Satu bulan kemudian
Nayla dan Raivan keluar hampir bersamaan dari kamar masing-masing yang letaknya saling berhadapan. Tak ada kata yang terucap, hanya tatapan singkat sebelum keduanya melangkah ke arah berbeda. Kondisi Salsa belakangan ini cukup memprihatinkan. Atas pertimbangan kesehatan dan kenyamanan, Raivan dan Salsa sepakat pindah ke kamar di lantai bawah—menghindari kelelahan karena harus naik turun tangga, juga agar suasana tak terasa terlalu monoton.
Apa pun akan Raivan lakukan, selama itu bisa membuat Salsa bahagia.
Trimester pertama ini perjuangan Salsa luar biasa. Ia bahkan tak sanggup membayangkan bagaimana perjuangan di trimester selanjutnya. Setiap hari Raivan sisipkan doa yang sama agar anak dan istrinya tetap dalam lindungan-Nya.
"Hari ini sarapan apa, Bi?" tanya Raivan santai, sambil membawa nampan berisi piring kosong ke arah dapur. Ia tampak tenang, tak memedulikan Nayla yang sedang menuangkan air mineral ke dalam botol minum.
Bi Seri sempat menatap Nayla dalam diam, sebelum akhirnya menjawab pertanyaan majikannya.
"Pagi ini nasi goreng kesukaan Den Raivan. Siangnya udang asam manis dan cah baby kailan. Ada sambal kecap juga," ujarnya pelan.
Raivan mengangguk puas, lalu duduk dan mulai menyantap sarapannya.
“Minta tolong jagain Salsa sebentar ya, Bi. Saya ada meeting Zoom pagi ini, sekitar empat puluh lima sampai enam puluh menit paling lama,” ujarnya.
“Bibi sudah siapkan kemejanya di atas kasur, Den Raivan,” sahut Bi Seri.
Raivan kembali mengangguk, kali ini dengan senyum tipis yang nyaris tak terlihat.
Tak ada yang berubah dari Raivan. Dia tetap Raivan yang hangat, supel, dan penuh canda. Namun, setiap kali bersama Nayla, dirinya seolah berubah seratus delapan puluh derajat—dingin, kaku, dan seolah lupa caranya tersenyum padanya.
“Aku berangkat mengajar, Van,” ucap Nayla lirih, tak mendapat balasan.
Nayla tidak berkecil hati. Ia memutuskan untuk benar-benar menjadi pajangan dalam rumah ini sesuai kata Raivan hari itu. Ia tak akan membebani dan memilih untuk tidak merasa terbebani. Namun, tidak pula melupakan perannya sebagai seorang istri—sekalipun hanya istri kedua yang tidak dianggap.
Sejak dulu Nayla terbiasa sendiri. Kali ini pun, seharusnya tidak menjadi masalah. Raivan dan Salsa sudah lama hadir dalam hidupnya—meski kini kondisinya berbeda, peran berubah, dan jarak semakin terasa. Baik dulu maupun sekarang tidak ada bedanya, ia akan selalu mengalah.
Dulu ia menjalaninya tanpa keluh. Harusnya sekarang juga begitu ‘kan?
Biarkan Nayla berdamai dengan pilihannya sendiri. Ini jalan yang ia ambil dan ia ingin menjalani semuanya dengan lapang d**a.
Hari-hari Nayla tak banyak berubah. Dunia mengajarnya adalah tempat ia merasa hidup. Ia menemukan kebahagiaan saat berada di sekolah—bermain dan belajar bersama anak-anak. Dari Senin hingga Jumat, ia mengajar di sekolah. Sementara dari Kamis hingga Sabtu sore, waktunya ia habiskan bersama anak-anak di panti asuhan.
Hari Minggu yang dulu biasa ia gunakan untuk beristirahat di kos, kini panti-lah yang menjadi pelariannya. Ia memilih menghabiskan waktu di sana, karena menurutnya, itulah bentuk terbaik dari waktu—saat bisa memberi manfaat, terutama untuk anak-anak.
Anak-anak adalah makhluk paling tulus yang pernah Nayla temui. Mereka adalah warna dalam hidupnya, pengingat bahwa cinta sejati itu masih ada—tanpa syarat, tanpa pamrih.
Belakangan ini, Raivan lebih sering bekerja dari rumah. Ia dengan sepenuh hati merawat dan menjaga Salsa. Namun, setiap gerak-gerik Raivan tak luput dari perhatian Nayla. Setelah Salsa beristirahat, Raivan kembali tenggelam dalam pekerjaannya, bahkan hingga larut malam.
Pagi itu, usai sarapan, Raivan sengaja kembali ke kamar mereka di lantai satu. Ia menemukan Salsa masih sibuk dengan tablet di tangannya.
“Mas?” panggil Salsa, terkejut melihat Raivan menyembulkan kepala di balik pintu.
“Sayang, aku ada rapat Zoom di lantai dua, ya. Kalau ada apa-apa, minta bantuan Bi Seri,” ujar Raivan.
Salsa mengangguk, memahami. Matanya membulat saat Raivan melangkah masuk, mendekatinya, lalu mengecup keningnya dengan lembut. Tangannya mengusap perut Salsa, seraya berbisik, “Nak, baik-baik ya di dalam. Happy-happy sama Mama, ya.” Kemudian, ia mengecup perut istrinya, menambahkan, “Love you both.”
Raivan melangkah keluar dari kamar, melewati ruang makan. Pandangannya tertumbuk pada nampan berisi potongan buah segar dan segelas jus. Senyumnya merekah—pasti itu disiapkan Bi Seri untuknya. Ia langsung mengubah arah langkah menuju kitchen island untuk membawa sendiri camilan paginya.
Belakangan ini, Raivan tak perlu repot mengurus kebutuhan pribadinya, semua terbantu berkat Bi Seri. Selama ini asisten rumah tangganya itu hanya bertugas untuk urusan kebersihan dan keperluan umum, bukan memasak. Sejak dulu, Raivan memang lebih sering memasak untuk mereka, mengingat Salsa tak begitu piawai di dapur.
Namun, saat tangan Raivan hendak meraih nampan tersebut, pandangannya tertumbuk pada selembar sticky note kecil di sampingnya.
“Buah mix, minumnya jus orange, dan kurma tiga biji. Terima kasih, Bibi sayaaangg.” Tulisan pada note itu.
Kening Raivan langsung mengerut. Ia menoleh ke sekeliling, mencari sosok Bi Seri, tapi tak menemukannya. Ada sesuatu yang mengganjal. Perlahan, ia membuka laci kitchen island—menemukan sebuah kotak kecil di dalamnya.
Kotak itu berisi puluhan sticky note lainnya. Tulisan tangan yang sama—yang ia kenali. Ada daftar snack pagi dan malam, juga catatan permintaan untuk menyiapkan baju-baju tertentu miliknya.
Raivan mengepalkan tangan. Rahangnya mengeras. Ia tahu persis siapa yang menulis semua itu.
Tepat saat itu, Bi Seri muncul dari arah pintu belakang, membawa bungkusan berisi kurma. Pandangan Raivan terangkat, menatap wanita tua itu tajam, matanya menyimpan gejolak yang tak biasa.
“De—den,” lirihnya.
Raivan melempar asal kotak kecil yang ia temukan itu ke atas meja. “Jelaskan, Bi,” titahnya membuat Bi Seri gugup.
***
Siang harinya
“Bagaimana hari Bu Nayla hari ini?” tanya Fadlan saat Nayla masuk ke dalam mobil.
“Aku udah minta kamu untuk tidak memanggilku ‘Ibu’, kan?” Nayla memicingkan matanya, membuat Fadlan tertawa kecil. “Panggil Mbak Nay, seperti dulu saja,” tegasnya.
“Tapi Ibu sekarang sudah menjadi—”
“Mbak Nay,” ulang Nayla dengan nada datar.
Fadlan menghela napas. “Siap, Mbak Nay,” katanya akhirnya, membuat Nayla tersenyum tipis.
Barulah Nayla menjawab pertanyaan tadi tentang harinya. Tentu saja menyenangkan. Di sekolah, hatinya lebih ringan, pikirannya terbebas sejenak dari rasa gundah. Anak-anak selalu bisa menyembuhkan hari Nayla dengan caranya mereka.
“Kalau kamu sendiri gimana?” Nayla balik bertanya, dengan maksud tertentu.
Fadlan mengangguk sambil menyetir. Ia bilang dirinya senang dan bersemangat dengan pekerjaannya. Belakangan ini, Fadlan memang sering bolak-balik antara rumah dan kantor untuk memastikan semua pekerjaan Raivan berjalan lancar. Tak jarang, ia jadi sumber informasi tak langsung bagi Nayla—tentang apa yang Raivan sibukkan. Fadlan tidak keberatan seolah tahu apa yang ingin Nayla ketahui.
Karena itulah, Nayla berinisiatif menyiapkan beberapa hal kecil untuk Raivan lewat Bi Seri. Entahlah, bukankah ia harus tetap menjalankan perannya sebagai istri? Karena pernikahan mereka sah secara agama dan negara.
Mobil berhenti di halaman rumah. Nayla turun, membuka pintu masuk. Setiap sudut terasa sepi. Tak lama, suara lembut memanggil dari dalam kamar.
“Nay,” panggil Salsa.
Langkah Nayla terhenti. Matanya beradu dengan Raivan yang juga sedang berjalan menuju kamar Salsa—Nayla lebih dulu masuk, menyambut panggilan itu dengan senyum tipis.
Raivan menyusul masuk, duduk di pinggir ranjang tempat Salsa bersandar. Ia menyerahkan obat dan vitamin siang untuk kesayangannya.
“Aku sudah lebih baik dari kemarin,” ucap Salsa ceria saat Nayla menanyakan kabarnya. “Nanti kita makan malam bareng, ya?”
Nayla melirik Raivan yang tampak tak bereaksi. Lalu ia mengangguk pelan. “Boleh.”
“Pengen makan udang bakar jimbran, Nay,” rengek Salsa manja.
“Memangnya boleh?” Nayla mengernyit, seolah menggoda.
Salsa menatap Raivan penuh harap, wajahnya memelas. Toh, dokter tidak memberi pantangan soal itu.
“Aku minta Bi Seri masak yang benar-benar matang,” ucap Raivan, suaranya lembut.
“Orang mau dimasakin sama Nayla. Kangen masakan Nayla,” ucap Salsa sambil tersenyum.
Nayla tertawa kecil, lalu mengangguk. “Pesanan akan disiapkan, Nyonya,” dengan nada menggoda.
Senyum bahagia merekah di wajah Salsa. Ia tak pernah berhenti bersyukur memiliki Nayla dalam hidupnya meski saat ini sebagai madu. Salsa tak tahu saja di balik senyum Nayla, hidupnya tak sedang baik-baik saja.
Nayla pamit ke kamar. Ia berjalan lunglai, tak sepenuhnya sadar langkahnya. Harusnya ini tak masalah, bukan? Dulu mereka bertiga sering seperti ini. Bahkan Raivan pun selalu senang menyantap masakan Nayla. Tapi kini... semuanya tak lagi seindah dulu.
Menjadi istri Raivan tidak menjamin hidup Nayla seindah angannya.
Jarak di antara mereka terbentang nyata. Nayla sampai tidak harus bersikap bagaimana karena rasanya bernapas saja salah di mata Raivan.
Tenggelam dalam pikirannya sendiri, Nayla tersentak saat membuka pintu kamarnya tiba-tiba terbuka lebar oleh sebuah dorongan dari belakang dan pintu tertutup sedikit kasar.
“Berhenti cari perhatianku,” suara Raivan tajam, dingin. Ia menebar sticky note ke tubuh Nayla. “Kamu nggak perlu siapkan semuanya untukku. Sebelum kamu datang, aku sudah terbiasa mengurus semua sendiri.”
Nayla memejamkan mata sejenak, menghela napas pelan. “Nggak cari perhatian kok. Aku juga terbiasa menyiapkan untuk semua orang di panti—Raivan,” pekiknya tertahan saat tangan lelaki itu meraih rahangnya kasar, lalu mendorong tubuh mungil itu hingga jatuh duduk di tepi ranjang.
“Dulu, dongengku indah dan sempurna, Nay. Sekarang... semuanya hancur sejak kamu masuk ke dalamnya.”