Meira dan Bimo berada di mobil yang sama milik Bimo. Keduanya sudah mulai terlihat akrab. Bimo yang memang mengagumi Meira sejak pertama kali bertemu pun begitu ramah sekali. Padahal, kalau Meira dengar dari beberapa rekan kerjanya. Bimo itu pemarah dan galak.
Mobil sport kuning milik Bimo sudah berhenti di depan Griya Ayu. Rumah kos yang menyimpan rahasia di sana. Itu yang Bimo tahu dari beberapa temannya.
Pemandangan perumahan tempat Griya Ayu itu berada memang indah. Terlebih saat melewati taman perumahan menuju blok dimana Griya Ayu itu berada.
Terlebih saat mobil sampai di depan Griya Ayu. Rumah bergaya klasik modern dan sangat minimalis. Tamannya nampak mengelilingi rumah dan semuanya terlihat tertanam bunga yang sangat indah dan berwarna warni.
Di taman belakang ada sebuah kandang kelinci dan marmut. Lalu di bagian samping ada sebuh gazebo yang di bawahnya kolam ikan. Cantik dan sangat tertata sekali.
Meira bersiap untuk turun dari mobil dan menenteng tas- nya. Bimo mengangkat rem tangan dan menatap Meira.
Meira menjadi salah tingkah dan gugup saat di tatap seperti itu oleh Bimo.
"Sudah sampai," ucap Bimo pada Meira.
"Iya. Makasih Pak," jawab Meira sopan sekali.
"Sama -sama Meira ... Kamu sendiri? Atau ada berapa orang yang kos disini? Kok kayak sepi banget," ucap Bimo sambil mengedarkan pandangannya menatap rumah yang ada di sampingnya itu.
Sangat nyaman dan benar -benar rumah untuk pulang.
"Eummm ... Memang hanya sendiri. Kamarnya juga hanya ada tiga saja," jelas Meira santai seolah ia merasa tidak ada yang harus dipermasalahkan, karena Meira sendiri merasa nyaman.
"Ohhh ... Kamu hanya sendiri? Lalu yang lain?" tanya Bimo spontan muali merasa curiga.
"Katanya sih lagi ada kerjaan di luar negeri. Cuma gak tahu sampai kapan," jelas Meira sesuai apa yang diberitahukan oleh Bu Ismi.
"Oh gitu ... Oke kalau gitu. Kalau ada apa -apa, atau kamu butuh esuatu, bia hubungi aku. Rumahku gak jauh dari sini kok," jelas Bimo lagi.
"Iya Pak," jawab Meira lembut.
Meira membuka pintu mobil dan bersiap turun. Sekilas ia melihat seorang lelaki duduk di teras. Tatapan lelaki itu tajam ke arahnya. Siapa dia? Kenapa ada laki -laki di Griya ini? Bukankah laki -laki di Griya ini adalah tukang kebun yang sudah tua?
Meira menutup pintu mobil dan melambaikan tangannya ke arah Bimo yang tersenyum manis padanya. Lalu setelah mobil kuning itu menghilang dari pandangannya, Meira membuka pintu kabar dan masuk ke dalam. Tidak lupa ia menutup pintu pagar itu dan menyelotnya.
Langkah Meira pelan dan lambat mengikuti jalan setapak yang ia lalui untuk sampai ke teras. Meira mengedarkan pandangannya melirik ke arah taman bunga yang terlihat berbeda dengan apa yang di lihatnya emarin dan tadi pagi. Taman bunga itu lebih bagus dan nampak sederhana.
Meira kembali menatap ke arah depan dan kini pandangannya bertemu dengan kedua mata Igo.
Deg!
Deg!
Deg!
Jantung Meira berdegup sangat kencang sekali. Otaknya berputar, tubuhnya mendadak dingin dan lemas. Ia tak menyangka bertemu kembali dengan sosok lelaki yang telah merenggut kegadisannya beberapa bulan lalu. Padahal, Meira sudah belajar melupakan dan mengikhlaskan smeua yang telah terjadi padanya.
Jujur, Meira tidak mau mengingat itu semua. Langkah kaki Mera smeakin gemetar. Ia menaiki dua anak tangga untuk sampai ke teras dimana Igo berada.
Meira juga tidak tahu, siapa nama laki -laki itu. Ia hanya tahu, lelaki itu adalah lelaki yang ia anggap telah menolongnya dari sergapan para preman yang hendak menerkamnya.
Meira berdiridi ujung teras dan melangkah pelan. Ia bingung harus menyapa mulai dari mana. Baru kali ini ia menatap lelaki itu kembali dan rasanya ingin berteriak keras ambil bilang, "Ganteng banget sumpah ..."
Ups ... Gak boleh bilang begitu, Meira. Biar bagaimana pun juga, lelaki itu telah merenggut keperawanan kamu dan sudah seharunya ia bertanggung jawab.
Lelaki itu menurunkan cangkir kopinya dan maih menatap Meira.
Keduanya saling menunggu untuk di sapa. Meira yang merasa menjadi korban saat itu dan Igo adalah lelaki dingin yang tak mau mengucap sepatah kata pun pada orang asing. Mereka hanya saling menatap tanpa ada yang berkedip.
"Permisi Om ..." sapa Meira sambil mengangguk kecil sebagai tanda hormat.
Igo sama sekali tidak menjawab. Ia malah mengekor Meira yang melewatinya begitu saja.
"Nataha Meira Alvarena ..." panggil Igo dengan suara lantang.
Mendengar namanya dipanggil, apalagi di sebut dengan lengkap membuat tubuh Meira semakin merinding.
Bagaimana lelaki itu bisa tahu? Nama Meira secara utuh dan panjang tanpa ada kesaahan pengucapan.
Langkah Meira terhenti lalu menoleh ke arah Igo. ia berusaha memberankan diri dan menghilangkan rasa gugupnya.
"I -itu namaku," ucap Meira lirih.
"Hu um ..." jawab Igo mantab.
"Ada apa?" tanya Meira gugup.
"Ada yang ingin aku tanyakan padamu," jelas Igo dengan tatapan penuh harap.
"Pertanyaan macam apa?" tanya Meira lagi. Dan kini tubh Meira sudah berbaik menghadap ke arah Igo.
"Ada yang harus kita bicarakan," jelas Igo dengan sikap tenang dan dingin.
"Di sini? Sekarang?" tanya Meira lagi.
"Nanti malam setelah makan malam. Kita bicara di saung yang ada di samping," pinta Igo lagi.
"Oke," jawab Meira singkat.
"Ya." Igo juga menjawab singkat dan membiarkan Meira pergi ke kamarnya.
"Aku masuk dulu. Mau mandi," jelas Meira lagi.
"Ya." Igo menjawab datar sambil mengangkat cangkirnya dan menyeruput sisa kopi yang ada di dalam cangkir.
Jantungnya juga berdebar keras. Detaknya semakin tak karuan membuat dirinya benar -benar tidak baik -baik saja.
Igo merasa muda kembali karena merasakan jatuh cinta seperti anak remaja pada umumya. Kalau boleh jujur, ia begitu gugup tad saat melihat Meira turun dari mobil salah satu karyawan Ayahnya di Kantor. Walaupun Igo tidak mengenalnya. Igo denagn mudah menari tahu, siapa orang yang mengantarkan pulang Meira.
Meira sudah berada di kamar tidur. Punggungnya masih bersandar di baik pintu dan tanagnnay memegang dadanya yang sejak tad bergemuruh keras.
Bagaimana bisa, lelaki yang pernah tidur dengannya itu kini ada di hadapannya lagi. Entah ia iapa dan menghuni di kamar yang mana. Ini tidak benar.
Meira menjatuhkan tubuhnya di kasur dan kedua matanya menatap ke arah langit -langit ruangan sambil pikirannya menerawang jauh.
"Apa yang mau dia tanyakan sama aku?" ucap Meira lirih pada dirinya sendiri.
Meira menutup wajahnya denagn kedua tangan dan kembali melipat di depan d**a.
"Gak mungkin kan ... "
"Atau dia mau lagi? Ahh ... Mampus deh. Gak akan aku kasih!"