Bab 3 : Tinggal Bersama

1155 Words
“Pak, saya melihat Bu Salsa di rumah sakit,” lapor Fadlan, asisten Raivan. Raivan menatap Salsa yang tertidur lelap di ranjang rumah sakit dengan wajah pucat. Sejak menerima kabar dari Fadlan hari itu, ia langsung memerintahkan asistennya mencari tahu segalanya—hingga akhirnya sebuah kenyataan pahit terungkap bahwa Salsa mengidap penyakit jantung bawaan. Tahu seperti apa rasanya sakit hati Raivan? Saat ia menganggap Salsa sebagai rumah, ternyata bagi Salsa, Raivan bukan tempat terbaik untuk pulang. “Mas,” suara Salsa lirih memanggil, melihat Raivan sudah duduk di sampingnya entah sejak kapan. Bahkan saat ini cahaya matahari masih malu-malu mengintip dari balik tirai. Mata Raivan terlihat basah oleh air mata, air matanya jatuh meninggalkan jejak di pipinya—cepat ia mengusapnya. Apakah pria menangis itu lemah? Biarlah. Raivan tak peduli apa kata orang—ini adalah luapan emosinya. Semua ini terlalu berat bagi Raivan. “Mas,” ulang Salsa pelan, tangannya mengusap lembut pipi sang suami. “Jangan pernah berpikir untuk menyerah, Sayang. Aku memang nggak bisa merasakan apa yang kamu rasakan. Tapi izinkan aku menemani kamu melewati semuanya,” ucap Raivan. Salsa menahan tangis, mengangguk setuju. Sebelah tangan Raivan menggenggan tangan Salsa dan sebelahnya mengusap sayang puncak kepala kesayangannya. “Sa, aku masih dan akan selalu mencintaimu,” aku Raivan. Di balik pintu, Nayla tersenyum getir. Ia mengurungkan niatnya melangkah masuk. Kepalanya tertunduk, perasaannya pilu mendengar percakapan di dalam ruangan. Ia sudah belajar menerima bahwa cinta tak selalu harus dimiliki. Tapi kenapa takdir kembali mengusiknya—seolah membangkitkan harapan yang nyaris mati? “Mas, Nayla mana?” tanya Salsa. “Dia sudah kembali mengajar,” lirih Raivan. “Loh, nggak cuti? Kata Bunda, Nayla mau ambil cuti beberapa hari,” tanya Salsa heran. Raivan hanya mengedikkan bahu, acuh. “Mas, nanti temani dan bantu Nayla pindahan, ya?” pinta Salsa. Sesuai kesepakatan, mereka akan tinggal bersama. Terdengar helaan napas berat dari Raivan, lelaki itu tidak bersuara, tapi ia tetap mengangguk. “Mas?” panggil Salsa lagi, memastikan. “Iya, Sayang,” jawab Raivan akhirnya. Sementara itu, Nayla telah melangkah pergi—meninggalkan dua orang yang sedang saling mencinta—bersama luka. *** Siang itu, selepas mengajar, Nayla kembali ke kos. Langkahnya pelan, menelisik sekitar ruangan—seolah enggan meninggalkan unit kecil yang menjadi tempat ternyamannya, berlindung selama beberapa tahun ini. Namun, mau tak mau, ia mulai membereskan pakaian yang tersisa. Barang-barangnya sebagian besar sudah dikemas sejak beberapa hari lalu, saat Raivan menyetujui pernikahan mereka. "Pernikahan ini akan dipercepat. Itu permintaan dari Salsa. Namun, ada beberapa hal yang harus kamu tahu, Nay." Nayla hanya diam, menunggu. Hatinya berdetak tak karuan. "Aku tidak pernah menginginkan pernikahan ini. Pernikahan ini hanya sebatas status. Kamu, aku, dan Salsa akan tinggal bersama di rumah yang sama. Salsa sudah menyiapkan kamar untukmu. Aku akan tetap memberimu nafkah lahir tanpa nafkah batin,” tekan Raivan. Secercah ingatan percakapan mereka membuat Nayla tersenyum getir. Satu notifikasi muncul di layar ponselnya. Salsa Nay, kapan ke rumah? Aku sudah pulang dari rumah sakit. Nayla tak menjawab. Ia hanya membaca pesan singkat itu dari pop-up, lalu menguncinya kembali. Ada getir yang mengendap di dadanya. Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu kos. Nayla sontak terlonjak, panik, mengira Raivan yang datang. Ketukan itu terdengar lagi, membuat jantungnya berpacu tak karuan. Ia pun berjalan pelan, membuka pintu dengan jemari gemetar. Di hadapannya berdiri Fadlan, asisten pribadi Raivan. Lelaki itu mengangguk sopan. “Sore, Bu Nayla. Saya diminta Pak Raivan untuk menjemput Ibu. Barang-barang Ibu akan dibawa oleh jasa pindahan, mereka sudah menunggu di bawah,” ucap Fadlan tenang. Nayla diam sejenak, hatinya tercekat. Ia hanya mengangguk pelan, tak kuasa berkata-kata. Satu koper kecil ia tarik dari sudut kamar, lalu menyusul Fadlan ke luar. Saat Fadlan melihat Nayla keluar dengan koper, ia cepat-cepat menghampiri, membantunya meletakkan barang ke dalam bagasi. Mobil yang dikemudikan oleh Fadlan sudah terparkir rapi di halaman rumah. Begitu Nayla hendak membuka pintu, Fadlan menahannya. “Bu,” panggilnya, lalu mengulurkan sebuah cardholder berwarna cokelat muda. “Ini kartu debit dari Pak Raivan, untuk keperluan Ibu. PIN-nya tanggal lahir Bu Nayla.” Nayla menatap kartu itu lama. Tangannya refleks menolak. “Maaf, saya... saya nggak bisa terima ini.” “Ibu harus terima,” sahut Fadlan, nadanya berat. “Ini ... ini bagian dari nafkah Pak Raivan untuk Ibu.” Tak ada ruang untuk menolak. Nayla akhirnya menerima kartu itu. Fadlan turun lebih dulu segera membukakan pintu untuk Nayla dan mengambil koper kecilnya. Sambutan pertama datang dari Bi Seri, asisten rumah tangga, yang sejak dulu sudah seperti keluarga. “Bibi bantu, Neng,” sapanya lembut, senyum tulusnya menghangatkan suasana. Ia sudah tahu, Nayla kini bukan tamu. Tapi bagian dari rumah, istri kedua Raivan. Sedikit banyak, beliau tahu lika-liku kehidupan majikannya. Bi Seri menuntunnya masuk ke kamar yang telah disiapkan. “Kamar Neng Nayla bagus. Non Salsa yang pilih itu … apa, dekor-dekornya,” katanya tersenyum sumringah, sementara yang diajak bicara hanya tersenyum tipis. Biasanya kedatangan Nayla selalu riang menambah keceriaan, sangat kontras dengan kedatangannya kali ini membuat Bi Seri berusaha mencari cara agar majikan barunha ini merasa nyaman tinggal di sini. Bi Seri mengangguk meminta Nayla membuka pintu kamarnya di lantai satu. Mata Nayla membola melihat pemandangan langsung ke kolam renang. Kamar tamu yang disulap sedemikian rupa menjadi seindah ini. Nayla merasa dirayakan. “Nanti kalau barang-barangnya datang, Bibi bantu, ya. Non Salsa dan Den Raivan di kamar atas. Katanya Non Salsa harus bed rest total.” “Terima kasih, Bi,” ucap Nayla pelan. Setelah Bi Seri keluar, ia berdiri lama di depan jendela, memandangi taman belakang. Hati dan pikirannya kalut. Ia tersentak saat mendengar ketukan. Kemudian Raivan masuk, langkahnya tenang tapi dingin. Tak ada senyum. Tak ada sapaan hangat seperti dulu. “Salsa harus bed rest total. Dari tadi dia nyari kamu,” katanya datar. “Temui dia di atas, ya?” Sambutan seperti apa ini? Sebentar, memangnya sambutan seperti apa yang Nayla harapkan sebenarnya? Setelah mengatakan itu Raivan kembali melangkah akan keluar dari kamar. Namun dia kembali menoleh. “Satu lagi. Mulai sekarang Fadlan yang antar jemput kamu mengajar.” “Tidak perlu,” Nayla buru-buru menolak, suara pelannya terdengar tegas. Raivan menghela napas kasar. “Kamu dari dulu memang susah diatur,” decaknya. Matanya menjeling sebal. “Mas,” panggil Nayla, lirih. Ini pertama kalinya ia memanggil Raivan begitu. Sebutan yang seharusnya ia gunakan sejak menjadi istrinya 'kan? “Aku serius. Nggak usah merepotkan Fadlan. Aku bisa sendiri. Dan... aku nggak bisa terima ini.” Nayla mengulurkan kembali cardholder yang tadi diberikan Fadlan. Raivan menatap kartu itu lalu Nayla, tajam. Tatapannya menusuk. “Nggak ada alasan untuk nolak titahku. Sekarang kamu bagian dari kami,” katanya dingin. Bagian dari kami? Nayla tertawa getir dalam hati. Lucu sekali kedengarannya. Raivan kembali melangkah keluar. Tapi langkahnya kembali terhenti. “Jangan panggil aku ‘Mas’. Cukup nama saja seperti biasa,” katanya tanpa menoleh. “Ke depannya, kalau butuh apa pun, bilang ke Fadlan. Setelah jadi pengkhianat, jangan coba-coba jadi pembangkang.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD