.
"Saya akan tinggal disini lagi," jelasnay tanpa memberikan alasan lain.
"Baik Mas. Ibu siapkan kamarnya dulu," jelas Bu Ismi terbata. Ia kaget bukan main. Tidak ada pemberitahuan terlebih dulu soal kedatanagn anak sulung majikannya ini.
"Terima kasih," jawabnya datar.
Sikapnya dingin masih sama seperti dulu. idak banyak bicara dan hanya berkata satu atau dua kalimat untuk menjawab hal penting saja. Bukan tipe lelkai yang suka berbasa basi dan sangat minim pertemanan.
Sudah lama, Igo tidak kembali ke rumah ini. Rumah yang menurutnya memiliki kenangan buruk dan traumatis sendiri untuknya. Igo pernah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak kembali ke rumah ini dan menutup Griya Ayu.
Tetapi, semuanya menjadi berbeda setelah kejadian beberapa bulan lalu. Ia merasa semangat hidupnya kembali b*******h dan hatinya kembali terbuka menyukai seorang gadis. Gadis yang tidak sengaja ia temui dan ia tiduri. Bukan itu saja, ia ambil kegadisannya juga. Bukan hanya rasa bersalah yang kini menyelimutinya tetapi rasa penasaran pada gadis itu membuat ia ingin kembali bertemu dan mengungkapkan rasa suka.
Beberapa bulan ini, Igo memastikan apa yang ia rasakan bukan hanya rasa tanggung jawab saja. Tetapi juga rasa suka bahkan rasa cinta.
Cinta?
Benarkah itu masih bisa ia rasakan setelah lima tahun yang lalu, ia kehilangan perempuan yang paling ia cintai.
Hatinya mendadak beku saat itu. Ia sudah tidak bisa di ajak bicara lagi. Lebih tertutup dan mengurng diri di kamar.
Hidupanya hanya untuk kerja, makan dan tidur. Selalu bergulir seperti itu setiap hari.
Langkah kakinya pelan berjalan menuju teras dan menatap kebun bunga yang terawat dengan baik. Itu semua adalah bunga -bunga kesukaan Tania.