Raivan memajukan wajahnya sedikit, tapi sesaat kemudian keduanya kompak membuka mata saat deringan telepon memecah keheningan.
“Maafkan aku, Nay,” ucap Raivan, sadar bahwa sikapnya barusan terlalu lancang. Ia segera bangkit dan keluar seraya mengangkat telepon dari Salsa.
Nayla terdiam, menahan napas sesaat, lalu tertawa sumbang. ‘Maaf’ bahkan sebelum sesuatu terjadi, baginya itu sebuah kesalahan?
Nayla mengeringkan rambutnya dan segera bersiap.
Begitu keluar, suara riang Salsa terdengar, tertawa bersama Bi Seri yang sedang duduk di taman belakang. Saat Nayla melangkah ke halaman belakang, pandangan matanya langsung bertemu dengan Raivan, sekilas. Singkat, tapi cukup membuat dadanya menghangat sekaligus kikuk.
Dengan balutan midi dress motif floral, Nayla tampak memesona.
“Cantik sekali,” puji Salsa sambil melambai memintanya mendekat lebih cepat. “Aku bikin bumbu rujak, tapi gagal total. Sekarang Bi Seri lagi bantu koreksi rasanya,” ujar Salsa sambil mengusap lengan Nayla dengan lembut, lalu mencolek dagunya. “Bibirmu cantik.”
Nayla tersipu, melipat bibirnya malu-malu. Sekilas ia melirik Raivan yang juga sempat mencuri pandang padanya.
“Pakai lipstick apa?” tanya Salsa penuh rasa ingin tahu.
“Enggak pakai lipstick, cuma lip balm aja,” jawab Nayla dengan senyum kecut.
“Manis banget warnanya. Bibirmu sendiri dasarnya sudah cantik,” balas Salsa sambil tersenyum, lalu kembali menaruh perhatian pada Bi Seri yang mencicipi bumbu rujaknya.
Nayla sempat melirik ke arah Raivan—pria itu kembali mencuri pandang, tapi dengan cepat mengalihkan wajah. Ada ketegangan samar yang tersisa sejak peristiwa di kamar mandi tadi. Rasa canggung itu tak terucap, tapi terasa.
Sore itu, taman belakang tak hanya mereka bertiga. Ada Bi Seri dan seorang tukang kebun tampak ikut menikmati sisa-sisa hangatnya matahari yang mulai turun ke barat.
Raivan terlihat sibuk memotret Salsa, juga mencari sudut terbaik untuk mengabadikan mentari senja. Dering ponsel mengalihkan perhatiannya. Ia menerima panggilan dari Vano, yang memintanya segera memeriksa email penting. Tanpa banyak bicara, Raivan undur diri menuju kamar di lantai dua.
Beberapa menit kemudian, terdengar dering dari ponsel lain—ponsel kerja milik Raivan yang tertinggal di meja. Salsa meraihnya dan melihat ada panggilan masuk dari nomor tak dikenal.
“Nay, tolong antarkan ponsel ini ke Mas Raivan, ya. Dia lupa naruh di sini. Bilang juga, tadi sempat ada telepon masuk,” ujar Salsa, menyerahkan ponsel itu.
Nayla mengangguk mengerti.
“Sekalian masuk juga ya, Sa. Waktu magrib sebentar lagi,” ujar Nayla penuh perhatian.
Langkah Nayla tak tergesa, tapi cukup cepat menyusuri anak tangga. Namun, tepat saat kakinya menginjak lantai atas, gerakannya melambat. Suara Raivan terdengar dari balik pintu kamar yang sedikit terbuka. Nadanya serius dan Nayla bisa menangkap percakapan itu sepotong-sepotong.
“Benar, Bun. Nayla tidak lagi mengajar di sana. Bukankah Vano sudah mengirimkan penggantinya?”
“Memang sudah. Tapi anak-anak pada nyariin Nayla. Mereka senang diajar olehnya. Kenapa Nayla tidak kamu izinkan ke panti lagi?” suara Bunda Zara terdengar di seberang sana.
“Raivan tidak suka melihat Nayla bersama Pak Kepala Sekolah itu,” ucap Raivan, suaranya mengeras, mengandung kesal. “Lelaki mana yang masih mengejar istri orang kalau bukan buaya darat.”
Bunda Zara terdiam sejenak, lalu bersuara pelan, “Tsabit tidak akan seperti itu kalau tahu Nayla sudah bersuami,” sindirnya, tahu kalau Raivan selalu menyembunyikan istri keduanya.
“Raivan sudah menyampaikannya, Bun,” jawab Raivan cepat.
Di seberang sana, Bunda Zara tersenyum kecil. Mungkinkah itu pertanda Raivan mulai menerima Nayla sebagai bagian dari hidupnya? Ia bersyukur. Ada sesuatu yang berubah dalam nada suara putranya.
Begitu sambungan telepon terputus, Bunda tersenyum puas di seberang sana. Raivan menoleh ke arah pintu. Tatapannya langsung bertemu dengan wajah Nayla yang berdiri kikuk sambil meringis.
“Aku cuma mau antar ponsel ini,” ucap Nayla, menunjuk ponsel di tangannya. Ia tak berani melangkah masuk.
Raivan memandanginya lama, begitu lama hingga Nayla merasa canggung.
“Kenapa masih berdiri di situ?” tanyanya. “Masuk,” titahnya dengan nada datar tapi tak terbantah.
Meski ragu, Nayla melangkah pelan ke dalam. Ia hendak meletakkan ponsel itu di atas meja, tapi Raivan menadahkan tangan. Nayla buru-buru menyerahkannya langsung padanya. Tepat saat Nayla hendak langsung membalikkan badan untuk keluar, Raivan menahan pergelangan tangannya—ia menarik tubuh mungil Nayla, mendorongnya pelan hingga terduduk di atas meja kerja miliknya, sementara ia sendiri tetap duduk di kursinya—berhadapan. Tatapan mereka bersirobok dalam jarak yang terlalu dekat untuk disebut nyaman.
“Van,” lirih Nayla, suaranya nyaris seperti desah.
“Kamu nguping, ya, obrolanku dengan Bunda tadi?” tanya Raivan tiba-tiba.
Nayla cepat menggeleng. Tapi Raivan memicingkan matanya.
“Orang kedengeran, kok,” jawab Nayla pelan, menunduk. Ia tak berani menatap mata Raivan yang terasa terlalu dalam.
“Minggu ini Salsa ngajakin piknik—”
Raivan membulatkan matanya, tak sempat menyelesaikan kalimatnya—saat telunjuk Nayla menyentuh bibirnya membuat dadanya tercekat sendiri. “Minggu ini aku ada penutupan pelatihan. Aku mau izin nggak ikut piknik,” ucap Nayla pelan, menggigit bibir bawahnya ragu.
Raivan meraih tangan Nayla dan menurunkannya perlahan—tapi tetap menggenggamnya erat.
“Kalau aku tidak izinkan?” tanyanya datar, tanpa ekspresi.
Nayla terdiam. Tak menjawab. Pandangannya tertunduk, hatinya bimbang. Haruskah ia melawan? Baru saja rumah tangga ini mulai ditata epik, mulai menemukan ketenangan. Tapi jika tak pergi, apa alasannya pada pihak penyelenggara? Pikirannya penuh pertimbangan sampai suara Raivan memecah kebisuan.
“Pergilah,” katanya akhirnya, menatap Nayla dalam-dalam. “Fadlan yang akan mengantar dan menjemputmu.”
Nayla mengangkat wajah, tersenyum manis. “Terima kasih, Van,” ucapnya tulus, baru berani menatap mata suaminya.
Mereka terdiam cukup lama, saling memandang, masih saling menggenggam tangan, hingga Nayla akhirnya sadar lebih dulu.
“Aku turun dulu, ya,” pamitnya pelan.
Tidak ada jawaban, ibu jari Raivan mengusap punggung tangan Nayla. Gerakan kecil yang sukses membuat darah Nayla berdesir. Genggaman itu perlahan terlepas, Nayla langsung melangkah keluar, meninggalkan ruangan itu dengan jantung berdebar tak beraturan.
Ia tersenyum kecil. Perlakuan Raivan semakin membaik. Ada kehangatan yang perlahan muncul.
Sementara itu, Raivan mengusap wajahnya kasar. Bayangan Nayla makin sering mengganggu pikirannya. Ia menggeleng pelan, mencoba menepis semua itu.
“Fokus, Raivan,” gumamnya. Ia harus fokus pada kesehatan Salsa dan kandungannya.
***
Sesuai rencana, minggu itu Raivan dan Salsa pergi piknik. Keduanya tampak menikmati kebersamaan mereka. Raivan sempat teringat pada Nayla. Namun pikirannya sedikit tenang karena tahu Fadlan sedang menemani istri keduanya.
Sementara itu, di restoran hotel tempat pelatihan, Nayla sedang menikmati makan siang bersama rekan-rekannya. Tsabit termasuk di antara mereka yang semeja dengan Nayla.
Sejak malam itu, Tsabit diliputi tanda tanya. Tentang status Nayla. Tentang mengapa wanita itu mendadak berhenti mengajar dan belum pernah datang lagi ke panti. Tapi meski hatinya penuh teka-teki, hubungan pertemanan mereka tetap profesional, tetap santai.
“Aku bisa baca pikiran Mas,” ucap Nayla sembari menyuap makan siangnya.
Tsabit mengangkat alis. “Jujur, aku berusaha melupakan, tapi tetap saja kepikiran kamu.”
“Aku memang istri Raivan, Mas,” jawab Nayla, tenang. “Istri keduanya.”
Tsabit menatapnya, tatapannya penuh tanya dan iba. “Kenapa, Nay? Apa kamu baik-baik saja?”
“Kalau pertanyaannya ‘kenapa’, mungkin jawabannya karena ini takdir yang digariskan untukku,” balas Nayla pelan.
Tsabit terdiam—memejamkan matanya sejenak. Kalimat Nayla terdengar sederhana, tapi terasa dalam. Ada kesedihan tersirat, keterpaksaan, dan ketidakberdayaan. Namun, wajah Nayla tetap tenang—terlihat tegar.
“Tapi aku baik-baik saja, Mas,” lanjutnya. Tsabit mengangguk, memahami, meski hatinya ikut perih.
“Maafkan aku … soal malam itu,” ucap Tsabit tulus. “Ke depannya, aku akan lebih hati-hati bersikap.”
Nayla mengangguk sambil tersenyum.
Tsabit ikut tersenyum, meski dalam hatinya ia menertawakan diri sendiri. Untuk kedua kalinya, ia jatuh hati pada istri orang. Lucu sekali. Tapi sudah cukup—perasaan itu harus diakhiri karena merupakan perasaan terlarang.
***
“Sore, Bi. Nayla belum pulang?” tanya Salsa saat baru tiba di rumah.
“Belum, Non,” jawab Bi Seri.
Raivan tampak tenang, tidak menunjukkan kekhawatiran. Ia tahu Fadlan masih mendampingi Nayla.
Raivan memeluk Salsa dari belakang dan menuntunnya masuk ke kamar.
“Mandi dulu, Sayang. Aku mandiin kamu,” bisiknya.
“Eh, nggak mau! Nanti malah nggak jadi mandi, Mas,” pekik Salsa tertahan, tertawa geli. “Ih, nakal banget,” lanjutnya saat mereka masuk kamar.
Raivan membimbing Salsa duduk di sofa santai dan mulai memijat kakinya lembut.
“Enakan?” tanyanya.
Salsa mengangguk. “Mas, malam ini tidur sama Nayla, ya,” pintanya tiba-tiba.
Raivan terdiam. Jemarinya masih memijat, tapi pikirannya ragu.
“Aku masih mau sama kamu, Yang. Jadwalnya masih besok, kan?” jawabnya pelan.
“Mas,” protes Salsa lembut seraya menggeleng.
Malam harinya, setelah makan malam, Raivan menemani Salsa menonton di ruang tengah sambil berbincang soal pekerjaan dengan Fadlan lewat sambungan telepon. Nayla sudah masuk ke dalam kamarnya lebih dulu.
“Mas, aku masuk kamar dulu, ya,” ujar Salsa, memeluk Raivan lalu mengecup pipinya.
“Sayang ....” Raivan sempat ingin berkata sesuatu, tapi Salsa sudah berlalu.
Raivan mengusap wajahnya kasar. Dadanya berat. Bagaimana bisa dia melakukan ini? Adil tidak semudah itu.
Dengan langkah ragu, ia berdiri. Menatap pintu kamar Nayla dan Salsa bergantian yang keduanya tertutup rapat. Tangannya terulur, menyentuh kenop pintu—perlahan memutarnya.