Bab 2 : Penuh Jarak

1452 Words
“Saya terima nikah dan kawinnya Nayla Audina ….” Nayla memejamkan mata saat lantang suara Raivan mengucap akad dan di saat yang sama, ia tak kuasa menahan air mata yang jatuh tanpa permisi. “Sah!” Dengan satu tarikan napas, kini Nayla resmi menjadi istri Raivan. Istri kedua. Miris sekali kisah hidup Nayla. Ia dinikahkan melalui wali hakim, tanpa sosok ayah yang mendampinginya. Bukan karena tak bisa hadir, tapi karena Nayla bahkan tak tahu siapa ayah kandungnya. Wajahnya tak pernah dilihat, namanya pun tak pernah disebut karena memang tak pernah diketahui. Dan kini, di babak baru hidupnya, pernikahan itu pun berlangsung dalam kesunyian. Sederhana, tanpa pesta, tanpa tawa. Hanya saksi, penghulu, dan segenap luka yang tak terlihat. Tempatnya pun bukan pelaminan indah, melainkan ruang perawatan rumah sakit—tempat Salsa terbaring lemah, mempersembahkan keikhlasan yang tak semua wanita mampu berikan. Tiga hari dirawat karena drop. Hari ini, kondisi Salsa sudah membaik. Raivan akhirnya setuju menikahi Nayla. Lebih tepatnya terpaksa, demi permintaan sang istri yang terbaring lemah di ranjang saat ini. Raivan menoleh. Salsa membalas tatapan sendu itu dengan senyuman dan anggukan kecil yang justru terasa seperti tamparan paling menyakitkan. Raivan merutuki dirinya dalam diam. Detik setelah akad terucap, yang ia rasakan bukan kelegaan melainkan pengkhianatan. Ia merasa mencabik keutuhan janji yang dulu ia ucapkan hanya untuk satu nama. Percayalah, ini bukan perkara mudah bagi Salsa—melihat pria yang dicintainya seutuh jiwa, kini menikahi wanita lain, sekalipun wanita itu adalah sahabatnya sendiri. Tidak ada perempuan yang benar-benar rela membagi hati suaminya. Tidak ada istri yang benar-benar siap melihat cinta yang ia jaga kini harus dibagi dua. Namun Salsa menelan semua itu. Demi Raivan. Demi anak yang sedang tumbuh dalam rahimnya, anak yang mungkin tak akan pernah sempat ia dekap dengan utuh. Ia memilih mengorbankan rasa, merelakan luka, demi cinta yang lebih besar daripada dirinya sendiri. Penghulu meminta Nayla menyalami suaminya. Dengan tangan gemetar, Nayla yang sejak tadi hanya tertunduk dalam diam akhirnya mengangkat wajah. Tatapannya bertemu dengan mata Raivan—tatapan yang kini terasa asing, dingin, dan penuh jarak. Tak ada lagi hangat persahabatan di sana. Hanya kemarahan yang tersembunyi rapi di balik sorot matanya. Sikap Raivan berubah sejak Nayla menyetujui pernikahan ini. Ia kecewa. Teramat kecewa. Karena jauh di lubuk hatinya, Raivan masih berharap Nayla menolak. Bahwa setidaknya, masih ada satu orang yang berdiri di sisinya menolak keputusan gila ini. Namun Nayla memilih menerima. Dan dengan itu, retaklah segala yang pernah keduanya bangun bersama—persahabatan, kepercayaan, dan rasa saling menjaga. “Gila kamu, Nay. Kamu tahu secinta apa aku dengan Salsa. Bagaimana bisa kamu bersedia menjadi orang ketiga di antara kami?” kesal Raivan. “Jika memang kamu mencintai Salsa seluas itu, terima saja permintaannya,” jawab Nayla yang bersedia mengorbankan hidupnya demi membalas budi pada Salsa dan keluarganya. Jawaban Nayla terngiang di telinga Raivan. Dia akan membuktikan bahwa pernikahan mereka hanyalah tanda bukti bahwa cintanya pada Salsa sebesar itu. Raivan mengulurkan tangannya. Ragu-ragu, Nayla menyambutnya—menunduk perlahan, mencium punggung tangan sahabatnya yang kini sah menjadi suaminya. Sah. Tapi tidak pernah terasa utuh. Tanpa doa untuk sang istri, Raivan segera menyudahi prosesi itu. Ia menunduk, mendekat ke telinga Nayla. Suaranya dingin, tajam, dan penuh tekanan. "Aku sudah membuktikan cintaku pada Salsa. Jangan tuntut lebih dari itu. Sampai detik ini, aku tidak pernah menginginkan pernikahan ini. Dan aku tidak akan pernah bisa membagi cintaku pada siapa pun." Nayla hanya tersenyum tipis. Memangnya ini keinginannya? Menjadi istri kedua? Menjadi orang ketiga dalam cinta mereka? Tidak. Ia hanya membalas budi pada Salsa, pada mereka yang telah menerimanya saat dunia membuangnya. Namun, Raivan tidak tahu itu. Nayla melirik Raivan—lelaki yang kini duduk di samping Salsa—menggenggam tangan sang istri dan mengecup punggung tangan Salsa. Tiba-tiba, sebuah sentuhan lembut di lengan Nayla membuatnya tersentak. Bunda Zara menatapnya penuh haru, lalu mengangguk pelan, mengisyaratkan Nayla untuk keluar dari ruang perawatan. Di luar ruang perawatan, Satrio dan Rena, Papa dan Mama Salsa, telah menunggu. Wajah mereka lembut, penuh penerimaan. Rena segera merentangkan kedua tangannya dan Nayla tanpa berpikir panjang, langsung larut dalam pelukan hangat itu. Pelukan seorang ibu yang terasa nyaman tapi juga menyesakkan, karena cinta ini datang bersamaan dengan luka. “Nayla dan Raivan sudah lama bersama, ‘kan? Harusnya ini akan lebih mudah. Awalnya memang canggung, tapi lama-kelamaan kamu akan terbiasa,” ucap Rena, mengulang kata-kata yang pernah dilontarkan Salsa hari itu. Terbiasa? Bahkan sampai detik ini Nayla tidak tahu fungsinya sebagai istri kedua itu apa? *** Seminggu yang lalu … Nayla tak percaya, Salsa benar-benar melibatkan semua keluarga dalam mengambil keputusan itu. Saat Nayla tiba di panti, Raivan dan Salsa tak terlihat. Hanya orang tua yang menunggu di ruang tamu. Satrio tanpa banyak basa-basi menanti jawaban Nayla. Di sampingnya, Rena menunduk, air mata jatuh satu per satu. Nayla tahu, tidak ada ibu yang rela melihat putrinya dimadu. Tapi mereka pun tak punya pilihan. Ini permintaan Salsa. Pandangan Nayla beralih ke arah Zara. Wanita paruh baya itu menatapnya dengan mata berkaca, lalu mengangguk pelan. Apakah ini saatnya Nayla membalas semua kebaikan mereka? “Bunda...,” panggil Nayla lirih, berbaring di sofa dengan kepala bertumpu di paha Zara. Suasana senyap. Raivan dan Salsa sudah pulang lebih dulu, begitu pula Satrio dan Rena. Hanya mereka berdua yang tersisa di ruangan itu. “Nayla sudah menyanggupi permintaan Salsa,” ucapnya pelan, nyaris seperti gumaman. Zara membelai puncak kepala Nayla dengan lembut. Sentuhan yang penuh kasih—seperti ibu pada anak kandungnya sendiri. “Bunda.” Suara Nayla kembali lirih, nyaris tercekat. “Boleh Nayla jujur?” “Bicaralah, Sayang. Bunda siap mendengarkan,” jawab Zara lembut. Nayla menarik napas panjang. Lalu mengaku bahwa sejak dulu ia menyukai Raivan. Sejak masa SMP, ketika Raivan ikut tinggal di panti bersama bunda Zara. Dari situlah semua bermula. Kedekatan mereka bertiga. Persahabatan yang tumbuh dan perasaan yang perlahan menjalar diam-diam. Zara mendengarkan tanpa terkejut. Ia mengangguk tenang. “Bunda sudah tahu,” bisiknya. Wanita paruh baya itu mengaku bisa melihat hal itu dari cara Nayla menatap dan bersikap pada Raivan. Nayla menoleh menatap Zara sendu. Zara mengatakan mungkin ini adalah takdir lain yang disiapkan untuk Nayla dengan menjadi istri kedua. “Bagaimana bisa disebut takdir sedang Raivan jadi membenci Nayla, Bun?” Nayla mengadu Raivan jadi bersikap dingin padanya. “Kamu yang paling tahu Raivan seperti apa. Dia sedang mencari cara menerima kenyataan yang terlalu tiba-tiba untuknya. Tapi percayalah… waktu akan melembutkan hatinya.” *** Keluarga mereka memesan hotel tak jauh dari rumah sakit agar bisa beristirahat bergantian menjaga Salsa. Rena menyerahkan satu kartu akses kamar pada Raivan. “Tolong antar Nayla ke hotel, Nak. Kalian harus ganti pakaian,” katanya pelan. “Malam ini Mama yang jaga Salsa,” tambah Rena. “Tak perlu, Ma. Biar Raivan saja, seperti sebelumnya.” Namun Raivan tak mendapat izin. Ia melirik ke arah Salsa yang langsung memalingkan wajah. Itu permintaan Salsa. Meski hatinya hancur melihat suaminya menikahi wanita lain, kini ia juga harus menerima pria yang dicintainya bermalam bersama istri keduanya. Sakit. Tak pernah ia bayangkan akan merasakan sakit seperti ini, tapi nyatanya ada yang lebih sakit dari kenyataan ini yaitu bahwa dia tidak akan pernah sembuh. “Sayang, kamu percaya aku, ‘kan?” bisik Raivan saat hendak pamit. Salsa hanya tersenyum samar, menahan sesak. Mau tak mau, ia harus mengizinkan. “Bicara apa sih, Mas? Aku baik-baik saja. Pergilah,” ucap Salsa sambil mengusap lengannya. Air mata Raivan jatuh. Ia merasa seperti mengkhianati Salsa. “Mas... aku baik-baik saja. Tadi dokter bilang, kalau tak ada kendala, besok aku bisa pulang usai visit dokter,” ujar Salsa mencoba tersenyum. Raivan tak sanggup berkata apa-apa lagi. Ia mencium kening Salsa, lalu keluar kamar. Di parkiran, Nayla sudah menunggu dekat mobil. Raivan membuka pintu dari kejauhan tanpa menyapanya, lalu langsung masuk ke dalam mobil. “Sampai kapan mau berdiri di situ?” ucapnya kesal, menurunkan kaca jendela depan karena Nayla masih terpaku di tempat. Nayla masuk tanpa berkata-kata. Sepanjang perjalanan, keduanya pun memilih diam. Sesampainya di lobi hotel, Raivan menyerahkan satu kartu akses pada Nayla dan memegang satu lagi. Ia sempat meminta asistennya memesankan kamar terpisah untuk dirinya. Raivan punya rencana lain, tidak mungkin dia tidur sekamar dengan Nayla. “Ini kunci kamarmu,” ucapnya dingin, menyerahkannya pada Nayla. Di dalam lift, hening kembali menyelimuti mereka. Nayla tidak heran. Ia tahu Raivan tak mungkin mau sekamar dengannya. Tepat ketika mereka keluar dari lift, Raivan menahan lengan wanita itu. “Kita pisah kamar. Jangan pernah berharap ada malam pertama,” katanya tegas. “Tentu. Aku cukup sadar diri. Bahkan sampai sekarang pun aku masih belum tahu fungsi dari pernikahan ini apa,” balas Nayla, menatap dalam ke arah Raivan. “Kamu … kamu hanya simbol bukti cintaku pada Salsa yang hanya akan menjadi pajangan di sudut rumah!” balas Raivan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD