“Raivan,” ucap Nayla terkejut saat melihat pria itu mengetuk pintu kamarnya. “Aku ingin bicara, Nay,” katanya pelan. Nayla ragu, tak yakin harus mempersilakan Raivan masuk atau tidak. “Di dalam?” tanyanya dengan suara pelan. Raivan mengangguk. Dengan sedikit canggung, Nayla membuka pintu lebih lebar dan mempersilakannya masuk. Kamarnya sederhana untuk menerima tamu. Tidak ada sofa atau kursi—hanya sebuah bean bag di pojok ruangan, tempatnya biasa membaca. Ia sempat kebingungan harus bagaimana menyambut tamunya malam-malam begini. Baru saja ia berbalik, Nayla tersentak saat Raivan tiba-tiba meraih tangannya, menahan langkahnya. Dengan lembut, pria itu menuntunnya duduk di sisi ranjang. Jantung Nayla berdegup kencang. Harusnya mereka bersama dimulai malam besok ‘kan? Apakah sudah terhi

